JAKARTA – Blok Masela ternyata jadi salah satu isu yang dibahas Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Perdana Menteri Jepang, Kishida Fumio di Tokyo. Presiden sendiri menyatakan perlu ada komitmen pemerintah Jepang juga dalam pengelolaan blok Masela.

“Kami juga membahas komitmen kerja sama bagi kelanjutan Proyek Gas Masela,” kata Jokowi dikutim dari akun media sosialnya (28/7).

Sementara itu, Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengungkapkan ada satu arahan presiden kepada jajarannya menindaklanjuti pertemuan dengan perdana menteri Jepang terkait pengelolaan blok Masela yaitu penunjukkan pengusaha dalam negeri untuk jadi mitra Inpex yang saat ini menjadi operator pengelola blok Masela.

INPEX Corporation dan Shell Upstrem Overseas Services Ltd, memang saat ini masih tercatat sebagai konsorsium perusahaan pengelola Lapangan Abadi, Blok Masela. Namun Shell telah secara resmi menyatakan untuk keluar dari proyek Masela dan pemerintah Indonesia mewajibkan Shell untuk mencari terlebih dulu penggantinya sebelum angkat kaki dari Masela.

Menurut Bahlil presiden mendorong selain pengusaha nasional, BUMN juga terlibat dalam pengelolaan blok Masela. “kita tahu semua konsorsium inpex keluar presiden perintahkan yang keluar digantikan pengusaha nasional baik melalui INA maupun BUMN harapannya kalau mampu menciptakan produksi migas dan pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Bahlil.

Proyek lapangan gas Masela merupakan salah satu proyek terbesar di Indonesia dengan potensi cadangan gas terbesar yang pernah ditemukan mencapai lebih dari 10 triliun cubic feet (TCF). Proyek ini juga menjadi bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang saat ini telah memasuki tahap pengadaan lahan untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan produksi gas berupa kilang LNG di Pulau Tanimbar.

Pemerintah akhirnya memberikan persetujuan kepada Inpex untuk melakukan kajian pembangunan fasilitas dengan kapasitas 9,5 MTPA LNG dan 150 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) gas pipa. Padahal sebelumnya pemerintah bersikeras agar LNG yang diproduksikan sebesar 7,5 MTPA dan gas pipa sebesar 474 MMSCFD. Proyek yang diperkirakan menghabiskan biaya investasi mencapai US$20 miliar tersebut ditargetkan bisa mulai memproduksi gas pada 2027-2028. (RI)