Beberapa hari lalu, kita memperingati Hari Jadi Pertambangan dan Energi ke-80, yang jatuh pada 28 September 2025. Lewat peringatan ini diharapkan semua pemangku kepentingan di sektor Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mampu mendorong pelaksanaan agenda strategis sektor energi sebagaimana dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk penguatan terhadap ketahanan energi nasional. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan peningkatan lifting minyak dan gas bumi (migas), penataan tambang-tambang, dan mempercepat hilirisasi.
Secara keseluruhan, sektor ESDM Indonesia menunjukkan kinerja yang kuat dengan pertumbuhan investasi dan produksi yang memuaskan dalam satu tahun terakhir. Berdasarkan data kinerja Semester I 2025, Kementerian ESDM mencatat rekor investasi dan produksi migas tertinggi dalam lima tahun terakhir. Produksi migas menembus angka 1.754,6 MBOEPD atau 111,9% dari target APBN dan produksi batu bara mencapai 357,60 juta ton. Kapasitas pembangkit nasional naik menjadi 105 Gigawatt (GW), termasuk tambahan 876,5 Megawatt (MW) dari energi baru dan terbaruka (EBT). Program listrik desa juga berhasil menjangkau 1.287.000 calon pelanggan di wilayah 3T.
Investasi sektor ESDM mencapai US$ 13,9 miliar, naik 24,1% dari tahun lalu, dengan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 54,5% dari target. Capaian ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mewujudkan swasembada energi dan hilirisasi, selaras dengan program prioritas Presiden Prabowo demi ketersediaan energi yang merata dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebenarnya, kontribusi yang dapat diberikan oleh sektor ESDM dapat lebih besar lagi, namun pertumbuhannya masih terhambat beberapa kendala. Kendala utama yang muncul adalah lambatnya proses penerbitan izin soal lingkungan, yakni Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) hingga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sektor ESDM sering terhalang masalah perizinan AMDAL karena proses yang rumit, batas waktu yang tidak jelas, munculnya regulasi-regulasi baru yang wajib dipenuhi (misalnya alih fungsi sawah untuk industri migas yang diatur melalui kebijakan dan perizinan, di mana lahan sawah produktif yang dilindungi harus diganti dengan lahan baru yang memiliki kualitas dan produktivitas setara), dan ketergantungan pada keputusan pemerintah daerah. Proses perizinan yang rumit dan lama menjadi penghalang bagi investor yang ingin menanamkan modal di sektor migas. Para pelaku usaha migas menghadapi ketidakpastian karena waktu persetujuan izin yang tidak bisa diprediksi. Ratusan AMDAL masih tertahan di meja Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
SKK Migas beberapa waktu lalu mengusulkan terobosan agar izin AMDAL bisa didapat secara otomatis dengan konsekuensi denda apabila terdapat pelanggaran lingkungan. Dari sisi perizinan soal lingkungan, SKK Migas menyebut butuh waktu 5-24 bulan untuk menerbitkan izin UKL-UPL maupun izin AMDAL. Jika pun tidak bisa didapatkan secara otomatis, pelaku industri berharap agar proses pengurusan izin lingkungan bisa dipercepat dan tidak memakan waktu supaya tahapan lain bisa segera dijalankan hingga ke fase produksi. Usulan tersebut menguap tanpa jejak.
Mengurus revisi AMDAL pun sama repotnya. Banyak pihak tidak memiliki persepsi yang sama terkait pengurusan AMDAL ini. Ada yang berpendapat pengurusan AMDAL harus dimulai kembali dari awal, namun yang lain mengatakan perusahaan cukup melengkapi dokumen-dokumen yang kurang saja. Hal ini dialami oleh sebuah perusahana tambang di Sumatera Utara yang revisi AMDAL-nya tak kunjung kelar padahal perusahaan patungan investor dari China dan nasional tersebut berencana memulai konstruksi tambang pada awal tahun 2026.
Setelah mendapatkan AMDAL, tantangan tidak berhenti disana. Siapa pun yang merasa dirugikan oleh aktivitas tambang bisa menggugat AMDAL tersebut, meminta perusahaan membuka dokumen-dokumen yang terkait lingkungan lewat Komisi Informasi. Hal ini pernah dialami oleh PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang akhirnya memberikan akses kepada masyarakat terhadap dokumen AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
Fenomena tersebut di atas pada satu sisi menjadi preseden penting dalam memperkuat hak masyarakat atas informasi lingkungan, serta mendorong akuntabilitas dan transparansi dalam sektor pertambangan. Namun, pada sisi lain dapat membuka peluang bagi kelompok-kelompok tertentu yang memiliki interest berbeda untuk mengajukan gugatan sehingga menghambat aktivitas pertambangan migas atau minerba.
Pemerintah tampaknya cukup menyadari persalahan ini. Pada awal 2025, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) Sinergitas Tugas dan Fungsi di Bidang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Adanya MoU itu diharapkan dapat memperluas kerja sama terutama terkait dokumen lingkungan untuk kegiatan sektor mineral, batu bara dan energi, mengingat dibutuhkan AMDAL untuk memproses kegiatan tersebut.
Semua pihak berharap sektor ESDM akan mendapatkan privilege dalam pengurusan AMDAL karena ini menyangkut dengan target Presiden. Tetapi, privilege itu rasanya tidak pernah ada. Mengurus AMDAL tetap lama. Dan mumet.(*)




Komentar Terbaru