JAKARTA – Keinginan pemerintah mempercepat produksi minyak jadi 1 juta barel per hari (BOPD) dari 2030 menjadi 2025 dinilai realistis dan optimistis dapat dicapai, menurut pengamat. Namun, hal ini bisa dilakukan jika ada konsistensi dari pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam menjalankan rencana kerja dalam Work Plan and Budget (WP&B) yang dilakukan hampir setiap tahun.

“Dukungan dari pemerintah terhadap KKKS mutlak diperlukan sehingga tidak ada kendala dalam menjalankan program mereka. Selain itu juga, ketersediaan service company untuk menunjang kegiatan migas harus di-support karena mereka adalah salah satu tulang punggung keberhasilan industri migas kita,” ujar Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, kepada Dunia-Energi, di Jakarta,  Senin (3/2).

Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sebelumnya meminta target produksi siap jual atau lifting minyak dipercepat hingga lima tahun dari rencana semula.

Luhut meminta target lifting minyak sebesar 1 juta BOPD lebih cepat dari 2030. Hal tersebut diucapkan usai rapat koordinasi lanjutan peningkatan lifting minyak bumi Indonesia di kantornya pada Jumat (31/1).

“Target mau satu juta barel, kami mau tahunnya dipercepat, ya mereka masih bilang sampai 2030, saya bilang tidak mau, dipercepat jadi 2025,” katanya.

Menurut Luhut, penggunaan enhanced oil recovery (EOR) akan efektif untuk menggenjot produksi minyak yang realisasi rata-rata pada saat ini pada kisaran 745.000 barel per hari. Di samping itu, pemerintah akan terus melakukan eksplorasi sumur-sumur baru guna menambah cadangan minyak. “Potensi dengan menggunakan EOR masih besar sekitar 1,7 miliar barel,” ungkapnya.

Mamit mengatakan, untuk akselerasi produksi 1 juta BOPD salah satunya mempercepat Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Pasalnya, hingga sejauh ini banyak KKKS yang serba tanggung dalam berinvestasi mengingat belum jelasnya terkait dengan UU Migas.

“Hal lain yang perlu diakselerasi adalah metode EOR  dengan biaya yang lebih murah jika dibandingan dengan saat ini dimana biaya untuk teknologi ini masih cukup mahal,” ujar Mamit.

Menurut dia, masalah biaya ini perlu diperhatikan mengingat jangan sampai nanti mahalnya biaya EOR tidak ekonomis dan akhirnya KKKS tidak mau meningkatan biaya produksi mereka. Kecuali nanti pemerintah mempunyai perhitungan yang lain bagi KKKS yang berhasil mengembangkan EOR dan meningkatkan produksi mereka dengan menambah bagi hasilnya. “Selain itu juga, kegiatan explorasi harus massif dilakukan mengingat saat ini IRR kita hanya 0,6 barel. Artinya setiap kita produksi 1 barel, kita hanya bisa menggantikan sebanyak 0,6 barel,” ujarnya.

Menurut Mamit, kita saat ini jangan bicara pengeboran dalam meningkatkan produksi 1 juta BOPD ini karena buat apa banyak ngebor bila hasilnya dry hole. Yang ada cost yang besar tapi tanpa hasil. Mamit juga meminta agar cara berpikir (mindset) para petinggi baik itu KKKS atau SKK Migas harus diubah.

“Kita harus berpikir bukan cuma menjadi mengebor, tapi bagaimana menjaga dan meningkatkan yang ada. Bukan cuma bicara menjaga decline rate, tapi harus meningkatkan produksi sumur. Kita punya potensi yang besar di sumur yang ada tinggal bagaimana kita tingkatkan produksinya,” ujarnya.

Mamit menilai, kegiatan work over dan well service (WOWS) perlu mendapatkan prioritas sebagai salah satu sumber utama meningkatkan produksi. Apalagi WOWS biayanya cenderung murah jika dibandingkan dengan pengeboran.

Di sisi lain, KKKS juga perlu mempelajari lagi, misalnya soal kendala kenapa sumur tersebut produksinya menurun jangan-jangan ada sumbatan atau ada hal lain yang mengganggu. Belum lagi potensi di zona reservoir yang lain yang belum dimanfaatkan secara optimal. Ada berapa puluh ribu sumur yang sudah ada, tinggal menjaga dan meningkatkan semua potensi dalam sumur tersebut. “Jadi, boleh saja kita melakukan drilling campaign secara signifikan tapi jangan lupakan juga WOWS,” katanya.

Pemerintah, lanjut Mamit, perlu memberikan insentif untuk KKKS yang berhasil meningkatkan produksi mereka. Misalnya untuk KKKS yang berhasil menggunakan EOR dengan biaya yang murah. Selain itu, untuk KKKS yang success ratio pengeborannya di atas 90% perlu diberikan insentif terkait bagi hasilnya. “Belum lagi, untuk mendukung kegiatan pengeboran dan WOWS dimana dibutuhkan material dan service company dibutuhkan kemudahan dalam mendatangkan barang dari luar negeri sehingga bisa murah dan menguntungkan,” katanya. (DR)