WILAYAH Karawang sudah tersohor sebagai lumbung padi nasional sejak dulu. Tapi siapa sangka di Dusun Kedawung di Desa Tanjung, Kabupaten Karawang ternyata sempat dikategorikan sebagai desa rawan pangan. Sangat mengherankan mengingat sebagaian besar wilayah Karawang dan sekitarnya didominasi oleh hamparan hijau padi. Hampir seluruh penduduknya juga berprofesi sebagai petani.

Usut punya usut, ternyata ada alasan khusus desa Tanjung dikategorikan rawan pangan. Masyarakat di desa tersebut dinilai terlalu bergantung terhadap produk tani padi berupa beras. Tidak ada mata pencaharian lain sehingga apabila terjadi sesuatu potensi permasalahan pangan maupun ekonomi menjadi tinggi.

Tidak mau terus terjerembab dalam jurang kerawanan tersebut, Jubaedah bergerak. Dia memang kebetulan cukup aktif terlibat berbagai kegiatan pendampingan masyarakat yang diinisiasi oleh pemerintah daerah Karawang

Minuman jamu dalam kemasan jadi pilihan pertama Mak Edah untuk dikembangkan. Lama berkiprah di dunia jamu keliling membuat Emak sedikt banyak mengetahui cara memproduksi jamu kunyit serta jahe yang jadi produk unggulan.

Emak Edah menceritakan ilmu pembuatan jamu secara tidak sengaja didapatkan dari tentangga, ia pun mencoba meracik jamu memanfaatkan momen absennya tetangga penjual jamu yang kembali ke kampung halaman. Emak Edah tidak mau produknya meluncur ke pasar asal-asalan. Beberapa kali survei dilakukan untuk mengetahui harga jual yang pas. “Saya cari ilmu jualannya, tanya-tanya harga nyeduh di tempat lain,” cerita Emak Edah kepada Dunia Energi saat kunjungan ke KWT Kenanga pekan pertama bulan Oktober.

Jamu Emak Edah mulai mencuri hati masyarakat, tidak hanya di desanya tapi juga di desa sekitar. Emak Edah tidak mau sendirian merintis usahanya. Dia mau tempat tinggalnya tidak lagi dikatakan desa rawan pangan. Berbekal berbagai pelatihan yang dia ikuti, dia mengajak ibu-ibu lainnya di dusun Kedawung untuk tidak tinggal diam.

Dia berinisiatif meminta bantuan ke dinas pangan agar warga di sekitar tempat tinggalnya juga bisa ikut memproduksi jamu secara berkelompok. Emak Edah disarankan untuk membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) agar resmi sehingga berbagai progam bantuan, penyuluhan berusaha bisa didapatkan. Akhirnya dia membentuk KWT Kenanga. Beranggotakan ibu-ibu yang suaminya bekerja sebagai petani.

Pada awalnya KWT Kenanga memang memproduksi jamu tapi kemudian Emak Edah mencoba bisnis lain yakni Kerupuk Miskin. Kerupuk khas wilayah pantai utara jawa (Pantura) yang jadi primadona masyarakat kota. Pasar jamu yang telah terbentuk dimanfaatkan sehingga menjadi target pemasaran kerupuk KWT Kenanga. Alhasil kerupuk tidak sulit mengambil hati masyarakat dan justru jadi produk utama KWT Kenanga saat ini. Inovasi dilakukan dengan menambah varian rasa kerupuk memanfaatkan sumber daya lokal desa Tanjung yakni daun Kelor yang dalam perjalanannya juga disambut positif. Menurut Emak Edah, ide untuk membuat kerupuk dari daun Kelor memang murni keinginannya untuk bisa menciptakan sesuatu yang berbeda dari produk sejenis.

“Nah daun Kelor kan banyak di sekitar sini pada tumbuh aja bebas, dicoba ternyata hasilnya bagus. Bisa diterima sama konsumen,” kata Emak Edah.

Sepak terjang Emak Edah dan KWT Kenanga terendus PT Pertamina Gas (Pertagas) sebagai bagian dari , PT Perusahan Gas Negara (PGAS) Tbk sebagai Sub Holding Gas Pertamina.

Elok Riani Ariza, Manager Communication Relations and CSR PT Pertamina Gas (Pertagas) mengungkapkan KWT Kenanga jadi bagian program unggulan binaan Pertagas bertajuk Kawat Cinta atau Kelompok Wanita Tani Capai Impian dan Cita-cita.

Program ini fokus pada isu ekonomi dan sosial dengan sasaran pada awal program adalah wanita lanjut usia dan ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Tanjung. Ada beberapa kegiatan yang dirintis di sana diantaranya produksi berbagai produk KWT seperti Jamu dan Kerupuk Miskin yang telah dimodifikasi, lalu ada pemanfaatan lahan pekarangan untuk TOGA serta terbaru adalah rintisan kegiatan Pusat Pelatihan Pertanian Dan Pedesaan Swadaya (P4S).

