Kegiatan nelayan tradisional.

Kegiatan nelayan tradisional.

Masa suram bergelimang utang segera berakhir. Sekali melaut bisa hemat hingga Rp 90 ribu. Perlu pembekalan budaya sadar risiko.

Rony terduduk lesu di beranda dermaga desanya. Nelayan Kepulauan Anambas ini hanya bisa murung memandang ke laut lepas. “Ikan-ikan napoleon itu berenang menari-nari menggoda, tapi saya cuma bisa duduk di sini. Harusnya mereka sudah bisa mengepulkan asap dapur,” ujarnya sedih Maret lalu.

Menurutnya, Februari hingga Maret adalah saatnya berburu napoleon, komoditi laut yang sangat dicari oleh tengkulak asal Malaysia, China, dan Singapura. Ikan bersisik keperakan itu berkumpul di laut dangkal yang hangat. Harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah per ekor, untuk disantap di restoran-restoran mewah. Masuk April, ikan-ikan mahal itu akan kembali berenang ke laut dalam, dan nelayan tak mungkin mengejarnya. Mesti menunggu Februari tahun berikutnya.

Bukan angin dan badai yang membuat Rony dan nelayan lain di desanya, tak sanggup mengejar napoleon yang bergerak ke laut dangkal. Namun karena solar di tangki perahunya kering. Jatah solar terakhir untuk desanya tinggal yang tersisa untuk penerangan. Aparat desa tak mungkin menyerahkannya untuk digunakan mencari ikan. Kapal pengangkut jatah solar desa itu pun tertambat diam di tepi dermaga. Tak ada stok yang bisa dijemput. 

“Kalau solar ada, berapa pun akan kami beli,” tukas Rony. Pria 37 tahun ini mengaku sudah biasa membeli solar di kisaran Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,- per liter. Itu pun harus berebut, saking langkanya. “Kami sudah biasa hidup tanpa subsidi. Kalau ada solar industri yang katanya lebih mahal itu, silahkan bawa sini,” ujarnya lagi. Utang solar dibayar ikan pun sudah biasa, yang penting bisa melaut.

Ia pun mengaku, terkadang hanya bisa membawa pulang Rp 40.000,- sampai Rp 60.000,- ke rumah, setelah semalaman mengejar ikan. Sebagian besar habis dipotong untuk membayar utang solar. Saat tak bisa melaut, bapak dua anak ini bekerja apa saja untuk menyambung hidup keluarganya. Menyabit rumput, mengumpulkan besi bekas, atau menjadi pemandu wisata pun dilakoninya.

Nasib Azis di pesisir Tuban, Jawa Timur, lebih baik. Pria yang sudah 20 tahun melakoni hidup sebagai nelayan ini, mengaku tak pernah sampai kehabisan solar. Harganya pun di kisaran Rp 6.000 per liter, karena beli di pengecer. “Pompa bensin jauh, harus naik sepeda motor kalau ke sana,” ucapnya Maret lalu. Namun soal utang solar dibayar hasil tangkapan, juga dialaminya. “Kalau mau melaut nggak punya duit, mau bagaimana lagi?,” ujarnya.

Setiap melaut, mulai jam 7 malam sampai jam 5 pagi, ia bisa membawa pulang tiga keranjang ikan. Di darat sudah ada yang menunggu, yakni “juragan” yang semalam meminjaminya solar. Dari situ, yang dua keranjang buat bayar solar, satu keranjang jadi uang. Dibagi tiga dengan dua awak perahunya, masing-masing kebagian Rp 50.000,-, dikasih semua ke istri. “Malamnya kalau mau melaut, ya utang solar lagi,” tutur Azis terkekeh. Perahu disita karena seminggu tidak dapat ikan pun pernah dialaminya.

Kegiatan nelayan di pesisir Tuban, Jawa Timur.

Kegiatan nelayan di pesisir Tuban, Jawa Timur.

