JAKARTA – Penerapan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sektor migas dinilai masih belum optimal. Padahal pada Pasal 40 dan 41 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas secara eksplisit menegaskan perlindungan agar industri nasional tidak tersingkir oleh barang impor.

Rifqi Nuril Huda, Direktur Eksekutif Instititute of Energi and Development Studies (IEDS), mengungkapkan meskipun ragam regulasi coba didorong pemerintah seperti Permenperin Nomor 35 Tahun 2025 tentang Sertifikasi TKDN dan Bobot Manfaat Perusahaan, tapi ternyata fakta dilapangan masih ada saja oknum perusahaan yang mengakali aturan TKDN ini.

“Fakta menunjukkan ada KKKS yang tetap memilih barang impor meskipun produk lokal tersedia. Bahkan ada dugaan manipulasi dokumen TKDN. Celah-celah ini bukan hanya melanggar kontrak, tapi juga merugikan industri lokal yang sedang tumbuh,” kata Rifqi dalam keterangannya, Senin (15/9).

Industri lokal yang terancam dan bisa timbulkan PHK kata Rifqi mengingatkan bahwa mengabaikan TKDN sama saja mempertaruhkan masa depan industri nasional dan jutaan pekerja. “Kalau KKKS lebih memilih impor, perusahaan dalam negeri kehilangan peluang, pekerja kehilangan pekerjaan, dan negara kehilangan momentum membangun kemandirian,” tegasnya.

Situasi ini semakin berat di tengah tren penurunan investasi asing langsung (FDI) dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Sektor migas bukan pengecualian. Ketika TKDN tidak dijalankan, beban PHK justru bertambah.

Padahal, lanjut Rifqi, filosofi Pasal 40 dan 41 UU Migas jelas  memberi ruang hidup bagi pelaku usaha domestik. “Produk baja, pipa, valve, hingga jasa transportasi sejatinya bisa disediakan anak bangsa. Kalau itu diutamakan, efeknya berantai: industri tumbuh, tenaga kerja terserap, devisa tidak bocor, dan kepercayaan investor meningkat,” ungkapnya.

Lebih jauh, Rifqi menyoroti bahwa kewajiban TKDN erat kaitannya dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG). Menurutnya SKK Migas sebenarnya punya instrumen sanksi jelas mulai dari denda, pemotongan cost recovery, hingga pemutusan kontrak. Bahkan, pelanggaran berat bisa dijerat pidana dengan ancaman penjara lima tahun dan denda Rp50 miliar. “Tetapi sanksi sekeras apa pun akan percuma kalau penegakan hukum tidak konsisten. Di sinilah publik sering pesimis, karena perusahaan besar dianggap bisa lolos dari jeratan hukum,” kata Rifqi.

Penerapan TKDN yang benar justru bukan ancaman, melainkan peluang. “Dengan memprioritaskan produk lokal, perusahaan bisa membangun rantai pasok efisien, mengurangi biaya logistik, sekaligus memperkuat dukungan sosial,” jelasnya.

Menurut Rifqi lembaga penegak hukum di Indonesia seperti KPK dan Kejaksaan Agung bisa bergerak masuk dan turun tangan untuk memastikan KKKS melaksanakan amanat UU dan peraturan yang berlaku. “Sehingga KKKS dalam melaksanakan kontraknya tidak merugikan negara dan rakyat,” kata Rifqi.