Desa Tanjung jadi salah satu target binaan Pertagas lantaran sebagai wilayah di sekitar area operasi kondisinya sebelum tahun 2020 atau sebelum keterlibatan Pertagas dinobatkan sebagai desa rawan pangan, kemudian lahan yang tidak termanfaatkan, belum ada ruang bagi lansia “Bahkan Pemuda produktif pengangguran dan ketergantungna game online,” ungkap Elok.

Beberapa capaian KWT Kenangan setelah adanya pendampingan Pertagas diantaranya KWT Kenanga sebagai katalisator bagi anggotanya untuk meningkatkan posisi tawar dan ekonomi.

“Sekarang terbentuk Kawat Cinta yang bisa jadi wadah anggota bisa membuat produksi makanan minunuman yang punya nilai jual,” ujar Elok.

Dia menuturkan dari sisi ekonomi, capaiannya juga cukup menjanjikan. Setelah disalurkan bantuan berupa peralatan memasak kerupuk serta meracik jamu kini kapasitas produksi produk unggulan bisa meningkat cukup signifikan. Kerupuk misalnya yang dulu 40 bungkus per hari kini bisa 100 bungkus, serta jamu yang semula hanya 50 botol per hari kini bisa meningkat lebih dari dua kali lipat yakni 125 botol per hari.

“Pendapatan KWT Kenangan naik kerupuk jadi Rp14 juta per bulan, kalau jamu Rp9,6 juta per bulan pemanfaatan lahan 400 m2 untuk tanaman TOGA,” ujar Elok.

Salah satu manfaat tanaman TOGA sendiri sebenarnya langsung dirasakan oleh KWT Kenangan dan masyarakat sekitar.

Emak Edah menceritakan KWT Kenanga kini tidak perlu lagi susah mencari bahan baku menimuan jahe yang diproduksi. Justru pasokan datang dari warga sekitar tidak seperti awal-awal dimana KWT harus bergerilya mencari jahe. Apalagi ditengah pandemi, tanaman obat-obatan tidak terlalu mudah untuk dicari. Pengembangan lahan pekarangan ini telah memutar roda ekonomi dan menciptakan multiplier effect yang sudah ditargetkan sejak awal program.

“Dulu ambil dari orang sekarang sudah hampir setahun kita didik ibu-ibu di kampung tanam jahe, itu dikasih Pertagas bibitnya. Sekarang sudah panen, sekarang sudah mulai panen pada datang ke KWT, ada yang jual 1kg 1,5 kg. Jadi KWT ke masyarakat beli. Kita beli jahenya. Untuk harganya kita sesuai dengan harga pasaran aja. jadi tidak kekurangan stock,” jelas Emak Edah.

Iyas, pendamping dari Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mengungkapkan predikat desa rawan pangan bagi desa Tanjung dengan cepat berubah berkat adanya keberadaan KWT Kenanga. Menurut dia salah satu faktor adalah adanya diversifikasi produk yang dijual.

“KWT kenanga menjadi desa jamu tradisional, pengen ada ciri khas, makanya ini ciri khas KWT. pemasaran kerupuk aci ini bagus,” ungkap dia.

Menurut Iyas, desa rawan pangan ditetapkan sengaja agar program pembinaan bisa fokus. Pemerintah daerah terus berupaya meningkatkan atau menghapus predikat tersebut melalui berbagai program, termasuk dukungan dari perusahaan yang beroperasi di wilayah Karawang. Pendampingan yang dilakukan di desa Tanjung menemukan bahwa dengan adanya kolaborasi antara Pertagas dan masyarakat sekitar operasinya bisa jadi model pembinaan masyarakat yang tepat karena terbukti tidak terlalu lama bagi desa Tanjung untuk menanggalkan predikat desa rawan pangan dan kini sudah menjadi desa mandiri pangan.

“Jadi rawan pangan supaya bangkit, kebetulan yang sudah dikerjakan di desa Tanjung sesuai dengan program pemerintah. Di desa lain juga naik peringkat tapi satu peringkat kalau di sini (Tanjung) itu naik peringkat cepat makanya di sini malah sudah jadi ketahanan pangan bagus. ini perestasi yang bisa dibanggakan,” ungkap Iyas.

Jubaedah dan produk unggulan KWT Kenanga (Foto/Dunia Energi/Rio Indrawan)

Atas berbagai capaian di desa Tanjung kini KWT Kenanga ditetapkan sebagai Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S). Membanggakan memang mengingat desa rawan pangan pernah disematkan kepada desa Tanjung.

