JAKARTA – Di tengah meningkatnya kebutuhan listrik di Asia Tenggara dan dorongan global untuk beralih ke energi rendah karbon, Thorcon International membawa pesan tegas yakni ‘Indonesia memiliki peluang historis untuk menjadi negara pertama yang mengoperasikan PLTN garam cair (molten salt) berbasis konstruksi galangan kapal’, di ajang Asia Nuclear Business Platform (ANBP) 2025 .
Acara yang digelar pada 9–11 Desember 2025 di Movenpick Hotel, Jakarta, mempertemukan berbagai pemain besar sektor nuklir seperti Hunton, Terra Innovatum, SPC Doza, Excel, Caelus, dan L3Harris. Dengan Dewan Energi Nasional sebagai co-host, forum ini menjadi ruang strategis untuk membahas masa depan pembangunan nuklir di kawasan.
Dalam presentasinya, Matt Wilkinson, CEO Thorcon International, menekankan bahwa Indonesia dan Asia Tenggara akan menjadi episentrum pertumbuhan energi global hingga 2050. Ledakan urbanisasi, meningkatnya manufaktur, dan ekspansi pusat data menjadikan wilayah ini memiliki kebutuhan listrik yang tumbuh tercepat di dunia. Matt menghubungkan realitas ini dengan urgensi penyediaan listrik murah dan andal.
“Negara-negara berkembang tidak mengadopsi teknologi karena ia bersih atau elegan. Mereka mengadopsinya ketika murah. Jika nuklir tidak bisa bersaing dengan batu bara dalam biaya, maka ia tidak akan dipakai dalam skala besar,” ujar Matt.
Matt mengklaim bahwa Thorcon telah mendapatkan komitmen pendanaan penuh untuk membangun PLTN demonstrasi 500 MW beserta fasilitas persiapan bahan bakarnya.
“Kami sudah sepenuhnya didanai. Negara tuan rumah tidak perlu menanggung risiko finansial apa pun. Kami akan membangun, menguji seluruh skenario kegagalan ekstrem, dan membuktikan bahwa pembangkit ini berperilaku sesuai desain,” kata Matt.
Pendekatan pendanaan mandiri ini menjadi pembeda utama Thorcon dari banyak proyek nuklir global yang biasanya membutuhkan jaminan pemerintah.
Matt menegaskan bahwa secara geopolitik, ekonomi, dan demografis, Indonesia memiliki posisi ideal untuk demonstrasi teknologi ini.
“Teknologi kami berasal dari Amerika Serikat, tetapi kami berkantor pusat di Singapura karena Asia Tenggara adalah pasar utama kami. Beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, tertarik menjadi tuan rumah proyek demonstrasi kami. Namun, preferensi kami tetap Indonesia, khususnya Pulau Kelasa di Bangka,” ujar Matt.
Menurutnya, Indonesia adalah pasar yang paling membutuhkan listrik murah dan bersih untuk menggerakkan industrialisasi serta mencapai target Net Zero 2060.
Didesain untuk Bersaing dengan Batu Bara
Thorcon menempatkan diri sebagai satu-satunya teknologi nuklir yang secara realistis mampu bersaing langsung dengan batu bara.
“Kami didesain sejak awal untuk bersaing dengan batu bara. Dengan efisiensi termal yang lebih tinggi dan tekanan operasi yang jauh lebih rendah, kami memperkirakan harga listrik sekitar 7 sen dolar per kWh,” papar Matt.
Beberapa alasan mengapa biaya Thorcon lebih rendah dibanding teknologi nuklir konvensional, karena operasi bertekanan rendah, hanya sedikit di atas tekanan atmosfer. Efisiensi termal 40% lebih tinggi dibanding PLTN konvensional.
Tak memerlukan kubah beton raksasa atau pipa bertekanan tinggi yang mahal. Konstruksi di galangan kapal dengan kontrak fixed-price dan fixed-schedule. Kombinasi faktor-faktor ini membuat Thorcon mengklaim dapat memberikan listrik setara harga batu bara, namun tanpa emisi karbon.
Terkait penggunaan torium, Matt menjelaskan bahwa Thorcon sangat terbuka menggunakan torium, tetapi menekankan kendala pasar.
“Kami tidak bisa menunggu pasar HALEU terbentuk. Ketika HALEU tersedia pada harga kompetitif, kami akan memasukkan torium dalam fuel salt kami,” ujar Matt.
Untuk saat ini, Thorcon menggunakan LEU 4,95%, yang sudah diproduksi dan diperdagangkan secara global.
Agar proyek dapat berjalan tanpa hambatan, Matt menyampaikan beberapa prasyarat penting.
“Kami membutuhkan jaminan tidak ada penundaan perizinan apa pun dari pemerintah, kecuali izin yang memang wajib diterbitkan oleh regulator nuklir,” tegas Matt.
Ia juga menyoroti pentingnya regulator yang independen.
“Kami membutuhkan regulator yang kuat, independen, dan transparan—yang tidak dapat dipengaruhi tekanan politik,” ujarnya.
Thorcon juga meminta kepastian lokasi untuk pembangkit demonstrasi dan fasilitas pengolahan bahan bakar, dengan preferensi kuat pada Pulau Kelasa.
Thorcon menargetkan pembangkit demonstrasi dapat beroperasi penuh pada 2031. Setelah lulus uji dan terbukti aman, peralihan ke mode komersial menjadi langkah yang diharapkan.
Matt berharap setelah Thorcon membuktikan pembangkit ini berperilaku sesuai desain, maka negara tuan rumah segera mengonversinya menjadi pembangkit komersial dan mengizinkan untuk menjual listrik ke jaringan nasional.
Ia juga menambahkan bahwa Thorcon siap menambah unit 500 MW berikutnya untuk memperluas kapasitas listrik nasional.
“Kami menyediakan listrik yang aman, bersih, dan terjangkau untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan target Net Zero Indonesia. Jika ini menarik bagi siapa pun di ruangan ini, silakan berbicara dengan saya,” pungkas Matt.(RA)





Komentar Terbaru