Terjebak Kemiskinan Struktural

Pengamat sosial asal Jawa Timur, Azhar Kahfi mengaku tidak heran dengan situasi yang dihadapi Rony dan Azis. Menurutnya, kondisi serupa juga dialami oleh hampir seluruh nelayan tradisional di Indonesia. Bagi mereka yang agak beruntung, bisa bergabung menjadi anak buah kapal ikan yang besar, dan mendapat gaji dari bosnya. Tapi bagi yang memilih mandiri, dari hari ke hari kehidupannya dililit utang yang tak pernah berkesudahan.

Mereka yang masih muda dan sedikit nekat, kata Kahfi, memilih merantau untuk bekerja di luar daerah. Ada yang menjadi buruh bangunan, pekerja kasar di Jakarta, sampai menjadi buruh migran alias TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri. Kadang ada yang berhasil mengubah nasib, dan terangkat perekonomiannya setelah merantau.

“Namun tak sedikit yang menelan kegagalan, dideportasi dari negara tempatnya mengais rezeki. Yang bekerja di Jakarta pun terkadang pulang tak membawa hasil, karena biaya hidup di Ibukota lebih tinggi dibandingkan penghasilannya. Inilah yang kami sebut kemiskinan struktural yang menjebak warga pesisir khususnya nelayan,” ujarnya kepada Dunia Energi di Jakarta, pertengahan Juni 2013 lalu.

Hal ini pula, kata Kahfi yang kini menjadi fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI), yang menjadi latar belakang organisasinya menolak keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis solar dan premium, yang diputuskan 21 Juni 2013 lalu.

“Kami menilai, dengan menaikkan harga solar dan premium, pemerintah berupaya membebankan defisit APBN kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu, termasuk kepada nelayan tradisional yang terjebak kemiskinan struktural. Bisa dibayangkan, pasca kenaikan harga solar, makin dalamlah mereka terjerat utang,” tutur aktifis yang kini sedang menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia (UI) Jakarta ini.

Ia menambahkan, ketika berbicara harga solar dan premium, pemerintah seolah hanya memikirkan penanggulangan jebolnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata. Sementara mereka yang terjebak kemiskinan struktural akibat belitan energi, seperti para nelayan miskin itu, seolah tak dipikirkan. “Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mestinya tidak berpikir elitis. Pikirkan juga energi murah untuk nelayan-nelayan tradisional itu,” tukasnya.

Perkampungan nelayan.

Perkampungan nelayan.

Perahu Bertenaga Gas

Pemerintah sendiri beralasan, keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi, guna mengatasi defisit APBN yang mencapai 3%, dan terus membengkak setiap tahunnya. Padahal subsidi BBM selama ini lebih banyak dinikmati kalangan mampu, bukan rakyat miskin yang seharusnya menjadi sasaran subsidi.

Seperti diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, M Hatta Rajasa, sekitar 7% konsumsi BBM bersubsidi saat ini yang tidak tepat sasaran, dan tidak adil bagi masyarakat miskin dan kurang mampu. “Sehingga kita perlu mengambil langkah menyehatkan keuangan negara,” kata Hatta.

Toh, kata Hatta, pemerintah tidak menutup mata terhadap warga negara yang kurang mampu. Menyusul kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah akan menggerakkan program percepatan dan perluasan pembangunan serta adanya program khusus lainnya untuk melindungi masyarakat yang terkena dampak adanya kenaikan BBM subsidi. Salah satunya lewat pembagian Bantuan Langsung Masyarakat (BLSM) guna meringankan beban masyarakat yang terkena dampak kenaikan harga barang, pasca kenaikan harga BBM.

Ditemui secara terpisah, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, Prof Dr Ir IGN Wiratmaja Puja, MSc membantah Kementeriannya tidak peduli terhadap kebutuhan energi masyarakat kecil, terutama nelayan tradisional. “Jalan keluar bagi kebutuhan energi nelayan tradisional ini sudah menjadi bagian dari rencana strategis Kementerian ESDM tahun ini,” tutur Pejabat Eselon I Kementerian ESDM yang akrab disapa Prof Wirat ini.