KWT Kenanga kini jadi pilihan bagi para pihak yang ingin melakukan study banding program pengembangan masyarakat, baik oleh pemerintah daerah lain, perusahaan negara atau BUMN, swasta maupun untuk kebutuhan pendidikan.

Sudah ada beberap instansi yang berkolaborasi dengan KWT Kenanga untuk melihat dan mempelajari bagaimana sistem manajemen KWT Kenanga dibangun sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Sudah ada mahasiswa atau dinas juga dari Bandung, Bogor. Mereka macam-macam di sini belajarnya ada yang ambil manajemennya, inovasi pengolahan kunyit atau kerupuk,” ungkap Mak Edah.

Tedi Abadi Yanto, Head of Eksternal Relation Pertagas, menjelaskan penetapan KWT Kenanga sebagai P4S ini turut serta memberikan efek domino bagi masyarakat.  Pertagas kata dia juga merasa harus lebih membina KWT Kenanga, karena di sadar betul KWT Kenanga berpotensi besar menjadi pusat pergerakan ekonomi masyarakat yang bisa jadi role model dan replikasikan di berbagai wilayah lain tidak hanya oleh Pertagas tapi juga oleh instansi lainnya.

“Ini tantangannya kan keberlanjutan, marketnya disasar menangah ke bawa, kita perbaiki higienitas, sehingga jika ada yang tertarik melihat ke sini, mereka tahu kalau ini semua nggak diproduksi di tempat sembarangan,” ujar Tedi.

Pertagas juga berinisiatif mengenalkan teknologi ramah lingkungan melalui pemasangan solar panel yang listriknya nanti bisa digunakan oleh KWT Kenanga. Selain memperkenalkan teknologi tentu ini bisa menurunkan biaya produksi dimana untuk listrik biasanya rata-rata menelan biaya sebesar Rp400 ribu per bulan.

“Banyak alat-alat listrik yang digunakan di sana, nah peluangnya kita bisa konversi bahan bakar gas yang selama ini pengukusan dengan kompor listrik. Kita akan exercise dulu,” ungkap Tedi.

Peluang baru bagi KWT Kenanga ketika dinobatkan sebagai pusat pelatihan adalah kebangkitan ekonomi masyarakat. Jadi saat ada mitra dari dinas pangan swasta yang minat untuk study banding, training di KWT Kenanga, budidaya produk yang bisa dihasilkan dari bahan baku sekitar rumah, maka para anggota KWT Kenanga bisa trainer, sebagai narasumber. Kemudian dengan adanya kelompok yang hadir jadi desa ini semakin terkenal saat training bisa tinggal di sekitar KWT Kenanga. “Ketika ini sudah berjalan baik, saya yakin pertumbuhan pasar (ekonomi) di sini akan cukup baik,” kata Tedi.

Risna Resnawaty, Pakar Corporate Social Responsibility (CSR) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran, mengungkapkan salah satu kunci kebehasilan suatu progam CSR adalah kejelian memilih mitra, sosialisasi dan pendekatan yang baik, pembinaan dan pendampingan yg sungguh-sungguh terhadap penerima manfaat. Ini yang menurutnya terjadi di program CSR yang disusung Pertagas dengan KWT Kenanga.

Selain itu program yang dilaksanakan tentu memperhatian kesesuaian antara jenis program yg dirancang dengan siapa yg nanti akan jadi kelompok sasaran.

“Keberhasilan program  dan pelibatan perempuan dalam kegiatan CSR ini merupakan hasil kerja keras pendamping lapangan dari perusahaan yang cukup jeli memilih mitra kunci,” kata Risna kepada Dunia Energi.

Menurut Risna pada tahun kedua masa pandemi atau saat PPKM dilonggarkan sebenarnya menjadi peluang untuk meluaskan pasar produk KWT Kenanga. Saat ini penggerak KWT dan juga anggotanya rata-rata sudah berusia lanjut sehingga perlu pendampingan dalam memanfaatman teknologi untuk pemasaran.

“Pertamina dapat mendorong ibu-ibu muda untuk menjadi tenaga marketing dengan gadget yang mereka miliki. Sehingga nanti KWT lansia bisa berfokus pada produksi, dan KWT Kenanga muda bisa berfokus pada pemasaran di medsos,” ungkap Risna.

Dai menyarankan lebih lanjut Pertamina perlu mempersiapkan perangkat di tingkat desa untuk mendorong pendampingan UMKM lokal secara mandiri. Sehingga suatu saat pengembangan UMKM ini dapat berjalan murni “dari masyarakat untuk masyarakat” melalui pemberdayaan Bumdes.

“Selain itu perlu juga mempersiapkan perangkat distribusi di tingkat desa, misalnya dengan menghubungkan antara UMKM dengan jasa ekspedisi, dan lainnya,” ujar Risna. (RI)