JAKARTA – Terus bergerak mengemban amanah dalam melayani energi negeri dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, PT Pertamina (Persero) menegaskan komitmennya dalam memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional melalui transformasi menyeluruh di bidang tata kelola, budaya kerja, dan model bisnis.
Langkah ini sejalan dengan visi besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam mewujudkan Asta Cita, menuju Generasi Emas Indonesia 2045.
Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri, mengatakan seluruh transformasi yang dijalankan perusahaan berakar pada semangat untuk menghadirkan layanan publik yang semakin transparan, efisien, dan berorientasi pada kepentingan bangsa.
Simon menyebut esensi dari seluruh transformasi Pertamina adalah peningkatan kualitas layanan publik, khususnya di SPBU dan sektor frontliner.
“Transformasi layanan publik adalah wajah nyata Pertamina yang setia pada rakyat dan merah putih, Pertamina berkomitmen transformasi pelayanan, meningkatkan standar kerja, dan menjadikan pesan masyarakat sebagai masukan berharga,” kata Simon, di acara memperingati Satu Tahun Pemerintahan Prabowo Gibran di Jakarta (20/10/2025).
Simon menekankan pentingnya literasi edukasi kepada masyarakat, bahwa Pertamina terus berkontribusi nyata bagi negara, Pertamina selalu berupaya bertahan dan unggul di tengah tantangan global. “Pertamina kini tengah melakukan transformasi besar-besaran di tiga bidang utama,” ujarnya.
Pertama, Tata Kelola (Governance): memastikan proses yang lebih transparan, efisien, dan patuh (compliance). Kedua, Budaya Perusahaan (Culture), membangun mindset progresif dan adaptif untuk menghadapi tantangan industri. Dan ketiga, Model Bisnis (Business Model), menyesuaikan dengan dinamika energi global melalui inovasi dan diversifikasi usaha.
“Sebagai BUMN energi, tugas utama Pertamina adalah memastikan ketahanan, keterjangkauan, dan keberlanjutan energi nasional. Kami bukan hanya entitas bisnis yang mencari keuntungan, tetapi juga agent of development bagi pembangunan nasional,” jelas Simon.
Simon menyampaikan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi nasional yang terus meningkat menuntut pasokan energi yang lebih besar dan berkelanjutan. Saat ini, sebagian besar sumber minyak dan gas Indonesia telah memasuki fase mature field, sehingga produksi mengalami natural decline.
“Tantangan kita adalah bagaimana meningkatkan produksi agar tidak terlalu bergantung pada impor. Pemerintah melalui arahan Presiden Prabowo mendorong peningkatan produksi migas nasional. Pertamina mengambil langkah strategis dengan teknologi, intervensi sumur, serta eksplorasi baru untuk menemukan cadangan migas yang bisa menambah produksi nasional,” ujarnya.
Pertamina juga menjalankan Dual Growth Strategy, yakni memaksimalkan bisnis eksisting, seperti peningkatan produksi hulu dan performa kilang. Mengembangkan bisnis rendah karbon (low carbon business), termasuk geothermal, biofuel, dan Pertamax Green 95 dengan 5% ethanol. Pertamina kini mengoperasikan kapasitas panas bumi 727 MW dari total 2,7 GW kapasitas nasional, serta berperan aktif dalam pengembangan B40–B50 Biofuel Program.
Dengan memperkokoh ketahanan energi nasional, BUMN energi ini mampu menjaga ketersediaan energi dalam negeri di tengah dinamika geopolitik yang mengancam pasokan energi global.
Simon Aloysius Mantiri menegaskan komitmen Pertamina untuk terus berkontribusi dalam mendukung misi Asta Cita Pemerintahan Prabowo – Gibran, dengan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada energi.
Menurut Simon, kontribusi Pertamina dalam menjamin pasokan energi tercermin pada kinerja operasional yang terus menunjukkan tren positif, terutama di sektor hulu Migas yang menjadi tulang punggung ketahanan energi nasional.
“Saat ini, Pertamina mengelola 24 persen wilayah kerja operator migas di Indonesia. Kami terus menjalankan amanah Pemerintah dengan berperan sebagai pemain kunci dalam upaya menjaga ketahanan energi di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional,” ujarnya.
