MENGINJAKKAN kaki di tanah Batak kurang lengkap rasanya memang jika tidak ke Danau Toba yang jadi magnet utama. Tapi Toba bukan hanya soal danaunya. Jauh di pedalaman hutan di tengah aliran air dari danau Toba mulai lahir geliat baru. Bukan untuk menyaingi tapi membersamai.

Masyarakat mulai menyadari bahwa pusat kehidupan tidak hanya ada di Danau Toba tapi jalur aliran Sungai Asahan yang jadi satu-satunya aliran keluar danau Toba juga memiliki kekuatan untuk membangun peradaban dengan harapan baru untuk menuai berkah.

Kami berkesempatan menyusuri aliran anak Sungai Asahan, salah satunya Sungai Ponot. Benar kata orang, ada saja keajaiban yang ditemukan di aliran sungai Asahan. Salah satu Air Terjun tertinggi di Indonesia sekitar 250 meter ternyata ada di tengah aliran Sungai Asahan ini yaitu Air Terjun Ponot, yang berada di Desa Tangga, Kecamatan Aek Songsongan, Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

Saat baru menjejakkan kaki di air terjun, tujuh penari putri langsung menyambut. Gerakannya didominasi oleh langkah kecil. Tangannya berayun lalu terbuka layaknya tunas yang mulai tumbuh. Penarinya melakukan langkah kecil ke kanan dan ke kiri mengikuti ritme gondang, alat musik tradisional khas batak. Gerakan para penari ini halus dan terukur. Alunan musik batak, ditambah gerakan tari Pucuk Buhi menambah kesakralan di Air Terjun Ponot. Pucuk Buhi merupakan tari Batak Toba yang biasa ditampilkan untuk menunjukkan rasa sukacita atau sebagai penghormatan ucapan selamat datang.

Sonita Pandjaitan, Guru SMP N 2 Aek Songsonga berdiri tidak jauh dari para penari cilik. Wajahnya tampak kaku, tegang mengamati gerakan murid-muridnya. Maklum ini kali pertama mereka tampil di depan banyak orang bukan di dalam gedung tapi di luar ruangan bahkan di depan kemegahan air terjun. Sonita menceritakan murid-murid kelas 4 hingga 5 kini secara bergantian memiliki peran untuk ikut memajukan dan mengenalkan keindahan Air Terjun Ponot melalui tari-tarian. Rencananya tarian khas Batak akan ditampilkan secara rutin sebagai salah satu suguhan kekayaan seni dan budaya Batak yang bisa dinikmati bersama dengan kemegahan Air Terjun Ponot.

“Tarian ini akan ada pentas regular.Pengembangannya jadi nanti ada pentas untuk para pengunjung,” ujar Sonita saat ditemui kunjungan Dunia Energi bersama para awak media di Air Terjun Ponot, Senin (20/10).

Selain tari-tarian kita bisa melihat ada sesuatu yang jauh berbeda dibandingkan tempat wisata sejenis. Tepat setelah gapura selamat datang ada anak sungai aliran dari air terjun yang deras mengalir. Diatasnya ada dua roda besar yang meggerakan kincir air. Putarannya cepat mengikuti derasnya aliran anak sungai. Diatas kincir air ada box tidak terlalu besar tempat menyimpan aki. Dari balik box itu menjulur keluar kabel-kabel tersambung ke sebuah tiang kecil setinggi 1,5 meter  yang diatasnya ada tempat berikut lima soket listrik (stop kontak/colokan) untuk mengisi daya (charge) handphone.

Listrik yang mengalir untuk mengisi daya handphone berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro (PLTPh) dari aliran Air Terjun Ponot. Beberapa pengunjung terlihat sedang mengisi daya handphone di sana. Pengelola tidak memungut biaya untuk mengisi daya handphone alias gratis. Ada dua unit PLTPh dengan masing-masing kapasitas sebesar 1,5 Kilowatt (kW). Selain untuk mengisi daya handphone juga untuk lampu penerangan kawasan air terjun.

Pembangkit Listrik Tenaga Piko Hidro (PLTPh) di Air Terjun Ponot selain jadi pembangkit listrik mandiri untuk charging handphone juga sebagai sarana edukasi tentang operasi INALUM yang mengandalkan energi bersih (Foto/Dok/Dunia Energi – Rio Indrawan)

Semakin melangkah ke atas makin terdengar jelas deru air yang jatuh dari ketinggian hampir 250 meter membuat percikan air terasa hingga beberapa puluh meter.

