JAKARTA-Indonesia diyakini masih memiliki cadangan gas bumi yang masih melimpah. Masalah utama yang dihadapi saat ini adalah dalam distribusi. Hal itu terus menjadi pertanyaan selama bertahun-tahun. Berbagai skema coba dikaji oleh pemerintah untuk bisa mengalirkan gas kepada para pihak yang membutuhkan.

Ketenagalistrikan menjadi sektor yang menjadi andalan untuk menyerap gas pun hingga saat ini tidak optimal dalam memanfaatkan gas. Kehadiran pembangkit bertenaga gas juga sejalan dengan upaya diversifikasi energi yang terus digaungkan oleh pemerintah untuk mendukung pelestarian lingkungan.

Ada satu cara jitu yang seharusnya bisa digencarkan adalah dengan membangun konsep infrastruktur gas Liquid Natural Gas (LNG) skala mini. Konsep ini dikembangkan untuk bisa memenuhi kebutuhan para konsumen gas yang tidak mendapatkan jatah gas pipa ataupun yang membutuhkan gas dengan volume tidak terlalu besar misalnya pembangkit-pembangkit listrik berkapasitas kecil yang berada di berbagai pulau yang tersebar di Tanah Air. Apalagi konsep ini didukung dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan sehingga tidak mungkin seluruh wilayah akan disambung dengan jaringan pipa melintasi lautan, karena dipastikan akan membutuhkan dana yang sangat besar.

“Ini bisa jadi solusi, nanti distribusi pakai kapal (mini), ada penyimpanan atau storage (di sana),” kata Tumiran kepada Dunia-Energi saat ditemui di sela seminar LNG to Power yang digelar Indonesian Gas Society di Jakarta, Senin (16/10).

Menurut dia konsep dengan membangun berbagai fasilitas mini yang dibutuhkan seperti mini terminal LNG berikut dengan fasilitas mini regasifikasinya, serta penggunaan kapal-kapal pengangkut LNG berskala kecil, bisa mendukung upaya pemerintah membantu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di berbagai daerah.

“Ada LNG terminal-kan yang menyerap, menyimpan, mendistribusikan, itu harus dibangun. supaya daerah-daerah daerah-daerah tumbuh, berkembang seperti konsepnya Pak Jokowi kan,” katanya.

Menurut Tumiran, kebijakan pembangunan pipa tidak sepenuhnya salah karena untuk di pulau-pulau dengan jumlah demand atau kebutuhan gas yang sangat besar memang dibutuhkan jaringan untuk menghubungkan produsen ke konsumen gas. Namun sebagai negara kepulauan akan sangat tidak efisien jika seluruh wilayah dihubungkan dengan pipa gas, karena itu dibutuhkan infrastruktur juga yang sifatnya regional.

“Negara kepulauan tidak mungkin kita hubungkan (dengan pipa) dari Jawa misalnya ke Nusa Tenggara Timur (NTT), harus ada yang sifatnya regional” ungkapnya.

Konsep ini ternyata juga disadari oleh PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegarasi, sebagai salah satu jalan keluar untuk pemerataan energi. Melalui “cucu usahanya”, PT Pertagas Niaga, yang fokus dalam bisnis pembangunan infrastruktur dan pengangkutan gas, konsep mini LNG menjadi suatu bisnis yang cukup menjanjikan terutama jika melihat prospek penggunaan gas dalam bentuk LNG kedepan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik.

Achmad Fauzi, Vice Presiden Commercial LNG dan CNG Pertagas Niaga, menjelaskan masa depan LNG kedepan terbuka lebar karena kebutuhan akan gas dipastikan akan semakin meningkat seiring dengan upaya diversifikasi energi. Pertagas Niaga hadir untuk memberikan pelayanan terhadap para calon konsumen gas yang tidak memiliki akses gas pipa.

Menurut dia, untuk Indonesia bagian Timur mulai dari Kalimantan dan Papua akan dibangun pembangkit berkapasitas kecil oleh PLN karena kalau kapasitas besar kebutuhan tidak sebesar di wilayah lain seperti Sumatera dan Jawa.

“Mungkin ada (pembangkit listrik) tapi bagaimana dengan sumber pasokan gasnya, bangun pipa juga tidak memungkinkan, artinya solusinya paling bagus dari LNG itu yang small scale,” ujarnya.

Mini LNG memiliki karakteristik yang cukup unik, selain lebih efisien dan kompetitif dari sisi harga, mini LNG jelas bisa mengakses konsumen yang berada di wilayah remote dan tidak tersentuh gas pipa karena distribusinya menggunakan moda transportasi lebih kecil seperti truk atau kapal kecil.