Simon mengungkapkan pembuktian kontribusi atas ketahanan energi ditandai dengan produksi migas Pertamina terus meningkat yang kini mencapai 1,04 juta barel setara minyak per hari (MMBOEPD), yang terdiri dari produksi minyak 557 ribu barel per hari (MBOPD) dan produksi gas 2,8 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD) per semester 1 tahun 2025.
Tidak hanya produksi, Pertamina juga mendorong anak usaha sektor hulu untuk agresif memperkuat cadangan untuk mendapat sumberdaya energi baru, baik melalui kegiatan Survei Seismik 3D maupun pengeboran sumur eksplorasi. Hasilnya, Pertamina mendapat tambahan sumberdaya 2C (contingent resources) dengan realisasi 2C Validation sebesar 804 juta barel setara minyak (MMBOE) dan menambah cadangan migas terbukti (P1) sebesar 63 juta barel setara minyak (MMBOE).
Produksi dan cadangan migas Indonesia akan semakin kuat dengan tuntasnya proyek strategis Pertamina antara lain pengembangan Stasiun Pengumpul Akasia Bagus (SP ABG) EP, Proyek Sisi Nubi, Proyek CEOR lapangan minas di Area A Stage-1 dan proyek Lapangan OO-OX.
“Capaian tersebut semakin menguatkan posisi Pertamina sebagai kontributor utama produksi migas nasional, untuk minyak 69 persen dan gas 37 persen, sehingga dapat lebih optimal memasok kebutuhan energi nasional,” ungkap Simon.
Secara simultan, kata Simon, Pertamina juga berupaya mewujudkan swasembada energi dengan mengembangkan energi baru terbarukan. Selama satu tahun pemerintahan Prabowo – Gibran, Pertamina berhasil melakukan inovasi teknologi untuk pengembangan produk bahan bakar rendah karbon. Hal ini telah dibuktikan dengan keberhasilan kilang Pertamina dalam memproduksi Sustainable Aviation Fuel berbasis Minyak Jelantah (Used Cooking Oil/UCO) dan implementasi Biodiesel 40 persen (B40).
Dukungan Pertamina dalam ketahanan energi juga semakin terlihat, dengan komitmen Pertamina sebagai pemimpin dalam transisi energi. Sejalan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto, yang mendorong optimalisasi pemanfaatan energi terbarukan, termasuk panas bumi.
Pertamina melalui anak usaha dari Subholding Pertamina New and Renewable Energy, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) saat ini mengelola kapasitas terpasang sebesar 727 MW dari enam wilayah operasi. PGE fokus dalam mewujudkan target 1 GW dalam 2–3 tahun ke depan dan 1,7 GW pada 2034.
Beyond electricity, PGE meluncurkan Pilot Project Green Hydrogen (Hidrogen Hijau) Ulubelu. Pertamina membangun ekosistem green hydrogen secara end-to-end, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemanfaatannya untuk mendukung transisi menuju industri rendah karbon.
“Capaian tersebut semakin menunjukkan komitmen Pertamina dalam menyediakan energi bersih dan menambah pasokan secara berkelanjutan di masa depan,”ujar Simon.
Sebagai BUMN Energi, Pertamina menjalankan penugasan Pemerintah menyediakan energi secara adil dan merata, dari kota hingga desa, dari ibukota hingga pelosok Nusantara.
Simon Aloysius Mantiri mengatakan tekad Pertamina melayani energi negeri tidak pernah surut sekalipun harus menghadapi tantangan geografis Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau dengan 83 ribu lebih desa dan kelurahan.
“Distribusi energi di Indonesia dikenal sebagai yang terumit di dunia, namun Pertamina selalu setia menyalurkan energi kepada seluruh masyarakat Indonesia di mana pun berada,” ujar Simon.
Pertamina, imbuh Simon, terus memperkuat perannya sebagai tulang punggung penyediaan infrastruktur energi nasional, agar penyediaan dan distribusi energi lebih mudah diakses dengan harga yang terjangkau.
