JAKARTA – PT Pertamina (Persero) menyiapkan enam program utama digitalisasi. Tidak tanggung-tanggung, program tersebut berpotensi mendatangkan nilai tambah hingga Rp5 triliun per tahun.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina,  mengatakan keenam program itu adalah Loyalty Program, Digital Refinery, Knowlegde Management & Best Practice in Upstream, Digital Procurement, Digitalisasi Korporat serta Digitalisasi SPBU dan Terminal BBM.

Program tersebut merupakan upaya Pertamina untuk menjawab tantangan bisnis di masa mendatang dan sebagai cara untuk ikut beradaptasi. Untuk transformasi yang paling bisa dirasakan adalah di sektor hilir.

Di hilir, Pertamina terus melanjutkan program utama,  yakni digitalisasi SPBU dan Terminal BBM, sehingga bisa memonitor ketahanan stok dan distribusi BBM secara nasional. Selain itu, dalam proses pengadaan barang dan jasa, Pertamina juga menerapkan digital procurement yang diprediksi memberikan kontribusi efisiensi terbesar, sekitar Rp1,5 triliun-Rp2 triliun per tahun.

Tujuan utama transformasi digital adalah untuk meningkatkan layanan Pertamina,  baik untuk customer ataupun proses bisnis internal. Apalagi Pertamina memiliki ribuan SPBU dan agen LPG yang jika tidak diatur secara digital tentu akan sulit.

“Namun untuk pelaksanaannya, kami sadar bahwa kami harus bekerjasama dengan partner yang sudah berpengalaman. Karena itu, kami akan masuk ke dalam ekosistem tersebut,” kata Nicke di Jakarta, Jumat (30/8).

Dengan sistem baru Pertamina bisa memantau aliran minyak dan gas, dari sumur sampai di SPBU. “Kami tahu kapal dimana, berapa banyak. Jadi dari 124 TBBM,  kami tahu betul stok per produk,” ujarnya.

Selain direktorat hilir, transformasi direktorat pengolahan telah dibangun sistem predictive maintenance yang terintegrasi melalui adopsi advanced analytics, sehingga meminimalisir terjadinya unplanned shutdown.

Di sektor hulu, Pertamina telah membangun upstream cloud dan big data analytic, sebagai bagian dari optimasi penggunaan aplikasi petrotechnical yang tersentralisasi dan terintegrasi.

“Upstream tantangan Indonesia dan Pertamina. Kami bisa mengoperasikan sumur lebih dari 50 tahun. Kami harus manage betul bagaimana produksi meningkat. Cari sumber baru, untuk tingkarkan RRR kami bangun digital oil field. Sumur yg dikelola Pertamina ribuan. Satu PHE ONWJ 800 sumur, jadi kalau tidak dilakukan secara sigital jadi kurang efektif,” kata Nicke.

Semua sistem yang dijalankan bisa langsung dipantau oleh direksi hingga komisaris. Ini tentu memudahkan manajemen dalam pengambilan keputusan.

“Semua kami rangkum, ada joint operation dashboard. Petakan aktivitas Pertamina hulu hingga hilir dalam satu dashboard,” tegas Nicke.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan di bidang migas, revolusi telah dimulai oleh perusahaan migas dunia seperti Repsol dengan Google untuk maintainace, ataupun antara Chevron dengan Microsoft.

“Selama ini kami melihat Pertamina koloborasi BUMN lain, seperti Telkom dan pengembangan loyalty program dengan My Pertamina dan sekarang melalui Link Aja,” kata Fajar.(RI)