Menurut Wirat, untuk tidak terus terjebak pada polemik penggunaan solar, nelayan tradisional di Indonesia didorong menggunakan perahu bertenaga gas. Yakni perahu yang digerakkan dengan Liquefied Petroleum Gas (LPG/Elpiji). “Jadi perahu nelayan jenis “pong-pong” atau perahu kecil, kita dorong menggunakan Elpiji tabung 3 kilogram yang bersubsidi,” ungkapnya di Jakarta, awal Juli 2013.

Untuk itu, lanjutnya, Kementerian ESDM telah menganggarkan melalui APBN tahun ini, penyediaan sebanyak 1.700 unit converter kit bagi perahu-perahu nelayan, untuk konversi energi dari solar ke elpiji. Setiap perahu nantinya akan disumbang satu paket converter kit plus elpiji dua tabung ukuran 3 kilogram. Setiap tahun program ini akan dievaluasi, dan jika dinilai berhasil, akan dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya hingga semua perahu nelayan di Indonesia beralih menggunakan elpiji.

Sebagai percontohan, Kementerian ESDM telah menggelar “Pilot Project Konversi Energi Perahu Nelayan dari BBM ke Elpiji” di Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pada 6 Juli 2013, kata Wirat, Kementerian ESDM telah meresmikan pilot project di Tanjung Jabung Barat itu, dengan membagikan 600 unit converter kit dan elpiji tabung 3 kilogram, kepada para nelayan di daerah itu. Setiap perahu mendapatkan satu unit converter kit plus engine (mesin perahu bertenaga gas) serta dua tabung elpiji ukuran 3 kilogram.

“Untuk yang di Tanjung Jabung Barat ini, pemerintah daerahnya sangat antusias mendukung. Bupatinya bahkan menyatakan siap menambah 200 unit converter kit dengan biaya sendiri,” ungkap Wirat. Demikian pula dengan perusahaan minyak dan gas (migas) yang beroperasi di sana, yakni Petrochina, ikut menyumbangkan 300 unit converter kit. Sehingga converter kit yang dibagikan di Tanjung Jabung Barat 300 unit dari Petrochina, 300 unit lagi dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas Kementerian ESDM.   

Selain di Tanjung Jabung Barat, tutur Wirat, pilot project yang sama tahun ini juga akan dilaksanakan di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Para nelayan tradisional di pesisir pantai selatan Pulau Jawa itu, akan mendapatkan 700 unit converter kit untuk perahunya, plus masing-masing mesin perahu bertenaga gas, dan dua tabung elpiji ukuran 3 kilogram. Disamping itu, Pemerintah Daerah Bali dan Tanjung Jabung Timur juga sudah berkirim surat, agar daerahnya diikutsertakan dalam program konversi energi ini.

“Terobosan konversi energi untuk nelayan ini sudah kami pikirkan sejak lama, dan syukurlah tahun ini sudah bisa mulai kita laksanakan. Inilah jawaban kita untuk nelayan, yang katanya paling merasakan dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi,” tutur Guru Besar Teknik Mesin ITB ini.

Prof Dr Ir IGN Wiratmaja MSc, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis.

Prof Dr Ir IGN Wiratmaja MSc, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis.

Hemat Rp 90.000,- Setiap Melaut

Ditemui di kantor Kementerian ESDM, Wirat mengaku banyak ide baru yang bermunculan, pasca digelarnya program konversi energi bagi nelayan ini. Diantaranya, bagaimana menyelaraskan program ini, dengan program tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan di sektor energi.  

Hal ini mengingat, konversi energi dari solar ke elpiji, ternyata banyak membantu para nelayan. Dalam hitungan Wirat, setiap kali melaut nelayan membutuhkan 10 liter sampai 20 liter solar. Dengan harga solar sekarang yakni Rp 5.500,- per liter, maka nelayan membutuhkan biaya hingga Rp 110.000,- setiap kali melaut. Sedangkan kalau menggunakan elpiji, sekali melaut mereka hanya butuh 4 kilogram.