Tekad ini tercermin pada komitmen Pertamina menyediakan energi hingga wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) melalui Program BBM Satu Harga.
Dalam satu tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Pertamina telah membangun dan mengoperasikan 40 Lembaga Penyalur BBM Satu Harga. Jumlah ini tersebar di Klaster Maluku – Papua (14 titik), Klaster Sulawesi – Nusa Tenggara (12 titik), Klaster Kalimantan (7 titik) dan Klaster Sumatera (7 titik). Kini, melalui Program BBM Satu Harga, Pertamina melayani kebutuhan energi masyarakat di wilayah 3T hingga mencapai 573 titik Lembaga Penyalur dari 15.345 titik distribusi BBM.
Melalui program One Village One Outlet (OVOO), Pertamina juga bergerak mengantarkan LPG Subsidi menjangkau wilayah pelosok hingga mencapai 269.096 pangkalan LPG di 38 Provinsi.
Dalam satu tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Pertamina telah meningkatkan status 370 ribu pengecer LPG 3 kg menjadi sub pangkalan. Implementasi kebijakan ini semakin memperkuat layanan LPG untuk masyarakat hingga ke tingkat RW dan RT.
“Pertamina bergerak mendistribusikan BBM dan LPG dengan memanfaatkan multi moda, baik darat, laut dan udara. Ketersediaan energi menjadi faktor utama yang mendorong kemajuan ekonomi masyarakat terlebih di wilayah 3T,” tegas Simon.
Jejak ini membuktikan bahwa Pertamina tidak hanya bergerak di kota besar atau semata mencari keuntungan, melainkan mengabdi untuk kemajuan Negeri.
Saat ini, Pertamina menyediakan 6.000 Armada Mobil Tangki dan 476 Kapal tanker dan kapal pendukung, untuk mendistribusikan BBM dan LPG.
Selama satu tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Pertamina telah memperkuat armada distribusi untuk mendukung ketahanan energi, dengan 4 kapal tanker gas raksasa ramah lingkungan bertipe Very Large Gas Carrier (VLGC) yakni Pertamina Gas Caspia, Pertamina Gas Dahlia, Pertamina Gas Tulip, dan Pertamina Gas Bergenia. Selain itu, 6 tanker untuk mengangkut BBM dan minyak mentah, sehingga total ada 10 tanker tambahan yang menjadi urat nadi andalan dalam mengantarkan energi melalui jalur laut Indonesia.
Pertamina terus meningkatkan keandalan infrastruktur pengolahan dengan melakukan pengembangan kilang serta sarana dan fasilitas pendukungnya. Dalam masa satu tahun Pemerintahan Prabowo – Gibran, Pertamina telah menyelesaikan pembangunan 2 Tangki Minyak Mentah raksasa di Lawe-Lawe yang merupakan tangki terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas masing-masing 1 juta barrel. Tangki Lawe-Lawe merupakan bagian dari proyek RDMP Balikpapan yang menaikkan kapasitas pengolahan kilang Balikpapan yang mencapai 360 ribu barel per hari. Proyek RDMP Balikpapan juga akan mengoperasikan unit utama hasil proyek RDMP Balikpapan yaitu RFCC pada akhir tahun ini.
Demikian halnya Kilang Balongan, Pertamina telah menyelesaikan pembangunan empat unit tangki baru masing-masing memiliki kapasitas 29 ribu meter kubik. Penambahan total kapasitas penyimpanan ini memperkokoh peran kilang Balongan dalam mengelola inventaris produk BBM.
Pertamina juga melakukan inisiatif pembangunan pipa minyak yang menghubungkan Kilang Balongan dengan Terminal BBM Plumpang. Pipa sepanjang 96 km ini akan menyalurkan sekitar 4,6 juta kiloliter BBM per tahun untuk menjamin keandalan pasokan BBM ke wilayah Jawa Barat dan Jakarta, yang menyerap sekitar 30 persen konsumsi nasional.
