JAKARTA – PT Pertamina(Persero) menargetkan program biorefinery yang mengolah Crude Palm Oil (CPO) 100% menjadi green diesel (B100) bisa rampung pada tahun depan. Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina. mengatakan dengan adanya penolakan CPO asal Indonesia di Eropa maka Pertamina akan jauh lebih fokus untuk mengembangkan biodiesel. Ada tiga strategi dalam pengembangan biorefinery, pertama adalah dengan co-processing, standalone atau membangun fasilitas kilang baru untuk mengolah CPO, dan conversion atau dengan revamping kilang eksisting. Untuk strategi yang terakhir ini dinilai paling cepat dan efisien jika diimplementasikan.

“Skemanya enggak bangun baru, tapi convert alat yang stand alone. Ini sedang kami kerjakan. Quick win pertengahan tahun depan sudah ada B100, kapasitas mengolah CPO enam ribu barel per hari atau 0,3 juta ton per tahun,” kata Nicke di Gedung DPR/MPR, Selasa (25/2).

Nantinya proses conversion ini ditargetkan bisa menghasilkan produk green diesel mencapai 0,3 juta Kiloliter (KL) per tahun. Sehingga bisa menambah produksi BBM nasional. Selain itu Nicke juga menjamin bahwa investasi tidak terlalu besar dan waktu lebih cepat karena modifikasi.

Nicke mengatakan untuk jalankan strategi pembangunan fasilitas baru atau standalone dibutuhkan biaya mencapai US$600 juta (investasinya). Kilang Plaju yang dipilih Pertamina untuk menjalankan strategi konversi. “Kalau kita convert kilang tua, saving 50% daripada kita bangun baru. Jadi ini yang lebih kita kedepankan,” ujar Nicke

Sementara untuk biaya produksinya sendiri menurut dia masih akan tergantung harga CPO itu sendiri. Karena itu Pertamina juga sudah menyampaikan usulan kepada pemerintah untuk bisa menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) CPO baik dari sisi volume maupun harganya.

“Kami meminta DMO untuk CPO. Jadi, CPO khusus Bioenergi. DMO Volume, dan DMO harga. Karena sebetulnya longterm kita bisa secure antara off taker dan supplier. Kalau sekarang kan B30 kan naik kan, jadi ikut naik. Kalau ini program nasional butuh kepastian harga, karena kita butuh investasi. Makanya perlu ada regulasi CPO,” jelas Nicke.

Pertamina sendiri baru saja memutuskan kerjasamanya dengan ENI, perusahaan asal Italia dalam pengembangan COO menjadi green diesel. Ini disebabkan pihak ENI beberapa kali mendapatkan teguran dari pemerintah Italia karena melakukan kerja sama dengan Pertamina yang melibatkan pengguna CPO Indonesia. Semula percobaan penggunaan CPO menjadi green diesel dilakukan di kilang milik ENI di Italia. Hanya saja aksi itu ditentang langsung oleh pemerintah Italia. Kemudian CPO Indonesia harus mendapatkan sertifikasi khusus agar bisa masuk ke Eropa.

Salah satu sertifikat penting yang biasanya harus dimiliki badan usaha yang penggunaan kelapa sawit untuk green refinery adalah CPO yang digunakan harus memperoleh International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

“Awalnya kerja sama dengan ENI untuk mitigasi teknis. Tapi ada penolakan CPO di Eropa karena harus terapkan sertifikasi internasional ENI jadi maju mundur. Jadi, nggak jadi co-processing di fasilitas ENI di Milan,” kata Nicke.

Sebagai gantinya Pertamina langsung bekerja sama dengan UOP perusahaan asal Amerika Serikat yang telah memiliki sertifikasi teknologi untuk produksi green diesel berbahan baku CPO.(RI)