JAKARTA – Sederet tugas dan tantangan yang akan dihadapi Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru terpilih. Salah satunya menyangkut skema kontrak gross split.

Ibrahim Hasyim, Pengamat Energi, mengatakan skema gross split yang belum membuat produsen migas besar tertarik.

“Perlu dilihat lagi dengan skema-skema alternatif sesuai kesulitan dan kerumitan lapangan,” ujar Ibrahim kepada Dunia Energi, Rabu (23/10).

Penerapan skema gross split dalam industri hulu minyak dan gas bumi (migas) diusung pemerintah sejak 2017 diusulkan untuk dievaluasi.

Hingga Semester I 2019 sudah ada 42 blok migas yang menggunakan skema bagi hasil gross split, terdiri dari 16 blok migas hasil lelang sepanjang 2017-2019, lalu 21 blok migas yang terminasi dari 2017 hingga 2023. Serta ada lima blok migas yang merubah skema kontrak dari cost recovery menjadi gross split sebanyak lima blok migas.

Selain skema kontrak gross split, proyek gas Masela harus berjalan sesuai program, karena sesuai neraca gas, akan ada defisit didepan.

“Pak Arifin Tasrif lebih mengerti maunya orang Jepang, Inpex adalah perusahaan Jepang yang lebih mengetahui pasar LNG Jepang di depan. Karena menurut saya bagaimana pasar LNG di Jepang akan mewarnai kecepatan perjalanan proyek Masela,” ungkap Ibrahim.

Menurut Ibrahim, ketercukupan energi sangat penting. Dewan Energi Nasional (DEN) sudah memperkirakan jumlah kebutuhan minyak, gas, energi baru terbarukan (EBT) dan batu bara pada 2025.

“Gas dan batu bara masih oke, tapi minyak dan EBT, masih berat. Ingat, sekalipun kita menuju ke EBT, maka kegagalan pasok dari energi lain, pasti lari ke minyak, karena infrastrukturnya paling lengkap tersedia. Maka kegiatan eksplorasi dan produksi perlu ditingkatkan,” katanya.

Ibrahim menambahkan, penyediaan energi dapat pula disumbangkan oleh energi konvensional  langsung dari alam, terutama di pedesaan. Dalam hal ini, diperlukan adanya pelatihan bagi penyuluh energi untuk mengedukasi masyarakat, memilih, mengembangkan dan menggunakan energi lokal yang ada.

Pemerintah diharapkan pula membuat regulasi yang memperhatikan penerimaan dan pelayanan masyarakat. Sedangkan badan usaha yang memproduksikan energi, diharapkan lebih melihat sisi teknoekonomi.

“Maka disini pertaruhannya. Regulasi di kantor dan badan usaha di lapangan. Nature of business energi ada kekhususan dan SDM yang terlibat juga memerlukan kompetensi khusus yang perlu dilatih untuk pengembangan energi, terutama EBT,” kata Ibrahim.(RA)