“Kehadiran infrastruktur energi sangat strategis untuk menjaga ketahanan energi sekaligus mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada energi nasional sebagaimana yang tertuang dalam Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran,” ujar Simon.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menyebut transformasi yang dilakukan Pertamina sudah sesuai dengan kebutuhan. Pertamina disebut sudah melakukan transformasi dari perusahaan migas menjadi perusahaan energi. Segmen usaha Pertamina tidak hanya di sektor migas, namun juga mencakup energi terbarukan, seperti geothermal (panas bumi) maupun solar panel.
“Dengan revenue yang terus meningkat, margin dan aset naik, itu adalah buah dari transformasi. Kalau tidak adaptable dengan zaman, tentunya akan ketinggalan. Saya kira apa yang dilakukan Pertamina juga bagian dari transformasi. Apakah ada jaminan kalau tidak melakukan transformasi, maka Pertamina akan seperti skarang? Tidak bisa memastikan juga, karena perusahaan juga dituntut untuk adaptable dengan situasi perkembangan jaman,” ujar Komaidi kepada Dunia Energi, Rabu(22/10/2025).
Komaidi menilai langkah Pertamina mengikuti perkembangan jaman menjadi hal yang positif. Namun apabila Pertamina tetap bertahan di pola lama, tentunya tidak bisa menjamin akan lebih baik.
“Kalau di era dulu produksinya banyak sekarang mulai turun secara nasional, apakah itu efek dari transformasi, belum ada yang bisa memastikan apakah itu bisa disebut dampak negatif. Tapi sejauh ini produksi minyak maupun cadangan minyak nasional turun, apakah itu efek negatif dari transformasi Pertamina? Saya kira banyak faktornya. Pelakunya kan tidak hanya Pertamina, ada yang lain,” ujar Komaidi yang juga menjadi Pengajar Ilmu Magister Ekonomi Universitas Trisakti.
Komaidi menjelaskan bahwa Pertamina memang pernah unggul dalam capaian produksi migas. Namun sejak terbitnya Undang – Undang nomor 22 Tahun 2001, dan selanjutnya pada 2006 Pertamina bertransformasi, fokus usahanya menajdi berbeda. Kalau dulu alokasinya ke migas, sekarang Pertamina juga fokus ke segmen usaha lain. Sehingga migas produksinya menurun.
“Tapi itu tidak bisa semata-mata dibebankan 100 persen ke Pertamina untuk memanage, cadangan produksi kan ada di negara untuk kemudian harus didistribusikan ke pelaku lain,” kata Komaidi.
Seiring dengan tuntutan zaman dan kondisi keuangan perusahaan, Pertamina senantiasa harus bertransformasi dari migas ke energi terbarukan.
“Tuntutan zaman sekarang kan harus moving dari migas ke energi terbarukan, sementara Pertamina masih ada di migas cukup besar. Jadi, apakah kemudian harus jumping ke energi terbarukan? Idealnya tidak demikian. Karna juga menyeimbangkan dengan kondisi keuangan perusahaan dan tuntutan zaman. Kalau harus penuhi energi terbarukan 100 persen, finansialnya akan problem. Tapi kalau kalau stay di finansial saja, maka harus bertahan di migas, karena sebagian besar ada di migas. Artinya, harus balance antara target energi terbarukan tanpa membebankan finansial maupun running perusahaan,” jelas Komaidi.
Pertamina sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs). Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina.
Yayan Satyakti, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjajaran, menyebut tiga komponen yang menjadi perhatian. Yang pertama kinerja keuangan, kemudian kinerja keuangan ini termasuk net income, total asset, total equity, total ability, return on asset, return on equity, time to equity ratio.
Kemudian, kata Yayan, benchmark berdasarkan data keuangan tadi, dibandingkan dengan negara lain. Misalnya seperti ke Petronas, PTT, kemudian Petrobras dan Saudi Aramco. Perlu diperhatikan bagaimana national oil companies tersebut membangun national energy security.
“Karena ini kan yang memang menjadi harapan yang diinginkan oleh tiap negara, apalagi disini Pak Prabowo, itu sangat concern terhadap isu-isu mengenai ketahanan energi dan bagaimana dukungannya itu dari Pertamina itu terhadap visi-visi dari presiden ataupun negara. Karena Pertamina sebagai salah satu perusahaan yang memiliki atau yang diberi mandat oleh pemerintah untuk menjalankan penugasan khususnya untuk ketahanan energi di Indonesia,” kata Yayan kepada Dunia Energi melalui sambungan telepon, Kamis(23/10/2025).