“Maka dari itu, setiap perahu menggunakan dua tabung elpiji ukuran 3 kilogram. Jadi kalau yang satu habis, disambung dengan yang satunya,” jelas Wirat. Dengan harga elpiji ukuran 3 kilogram saat ini, yaitu Rp 15.000,- per tabung, maka setiap melaut nelayan hanya membutuhkan biaya paling banyak Rp 20.000,-. Itu artinya, dalam hitungan kasar, dengan menggunakan elpiji maka nelayan bisa menghemat sampai Rp 90.000,- setiap kali melaut.

“Dengan begitu, kami berharap nelayan tradisional dari waktu ke waktu, dapat terbebas dari kemiskinan struktural yang membelitnya,” tambahnya. Jika perusahaan-perusahaan di sektor energi mau berempati, bisa saja sebagian program CSR-nya diganti dengan sumbangan paket converter kit, engine, dan dua tabung elpiji ukuran 3 kilogram. Langkah ini sudah jelas dapat memutus rantai kemiskinan masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan-perusahaan itu.

Terkait dengan bertambahnya jumlah konsumen elpiji 3 kilogram jika program itu berlanjut, Wirat mengaku Kementerian ESDM sudah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi. Diantaranya berkoordinasi dengan PT Pertamina (Persero) selaku penyedia elpiji 3 kilogram. “Pertamina mengaku siap,” tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, Tim Hukum Kementerian ESDM juga sedang memikirkan, apakah penggunaan elpiji 3 kilogram untuk perahu nelayan ini, akan tetap menggunakan payung hukum “Peraturan Presiden (Perpres) tentang Elpji Untuk Rumah Tangga” atau akan diatur dalam regulasi baru.

Sejauh ini, ujarnya, Kementerian ESDM tengah berusaha memastikan elpiji 3 kilogram dapat diakses dengan mudah, oleh para nelayan yang daerahnya sudah dimasuki program konversi energi ini. Selain itu, pemerintah juga mendorong hadirnya bengkel-bengkel pemasangan engine dan converter kit untuk perahu. Sementara agar bantuan converter kit dan engine serta elpiji untuk perahu-perahu nelayan lancar, maka penyalurannya bekerja sama dengan KUD (Koperasi Unit Desa) setempat.

Elpiji ukuran tabung 3 kilogram.

Elpiji ukuran tabung 3 kilogram.

Budaya Sadar Risiko

Hal lain yang dipikirkan Wirat, ialah sejauh mana ke depan lebih memudahkan nelayan untuk mendapatkan elpiji. Maka ke depan, Kementerian ESDM saat ini sedang mengkaji program pembangunan SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan). “Kalau konversi energi ke gas ini masif, bisa saja nantinya perahu nelayan juga menggunakan bahan bakar gas jenis LGV (Liquefied Gas for Vehicle) yang juga lebih murah dari elpiji,” terangnya.

Risiko penggunaan elpiji juga tidak dilupakan Wirat. Belajar dari konversi energi rumahtangga dari minyak tanah ke elpiji, Kementerian ESDM tidak ingin lagi mendengar adanya ledakan, kebakaran, dan kejadian berbahaya lainnya dalam penggunaan elpiji. “Maka kita juga menggelar program sosialisasi “Budaya Sadar Risiko” bagi para nelayan,” tukasnya.

Saat ini, kata Wirat lagi, timnya sudah menyusun SOP (Standart Operating Procedure) penggunaan elpiji pada perahu. SOP ini akan terus disosialisasikan, dengan mengaktifkan tenaga penyuluh lapangan di desa-desa nelayan yang sudah terkena program konversi. “Intinya, setiap perubahan teknologi harus dibarengi dengan perubahan budaya. Masyarakat kita harus dikenalkan budaya teknologi,” ungkapnya.

Kementerian ESDM sendiri, sambungnya, menargetkan untuk melakukan evaluasi program konversi energi untuk nelayan ini pada akhir 2013. Saat evaluasi, juga akan dibuat statistik, berapa nelayan yang sudah menjalankan program konversi, dan berapa lagi yang bisa diajak masuk ke program ini. “Untuk 1.700 converter kit yang dianggarkan APBN, kita targetkan habis terbagi tahun ini,” pungkasnya.      

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)