Keuntungan lain dalam pemanfaatan mini LNG adalah dapat digunakan sebagai bahan kajian atau uji coba infrastruktur sebelum terbangun jaringan pipa yang lebih permanen.
Implementasi konsep ini sudah diterapkan di PLTG Sambera. Di proyek ini, Pertagas Niaga akan memasok kebutuhan pembangkit listrik berkapasitas 2×30 Megawatt (MW) serta membangun fasilitas mini regasifikasi.

PT PLN (Persero), badan usaha milik negara di sektor ketenagalistrikan, dalam datanya memproyeksikan akan ada peningkatan cukup signifikan terhadap penggunaan gas untuk pembangkit listrik, yang sudah dimulai sejak 2017-2026. Untuk tahun ini saja total kebutuhan gas adalah 606 TBTU dengan perincian LNG sebesar 174 TBTU dan gas pipa 432 TBTU.

Kebutuhan akan LNG semakin meningkat di tahun depan yakni sebesar 211 TBTU dan gas pipa sebesar 449 TBTU dilanjutkan pada tahun 2019 kebutuhan LNG menjadi 355 TBTU dan gas pipa sebesar 397.

Porsi tersebut diperkirakan berubah pada 2020 karena LNG akan lebih banyak diserap ketimbang gas pipa yakni sebesar 447 TBTU sementara gas pipa hanya 361 TBTU, berikutnya jumlah akan terus meningkat untuk kebutuhan LNG hingga pada tahun 2026 porsinya untuk LNG akan menjadi 851 TBTU sementara gas pipa hanya sebesar 343 TBTU.
PLN dalam peta jalan (roadmap) pengembangan pembangkit listriknya berencana membangun total 30 pembangkit listrik bertenaga gas yang ditargetkan selesai secara bertahap antara 2017 hingga 2024.

Pembangunan pembangkit tersebut terbagi dalam tujuh area, yaitu Area Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara yang membutuhkan total sekitar 184,5 MMSCFD, Area Sumatera Selatan diperkirakan menbutuhkan pasokan gas sebesar 33,7 MMSCFD, lalu area Riau 95 MMSCFD.

Pembangunan pembangkit gas juga akan dilakukan di Area Jawa Barat dengan kebutuhan gas diperkirakan mencapai 537 MMSCFD, Area Jawa Tengah membutuhkan gas sekitar 209 MMSCFD, Area Jawa Timur diperkirakan butuh pasokan gas sebesar 474 MMSCFD serta Area Kalimantan membutuhkan gas 18,8 MMSCFD sehingga total perkiraan kebutuhan gas mencapai 1.552 MMSCFD.

Menurut Tumiran dengan adanya roadmap pembangunan PLTG serta kebutuhan gas tersebut, integrasi antara Pertamina dan PLN sangat penting. Dia menegaskan PLN tidak perlu susah-susah mencari pasokan gas karena bisa didapatkan dari Pertamina. Sinergi yang teripta di antara kedua entitas bisnis ini tentu diharapkan akan membuat harga listrik menjadi lebih kompetitif.

“Pertamina dan PLN harus bersinergi. Untuk apa PLN minta gas dari partner luar negeri,” tegas Tumiran.

Penerapan distribusi melalui skema mini LNG juga ternyata tidak melulu untuk kepentingan pembangkit. Dalam implementasinya metode ini ternyata juga bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG.

Achmad menyebutkan Pertagas Niaga saat ini gencar memasarkan salah satu produk terbaru dalam bentuk mini LNG sebagai bahan bakar yakni Virtual Gas Liquid (VGL). Bentuk dan kegunaan VGL tidak jauh berbeda dengan LPG, hanya saja memiliki kapasitas yang lebih besar. Saat ini VGL sudah digunakan di Hotel Hilton, Bandung dengan kebutuhan rata-rata per bulan sebesar 600 MMBTU.

“Jika terus dikembangkan dan digunakan kan bisa turut membantu mengurangi subsidi LPG, LNG kita melimpah,” kata Achmad.

Fahmy Radhi, pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan konsep mini LNG sangat mungkin diaplikasikan di Tanah Air, apalagi dengan karaksteristik negara Indonesia berupa kepulauan yang sangat luas memang tidak mungkin dapat diakses melalui jaringan gas pipa. Karena itu diperlukan fasilitas mini LNG di sekitar area konsumen.

Namun, Fahmy mengingatkan, Pertagas Niaga sebagai perusahaan yang menyediakan fasilitas tersebut harus terus berinovasi untuk menciptakan harga LNG yang kompetitif sehingga bisa bersaing dengan sumber energi lain.

“Pertagas Niaga harus kreatif dalam pengembangan mini LNG, tidak hanya biaya pembangunan fasilitas lebih murah ketimbang bangun pipa tapi efektif dalam mencapai konsumen gas,” katanya. (rio indrawan)