Yayat membandingkan kinerja Pertamina saat rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo Pak Jokowi yang ditetapkan dari 2014 sampai 2023, dengan Presiden Prabowo Subianto dari tahun 2024 sampai 2025 saat ini. Ia mengulas empat perusahaan grup Pertamina, yakni PT Pertamina Internasional EP (PIEP) untuk yang upstream, kemudian PT Pertamina Patra Niaga (PPN), ada PT Pertamina Geothermal Energy (PGE/PGEO), dan PT Pertamina Internasional Shipping (PIS).
Menurut Yayan, pertumbuhan kinerja grup Pertamina cenderung relatif. PIEP sejak tahun 2014 sampai saat ini rata-rata mencapai targetnya sekitar 110 persen. Produksi minyaknya itu sekitar 111 persen dari rata-rata target tahunan. Natural gas itu bahkan sampai 151 persen. “Karena kalau kita lihat disini bahwa Pertamina Internasional EP itu ingin bring the barrel home. Jadi prinsipnya bahwa seluruh minyak harus dimiliki oleh Indonesia untuk penopang terhadap ketahanan energi,” ujarnya.
Ia menilai Pertamina Patra Niaga berdasarkan laporan audit tahun 2024, before income tax itu mencapai US$ 2 miliar. Ini melebihi dari target sebanyak 21,1 persen. Sementara laba sebesar US$1,1 miliar, melampaui target 3,2 persen.
PT Pertamina Geothermal Energy, lanjut Yayan, juga mengalami peningkatan khususnya year on year revenue. Ada peningkatan di tahun 2025, menjadi sekitar US$ 204,85 juta dengan laba yang sehat. Artinya, laba ini solid, sebesar US$ 68,93 juta. Dan kemudian yang paling menarik bahwa PGE mampu untuk menciptakan margin di atas 80%.
Pertamina Internasional Shipping juga sudah meng-cover area dari yang biasanya coverage area transportasi migas, dari sekitar 20% pada 2004-2015, dan sekarang sudah mencapai hampir lebih dari 90 persen. Sehingga, diharapkan bahwa Pertamina International Shipping ini juga memberikan kontribusi dalam peningkatan efisiensi biaya transportasi yang relatif.
“Biasanya kalau kita menggunakan private company, yang bukan merupakan bagian dari integrasi perusahaan, katakan perusahaan suasana yang lain, ini tidak, atau kita lihat kostnya akan lebih tinggi,” ujar Yayan.
Lebih lanjut Yayan memaparkan mengenai kebijakan one price policy, khususnya untuk BBM itu bisa lebih kompetitif, dan harganya bisa menjadi lebih baik dari sisi efisiensi biaya transportasi.
Terkait Pertamina financial performance, net income pada masa pemerintahan Jokowi rata-rata sekitar US$ 2,78 miliar. Total asset tahun 2024, naik dari 87,89 pada tahun 2023, menjadi 100,98. Peningkatan juga terjadi pada total equity, kemudian total liabilities juga dari 43 menjadi 49. Return on asset mengalami penurunan, begitupula dengan return on equity dari 6,29 turun menjadi 6,11.
Debt to equity ratio menunjukkan kemampuan dari perusahaan untuk membayar debt, di mana pada zaman pemerintahan Jokowi dari 2019-2023 itu rata-rata sekitar 0,99, sementara saat rezim Prabowo Subianto itu sekitar 0,97. “Kalau misalkan kita lihat dari hasil angka ini, sepertinya ada perbaikan walaupun sedikit itu untuk penanganan manajemen aset, dan juga ingin memperbaiki equity-nya khususnya untuk membayar terhadap kewajiban-kewajiban jangka pendek. Jadi, adanya semacam perbaikan dari sisi organisasi internal, terutama dari sisi penyehatan perusahaan,” jelas Yayan.
