HALMAHERA TIMUR – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara menyatakan proses pembahasan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), khususnya Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) serta Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL–RPL) atas rencana peningkatan kapasitas produksi perusahaan tambang nikel PT Nusa Karya Arindo (PT NKA) pada 10 Desember 2025 patut ditolak secara serius.
JATAM menyebut, alih-alih menjadi instrumen kehati-hatian dengan menempatkan keselamatan lingkungan dan warga yang paling utama, pembahasan yang digelar secara daring (dalam jaringan) oleh Komisi Penilai AMDAL Kementerian Lingkungan Hidup (LH) itu justru menunjukkan gejala kuat jika pelaksanaannya terkesan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. “Artinya, hanya formalitas administratif belaka, dengan mengabaikan substansi, transparansi, dan hak warga terdampak,” ungkap Said Marsaoly, Salawaku Institute sekaligus Warga Teluk Buli-Maba, Halmahera Timur, dalam keterangannya Senin(15/12/2025).
PT NKA dengan luas konsesi 20.763 hektare ini, merupakan anak usaha dari PT Antam Tbk (Antam/ANTM). Perusahaan dengan status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu berencana meningkatkan kapasitas produksi bijih nikel di Blok Moronopo dari 4 juta ton menjadi 7,5 juta ton per tahun, membuka 206,65 hektare lahan baru, membangun infrastruktur tambang tambahan, serta membangun terminal khusus (dermaga) di Sangaji Selatan. Skala ekspansi ini bukan sekadar peningkatan produksi, melainkan lonjakan tekanan ekologis serius terhadap daratan, sungai, dan pesisir Halmahera Timur.
Mengutip keterangan JATAM, di tengah bahaya kerusakan yang mengintai itu, namun justru proses pembahasan AMDAL berlangsung tertutup dan cenderung tidak partisipatif. Dokumen tidak dibuka secara luas, undangan forum terbatas, dan masyarakat Kecamatan Kota Maba — yang hidup paling dekat dengan wilayah tambang—tidak dilibatkan secara bermakna. Pelaksanaan sidang ANDAL dan RKL–RPL secara daring semakin memperparah ketimpangan partisipasi: warga tidak memegang dokumen secara utuh, tidak memiliki akses memadai terhadap peta dan data teknis, serta tidak diberi ruang setara untuk menyampaikan keberatan. Ini bertentangan dengan prinsip partisipasi publik dan mencederai tanggung jawab negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
JATAM menyatakan yang dilakukan oleh PT NKA ini menjadi ironi. Sebagai perusahaan milik negara, PT Nusa Karya Arindo yang seharusnya menjunjung tinggi keterbukaan informasi, malah justru menjalankan proses perizinan yang tertutup dan bermasalah, itu berarti negara sedang melegitimasi praktik perusakan lingkungan dan memperdalam krisis sosial-ekologis di Halmahera Timur.
Lebih jauh, usulan-usulan strategis warga yang disampaikan dalam Konsultasi Publik sebelumnya sama sekali tidak dibahas. Padahal warga telah menegaskan area yang harus dilindungi dari aktivitas tambang, termasuk kebun pala, damar, dan gaharu milik warga Mabapura, wilayah tangkap nelayan, serta perlindungan ruang hidup masyarakat adat O’Hongana Manyawa. Tidak adanya bukti penerapan prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak masyarakat adat—terlebih dilakukan oleh perusahaan milik negara.
Keabsahan dokumen AMDAL PT NKA juga diragukan. Ditemukan kejanggalan substansial, termasuk penyebutan wilayah administratif yang tidak sesuai dengan lokasi proyek, yang mengindikasikan rendahnya ketelitian penyusunan dokumen. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai kualitas data dasar lingkungan, analisis dampak, serta rekomendasi pengelolaan dan pemantauan yang menjadi dasar penerbitan izin.
Dari sisi ekologis, kondisi wilayah konsesi PT NKA sangat rentan. Sebanyak 35% tapak proyek (7.339,21 hektare) berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) Tingkat Tinggi yang meliputi wilayah dengan potensi longsor sebesar 6.203,36 hektare, potensi kebakaran hutan seluas 1.115,31 hektare, dan wilayah dengan potensi banjir dan banjir bandang lebih dari 20,54 hektare. Sayangnya, resiko yang demikian besar tidak didukung oleh dokumen mitigasi yang memadai.
Di dalam IUP PT NKA terdapat 5.777,31 hektare hutan lindung. Sebanyak 111,74 ha telah dibuka melalui Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), sementara 5.665,57 haktere masih relatif utuh. Hutan lindung ini merupakan benteng terakhir penahan bencana. Pembukaan lanjutan akan memperbesar resiko longsor, banjir lumpur, dan sedimentasi pesisir Moronopo. telah merusak terumbu karang, mangrove, dan wilayah tangkap nelayan. Karena itu, seluruh sisa hutan lindung wajib ditetapkan sebagai zona larangan tambang secara permanen.
Selanjutnya, penghentian penggunaan geotextile tube tanpa evaluasi terbuka kepada publik semakin memperkuat lemahnya pengendalian dampak lingkungan. Hingga kini, PT NKA juga belum membuka informasi krusial seperti data kualitas air pesisir Moronopo, peta tambang aktif, rencana teknis penambangan, serta kajian akademik pendukung AMDAL. Hal ini bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik yang wajib dipatuhi perusahaan di bawah BUMN.
JATAM menegaskan bahwa AMDAL seharusnya menjadi rem darurat, bukan karpet merah bagi perusahaan plat merah. Atas dasar itu, maka JATAM menuntut:
1. Kementerian Lingkungan Hidup segera menghentikan proses penilaian ANDAL dan RKL–RPL PT NKA, serta mengulang seluruh pembahasan secara tatap muka, inklusif, dan transparan, dengan membuka akses dokumen secara penuh kepada publik.
2. Kementerian ESDM harus menunda seluruh persetujuan teknis dan rencana peningkatan kapasitas produksi PT NKA.
3. Ombudsman Republik Indonesia perlu melakukan pemeriksaan atas dugaan maladministrasi dan pengabaian hak publik dalam proses AMDAL PT NKA.





Komentar Terbaru