Air Terjun Ponot berada di dataran tinggi di tengah rimba Sumatera Utara diapit oleh pegunungan legendaris Bukit Barisan. Perlu waktu sekitar 2 jam perjalanan dengan mobil dari bandara Silangit untuk ke sana. Medan berupa jalanan aspal yang membelah gugusan bukit menjulang. Kita bakal disuguhi landscape hutan yang masih teduh selama di perjalanan. Menyusuri jalanan berkelok dari ketinggian terus turun hingga ke lembah. Air terjun semakin dekat ketika melewati bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tangga, wilayah dimana rimbunan pepohonan hutan mulai diselingi dengan atap-atap rumah warga.

Jika melihat kebelakang, sekitar dua tahun lalu, Air Terjun Ponot hanya dijadikan sebagai tempat bermain warga desa. Kalaupun ada wisatawan juga masih tingkatan lokal dan sekitar desa. Pengelolaan juga ala kadarnya belum ada fasilitas maupun infrastruktur penunjang seperti toilet atau warung makan tempat beristirahat.

Ada masanya ketika beberapa kelompok masyarakat justru terang-terangan bersaing untuk dapatkan jatah mengelola kawasan parkir yang dipatok sebesar Rp 10 ribu untuk sepeda motor, Rp 20 ribu. Perselisihan juga kerap terjadi untuk perebutan lahan yang nantinya bakal disewakan lagi.

Nurdinsyah Tanjung, jadi salah satu warga yang ikut merasakan dampak dari perselisihan antar kelompok warga. Dia dan banyak warga sekitar Air Terjun Ponot merasa jadi tidak bisa berkembang. Harapan mereka untuk mendapatkan manfaat keberadaan Air Terjun Ponot hanya impian. Apa mau dikata kawasan yang tadinya diharapkan ramai dikunjungi wisatawan bahkan sudah mati sebelum berkembang akibat oknum warga yang dibutakan oleh keegoisan. “Bingung juga, karena kebiasaan orang sini atau gimana tapi ya ada aja perselisihannya,” cerita Nurdin.

Keegoisan warga untuk masalah “perut” memang jadi kisah laten dan tidak hanya di desa Tangga tapi banyak terjadi di tempat lain, khususnya wilayah yang mendapatkan anugerah keindahan landscape dan punya potensi wisata. Butuh waktu lama untuk menyadarkan beberapa kelompok sekitar Tangga agar mau berkompromi. Nurdin sendiri sekarang didapuk menjadi Sekretaris BUMdes Tangga Indah yang turut serta mengawal keharmonisan antar kelompok warga.

Gigih untuk Tumbuh Bersama

Menumbuhkan kesadaran masyarakat itu bukan perkara mudah. Butuh waktu, bahkan hingga tahunan. Kegigihan jadi modal utama untuk merobohkan tembok yang dibangun oleh keegoisan manusia. Itulah yang ditunjukkan PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM). Sebagai pengelola PLTA Tangga yang berada di sekitar Air Terjun Ponot, manajemen merasa perlu terlibat dan turun tangan menengahi kelompok-kelompok masyarakat yang “berebut” pengaruh di sana.

Susyam Widodo Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat INALUM, mengungkapkan manajemen memang butuh waktu tidak sebentar untuk bisa minimal menyadarkan masyarakat tentang potensi yang mereka miliki bersama Air Terjun Ponot. Sebenarnya pendekatan sudah lama dilakukan manajemen. Akhirnya tahun 2023 pergerakan secara resmi dimulai. INALUM menggandeng aparat desa, kelompok masyarakat serta para tetua adat.

“Ada tantangan memang seperti persaingan (antar masyarakat). Itu pekerjaan paling berat menyadarkan dan membina masyarakat untuk tidak bersaing. INALUM hadir menyatukan. Tempat ini emas kalau dikelola dengan baik,” kata Suyam kepada Dunia Energi di Air Terjun Ponot.

Pembenahan tidak hanya dilakukan sampai menumbuhkan kesadaran masyarakat. Paling sederhana saja, standarisasi harga jual makanan – minuman juga didorong sehingga nihil persaingan. Upgrade fasilitas penunjang juga dilakukan. Kesan kumuh yang dulu terasa kini sirna. Ruko-ruko makan minuman ditata bangunannya. Manajemen juga menggelar pelatihan fotografi agar anak-anak muda desa Tangga punya kemampuan mumpuni merintis usaha jasa foto.