Yayan menyebutkan ada sedikit perbaikan, di mana total liabilities naik, dari US$ 43,74 miliar menjadi US$ 49,73 miliar. Kalau dibandingkan dengan total equitynya dari US$44,15 miliar naik menjadi US$51 miliar. Ada peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan total liabilities, artinya bahwa ada kemungkinan re-investasi yang dilakukan, tetapi investasi tadi itu dimungkinkan belum balik modal, karena return equity-nya sedikit turun. Mungkin belum menghasilkan secara maksimal, dengan melalui pembiayaan utang.
“Walaupun disini sepertinya dari sisi pembiayaannya, masih relatif memperhitungkan terhadap risiko-risiko yang terjadi, misalkan seperti political tension dan lain-lain. Jadi kalau saya lihat disini, ada sedikit perbaikan tetapi tidak signifikan, tetapi menunjukkan bahwa Pertamina pada zaman Prabowo ingin mencoba untuk memperbaiki efisiensi,” kata Yayan.
Apabila dibandingkan dengan perusahaan migas negara-negara lain, khususnya seperti Petronas PTT Thailand, Petrobras, kemudian Saudi Aramco, maka return on asset Pertamina hanya sekitar 3,9 persen. Sementara Petronas 8,8 persen, PTT Thailand 3,1 persen, Petrobras 11,8 persen, kemudian Saudi Aramco 20 persen. “Jika dibandingkan dengan perusahaan tersebut, kecuali dengan PTT Thailand, maka Pertamina relatif agak paling buncit, setelah PTT Thailand. Jadi disini ada masalah kesulitan bagi Pertamina untuk menggunakan atau meutilisasi aset menjadi return. Mungkin pengelolaan aset yang dimiliki oleh Pertamina masih belum menghasilkan, katakan return yang maksimal. Ini terlihat dari angka return on asset-nya yang masih kecil, bahkan ketika kita bandingkan dengan Petronas Malaysia itu sekitar 48,8 persen, artinya dia lebih tinggi, bahkan Petrobras itu sekitar 11,8 persen. Kemudian jika kita bandingkan juga dengan return on equity disini, Pertamina ini berdasarkan rata-rata dari tahun 2022 sampai dengan 2024, return on equity dari Pertamina ini relatif paling kecil dibandingkan dengan perusahaan yang lain,” jelas Yayan.
Ia menambahkan, bahwa Pertamina itu hanya sekitar 8 persen, kemudian Petronas sekitar 17,5 persen, PTT Thailand 9,6 persen, Petrobras 27,9 persen, dan Saudi Aramco itu 30,8 persen. Artinya, tingkat kemampuan dari return tersebut untuk menghasilkan equity, jadi Pertamina ini masih paling kecil. Hal tersebut ada kaitannya dengan modal serta pengelolaan laba, sehingga bisa dihasilkan untuk proses investasi dan meningkatkan equity, di mana Pertamina masih belum menunjukkan adanya refleksi yang bagus.
Yayan menilai adanya keterkaitan distribusi dari sisi ekuitas untuk pembiayaan, seperti untuk roadmap untuk refinery, maupun medium term development.
Ia menyebut debt to equity Pertamina hampir mendekati 1, sementara kalau dibandingkan dengan Petrona khususnya untuk proyek investasi masih bisa berdasarkan pada equity. Artinya, bisa dengan pembiayaan modal sendiri. Sedangkan Pertamina, sudah hampir melebihi terhadap equity-nya, walaupun di beberapa negara misalnya seperti PTT Thailand dan Petrobras itu sudah melebihi dari 1.
“Jadi di sini memang bisa debatable, kalau debt to equity ratio lebih dari 1, itu asalkan cash flow-nya baik dan kemudian penanganan manajemen utamanya itu bisa dikendalikan dengan baik, perusahaan relatif efisien, itu bisa dilakukan. Jadi kalau kita lihat di sini ya memang bahwa Pertamina itu relatif tertinggal dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan tadi, dan ini sebagian pada masa Pak Jokowi dan sebagian Pak Prabowo,” ungkap Yayan.
Yayat menekankan kinerja yang menunjukkan adanya keharusan untuk terus diperbaiki, terutama dalam pengelola aset dan efisiensi, khususnya aktivitas operasional, dan adanya rasionalisasi dari anak perusahaan di Pertamina.
