JAKARTA – Pemerintah akhirnya mulai luluh dan mengevaluasi penerapan harga khusus gas untuk tujuh golongan industri sebesar US$ 6 per MMBTU.

Syarifudin Setiawan, Sub Kordinator Penyiapan Program Pemanfaatan Migas Kementerian ESDM, menjelaskan saat ini pemerintah sedang fokus melakukan evaluasi terhadap ketetapan harga gas bumi sebesar US$ 6 per MMBTU. Dari hasil evaluasi, tidak menutup kemungkinan ada penyesuaian harga gas.

“Bisa jadi hasil akhirnya adalah merupakan memang penyesuaian kembali harga yang saat ini USD 6 per MMBTU bisa berubah, salah satunya itu ya kemungkinan,” kata Syafrudin, dalam diskusi virtual, Kamis (25/8).

Terkait dengan perluasan golongan industri yang akan mendapat insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per MMBTU, Kementerian ESDM masih menunggu rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Industri yang ingin mendapat rekomendasi tersebut harus mengajukan data pendukungnya terlebih dahulu.

“Jadi semacam mencalonkan diri atau mengusulkan untuk menerima HGBT ini dengan data-data pendukungnya, kemudian beliau-beliau akan mengvaluasi dan jika memang diusulkan, direkomendasikan untuk menerima HGBT maka akan disampaikan ke Kementerian ESDM,” jelas Syafrudin.

Sebelumnya Achmad Widhjaja, Wakil Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), sempat mengungkapkan sejak regulasi yang mengatur harga gas khusus bagi industri diterbitkan tidak sedikit pelaku usaha ternyata belum menikmati harga tersebut.

Industri kata Achmad siap duduk bersama pemerintah dan stakeholder lainnya guna menyelesaikan masalah ini. Bahkan industri kata dia rela membeli gas dengan harga diatas US$ 6 per MMBTU dengan catatan tidak lagi dipersulit masalah birokrasi.

Menurut dia pemerintah harus segera jadikan keputusan harga gas ini sebagai salah satu keputusan politik serta menjamin kepastian akan bertahan lama.

“Tolong pemerintah ambil keputusan kalau ke depan sudah tidak bisa berikan janji, garis bawahi aja kepada para pengguna gas oke jadin sepakat US$7 per MMBTU tapi itu jadi sebuah kepastian keputusan politik supaya industri ke depan lebih jelas kita rencanakan,” jelas Achmad.

Sementara itu, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan pemanfaatan gas bumi sebagai jembatan menuju transisi energi nasional bersifat sangat strategis. Hal ini merujuk pada beberapa tahun terakhir dimana penemuan cadangan migas nasional didominasi oleh gas bumi.

Sayangnya, lanjut Komaidi, kebijakan di sektor ketenagalistrikan saat ini justru mengalami pergeseran dari pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi. “Dalam roadmap transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang terbaru, pemerintah cenderung lebih mengutamakan pemanfaatan EBT daripada gas bumi,” ujarnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, bauran energi utama yang ditetapkan sebagai berikut. Pertama, energi baru terbarukan setidaknya sebesar 23% di tahun 2025 dan setidaknya sebesar 31% pada 2050. Kedua, minyak harus lebih kecil dari 25% pada 2025 dan lebih kecil dari 20% pada 2050. Ketiga, batubara paling sedikit 30% di tahun 2025 dan paling sedikit 25% pada 2050. Dan keempat, gas setidaknya paling sedikit 22% pada 2025 dan paling sedikit 24% pada 2050

“Dari target tersebut, gas bumi menjadi sumber energi yang justru ditingkatkan target ketersediaannya dalam mendukung transisi energi,” ujar Komaidi. (RI)