Aprianta Setiawan, salah satu fotografer di Air Terjun Ponot mengaku kondisi sekarang jauh berbeda dari dua tahun lalu karena tidak ada pemasukan tambahan dari kunjungan wisatawan selain tiket parkir atau yang membeli makan minum. Tapi kini dengan disediakannya jasa foto ini jadi ladang rejeki baru muda – mudi desa Tangga. “Kalau weekend bisa Rp350 ribu omset jasa foto,” kata Aprianta.

Tari-tarian, keharmonisan kelompok warga, peningkatan fasilitas penunjang, ketersediaan jasa foto serta yang paling mutakhir keberadaan PLTPh adalah wajah baru Air Terjun Ponot. Wajah baru yang lahir bukan dari sekedar himbauan, tapi ada kesadaran untuk berubah. Keterlibatan masyarakat memang jadi syarat utama. Pilihannya tetap terpuruk atau berbenah dan menuai apa yang ditanam.

Nurdin menceritakan sejak dua tahun kebelakang jumlah kunjungan wisatawan ke Air Terjun Ponot mulai melesat. Ekonomi Desa Tangga juga menggeliat. Selama hari kerja setiap pekan rata-rata jumlah pengunjung bisa tembus 1.000 pengunjung. “Sekarang memang ada juga turis asing yang dari Danau Toba singgah ke Ponot. Kalau weekeng bisa sampai 3.000 pengunjung,” jelas Nurdin.

INALUM bersama Pokdarwis Tangga Indah sedang menyusun road map paket wisata susur hutan. Hutan di sekitar Air Terjun diyakini masih sangat kaya akan kekanekaragaman hayati. Ada berbagai jenis burung dan tanaman yang bisa ditemui dalam wisata susur hutan, salah satunya adalah bunga Bangkai atau Amorphophallus titanum, merupakan salah satu bunga terbesar di dunia yang berasal dari hutan hujan Sumatra.

Setelah bertahun-tahun suasana di Ponot terasa sesak oleh keegoisan manusia kini mulai berubah. Ponot yang sekarang erasa jauh lebih menyenangkan. Tidak ada bumbu-bumbu amarah atau persaingan buta.

Namun demikian pekerjaan besar kini menanti. Memperkenalkan Air Terjun Ponot ke dunia luas harus maksimal. Karena tidak bisa dimungkiri bahwa magnet Danau Toba memang sangat kuat. Namun demikian, sebenarnya itu bisa dimanfaatkan karena khalayak luas perlu mengetahui bahwa Sumatera Utara tidak hanya tentang Danau Toba.

“Tantangan saat ini memang publikasi, Sumatera Utara memang yang diketahui hanya Danau Toba. Kami akan coba aktifkan dari media sosial kami (INALUM) dan penawaran paket wisata dengan travel agent,” kata Susyam.

Dadan Kusdiana, Sekretaris Jendral Dewan Energi Nasional (DEN) saat dihubungi Dunia Energi mengapresiasi langkah INALUM yang memulai inisiatif untuk tumbuh dan berkembang bersama masyarakat selama bertahun-tahun dengan memanfaatkan energi hijau berupa air.

Pembangunan pembangkit listrik hidro skala kecil merupakan bagian dari pelaksanaan tanggung jawab sosial sehingga masyarakat sekitar perusahaan mendapatkan manfaat langsung atau tidak langsung. Upaya ini menurut Dadan semakin mengukuhkan hilirisasi bisa berjalan beriringan dengan peningkatan penggunaan EBT. “Saya meyakini upaya ini akan semakin mbuat program hilirisasi berjalan baik,” ujar Dadan.

Air Terjun Ponot mungkin memang kecil. Tidak sebesar Danau Toba. Tapi Ponot punya energi. Baik untuk menggerakkan turbin ataupun menghasilkan energi bebas emisi. Energi untuk berbagi cerita tentang kisah hilirisasi tanpa emisi yang sudah berjalan di INALUM selama hampir setengah abad. Ponot punya energi untuk mewujudkan kemandirian.

Dari Air Terjun Ponot kita belajar bahwa energi bersih ada di sekitar dan bisa dimanfaatkan jika ada kemauan. Dari Air Terjun Ponot kita belajar bahwa anugerah keindahan alam tidak akan berarti tanpa adanya kesadaran untuk melepas ego dan memilih untuk bergotong royong mengembangkannya. Ada nasihat para tetua batak “Marsiadapari, sai dapot horas” yang artinya saling membantu akan mendatangkan kebaikan. Kerja sama membangun Air Terjun Ponot bukan hanya meringankan beban, tetapi membawa keberkahan bagi semua.