Industri pengguna gas di wilayah Jawa Barat jelang Hari Kemerdekaan RI yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 kembali resah. Ini disebabkan volume gas yang disalurkan PT Perusahaan Gas Negara Tbk menurun seiring pasokan gas dari hulu yang juga turun. PGN sebagai perusahaan transmisi dan distribusi gas tidak bisa berbuat banyak akibat seretnya pasokan dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), karena disisi lain, tambahan kargo gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) domestik juga tidak kunjung diperoleh.

Wilayah Jawa Barat memang mengalami defisit pasokan gas bumi. Kondisi ini terjadi karena produksi gas dari lapangan migas di wilayah Jawa Barat maupun Area Sumatera Tengah dan Selatan yang memasok untuk Pembeli Jawa Barat menunjukan tren penurunan seiring rata-rata usia sumur gas di wilayah itu sudah tua. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Migas (SKK Migas) mencatat per tahun 2024, defisit gas bumi di Jawa Barat mencapai 144 MMSCFD.

Secara nasional, produksi gas memang tidak kekurangan. Sebagian produksi gas diekspor ke sejumlah negara. Bahkan, lapangan-lapangan gas baru memiliki cadangan besar seperti di Lapangan Abadi, Blok Masela. Hanya saja lokasinya jauh dari kawasan industri.

Pemerintah memang telah berupaya mengatasi dengan membangun berbagai jaringan infrastruktur pipa dari Jawa hingga Sumatera. Upaya lainnya dengan mengalihkan alokasi ekspor gas untuk pelanggan domestik. Namun semua itu bukan seperti membalik telapak tangan alias tidak mudah.

Pembangunan infrastruktur pipa saja butuh waktu bertahun-tahun. Mulai dari masalah izin, pembebasan lahan hingga investasi yang tidak murah. Pipa Cirebon-Semarang bisa menjadi salah satu contoh. Setelah sempat molor beberapa tahun, akhirnya Pipa Cisem Tahap I yang terbentang antara Semarang hingga Batang, bisa tuntas pada November 2023. Selanjutnya, untuk tahap II ruas Batang-Cirebon ditargetkan baru siap pada April 2026.

Cisem sendiri menjadi harapan untuk mengatasi defisit pasokan gas di Jawa Barat dengan mengalirkan gas dari ladang-ladang gas di Jawa Timur.

Lalu bagaimana dengan mengalihkan alokasi ekspor gas untuk mengutamakan pemenuhan kebutuhan gas domestik? Juga tidak mudah. Pasalnya, ekspor gas Indonesia rata-rata berdurasi jangka panjang dan tentu terikat dengan kontrak. Jika kontrak tidak dipenuhi, tentu ada konsekuensinya. Bahkan, bisa dibawa ke arbitrase internasional, yang tentu saja harus dihindari.

Solusi lain sebenarnya ada, bahkan bisa disebut prospektif untuk jangka pendek, yakni melakukan impor gas. Problemnya, ditengah slogan swasembada energi, impor gas seakan tidak begitu populer di kalangan pengambil kebijakan. Apalagi harus diakui, lapangan-lapangan gas Indonesia menyimpan potensi yang luar biasa besar, baik yang telah siap untuk produksi, maupun temuan-temuan baru berskala giant discovery seperti di Andaman. Problemnya, gas yang berada di perut bumi Nusantara butuh waktu panjang untuk bisa dimanfaatkan.

Dengan kondisi tersebut, opsi impor gas untuk jangka waktu tertentu menjadi realistis. Apalagi berdasarkan kajian dari Reforminer Institute, harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia yang diperdagangkan di pasar Asia relatif kompetitif dengan harga LNG domestik. Rata-rata harga LNG Free on Board (FOB) selama periode 2024 dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia masing-masing sekitar US$7 per MMBTU, US$7 per MMBTU, US$9 per MMBTU, dan US$11 per MMBTU.

Pada periode 2024 harga LNG dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia sampai pada titik serah di pasar Asia masing-masing sekitar US$10,5 per MMBTU, US$11,5 per MMBTU, US$11,5 per MMBTU, dan US$12,5 per MMBTU. Jika mengacu pada formula harga LNG domestik yang ditetapkan 17,4% x ICP, sementara rata-rata ICP 2024 sebesar US$78,14 per barel, maka rata-rata harga LNG domestik selama periode 2024 adalah sekitar US$13,59 per MMBTU. Mengacu pada data tersebut, harga LNG impor dari Amerika Serikat, Qatar, Malaysia, dan Rusia dapat dikatakan relatif kompetitif dengan harga LNG domestik.

Reforminer dalam kajiannya menyebut dari empat negara yang potensial menjadi sumber impor LNG tersebut, Amerika Serikat berpotensi dapat memberikan harga LNG yang lebih kompetitif.
Berdasarkan data, rata-rata harga LNG FoB dari Amerika Serikat selama periode Januari – April 2025 adalah sekitar US$7,73 per MMBTU. Biaya pengangkutan sampai ke wilayah Asia termasuk Indonesia diperkirakan antara US$2,09 – US$4,75 per MMBTU tergantung kapasitas LNG yang diangkut dan armada yang digunakan. Dengan menambahkan biaya pengangkutan tersebut, rata-rata harga LNG impor dari Amerika Serikat sampai di wilayah Asia adalah sekitar US$9,82 – US$12,48 per MMBTU. Harga tersebut relatif kompetitif dengan harga LNG domestik pada periode yang sama yang berada pada kisaran US$12,51 per MMBTU.

Kini tinggal menunggu langkah pemerintah untuk mengatasi masalah pasokan gas domestik jangka pendek, apakah akan merealisasikan impor gas, mengebut pembangunan infastruktur atau memaksa renegosiasi kontrak ekspor gas. Tentu keputusan segera dan tepat dibutuhkan agar masalah pasokan gas tidak berlarut-larut.(**)