Jika menyoroti dari sisi national oil companies mandate terkait energy security, kebijakan one price fuel policy, dan one price untuk LPG, harus dilakukan lebih hati-hati. “Karena, sudah ada subsidi removal sebelumnya pada tahun 2022 yang lalu, sementara bahwa Pak Bahlil (Menteri ESDM )ingin memberikan kebijakan one price ini harus hati-hati dari sisi, pertama tata kelolanya yang masih belum beres, dan kemudian juga dari sisi pricing. Kalau Pak Bahlil ingin meningkatkan sesuai dengan margin trade-nya itu, katakan sama sesuai dengan harga pasar, itu kemungkinan di lapangan harganya bisa lebih tinggi, dan ini akan menyebabkan adanya penurunan consumer welfare yang akan mengakibatkan chaos. Jadi di sini tolong untuk dianalisis, pelajari dengan baik, kemudian untuk one price policy-nya itu harus melihat dan berdasarkan pada kajian sejauh mana, misalkan one price policy itu ingin mengurangi terhadap subsidi, tetapi subsidi itu justru akan menambah atau meningkatkan keiskinan, khususnya bagi rumah harga yang miskin,” tegas Yayan.
Kemudian dari sisi accessibility dan affordability, Yayat menilai dengan kondisi saat ini masih relatif affordable. Ia mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki energi alternatif yang kuat untuk menggantikan fossil fuels, dan masyarakat masih mengandalkan harga subsidi yang justru akan menekan pengembangan komoditas renewable, misalkan seperti bio-etanol, biodiesel. Dengan demikian, reformasi subsidi harus dilakukandengan hati-hati untuk melihat sejauh mana hal itu dilakukan secara efektif dan mampu untuk menahan kemungkinan penurunan daya beli masyarakat.
“Accessibility, affordability, dan kemudian jika kita lihat kita bandingkan misalkan dengan negara-negara lain, misalkan seperti Petronas, atau misalkan dengan PTT Petrobras dan Saudi Aramco, bahwa memang agak berat dengan kondisi investasi yang dilakukan oleh Pertamina. Karena secara geografis kita ini kepulauan, transportasinya juga sangat tinggi, one price fuel for sea itu relatif mungkin efektif ya, kalau misalkan sampai dengan pada batas katakan SBPU ataupun gas station, dari sisi geografis itu memang masih terjadi banyaknya perbedaan yang sangat mencolok,” kata Yayan.
Ia menekankan bahwa ketahanan energi menjadi hal yang sangat krusial, untuk meningkatkan efektivitas dari penyediaan energi. Meski kebijakan One Price Policy merupakan warisan dari Jokowi, dan ingin dikembangkan oleh Presiden Prabowo dengan meningkatkan akurasi dan efektivitas dari sisi penerima subsidi, lokasi, barang-barang subsidi energi dan lain-lain.
“Kita (Indonesia )ada potensi, walaupun kita net import, tapi kita lebih beruntung karena memiliki sumber renewables yang banyak, tetapi itu masih belum mampu untuk menggantikan rantai pasok fossil fuel. Sehingga di sini, efisiensi penting untuk menjaga delivery yang dilakukan Pertamina agar bisa lebih independen, khususnya untuk memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap masyarakat. Karena Pertamina merupakan salah satu perusahaan yang diberikan tugas oleh pemerintah yang menjalankan ketahanan energi, baik itu affordability dan accessibility. Dan Pertamina itu harus lebih efisien, harus lebih baik, harus lebih sehat, dan juga mampu untuk memanage dari sisi kinerja perusahaan agar lebih optimal,” jelas Yayan.
“Walaupun harganya sudah membaik, tapi saya kira itu masih belum cukup. Sehingga di sini perlu adanya gebrakan-gebrakan dari Pertamina untuk meningkatkan efisiensi dan juga untuk meningkatkan reliability, khususnya perbaikan terhadap rantai pasok yang dimiliki oleh Pertamina untuk mampu meningkatkan efektivitas dari ketahanan energi Indonesia,” pungkas Yayan.(RA)





Komentar Terbaru