Pada 6 November 2025 mendatang, Danantara Indonesia akan memulai proses lelang atau tender Proyek Waste to Energy (WtE) di tujuh kota. Proyek tersebut rencananya akan dimulai di tujuh kota, yakni Bali, Yogyakarta, Bogor Raya, Tangerang Raya, Bekasi Raya dan Medan. Ketujuh kota itu dipilih pada tahap pertama dan berasal dari 30-an kota yang ditetapkan dalam proyek WtE. Selain jumlah penduduk yang banyak, produksi sampah yang tinggi juga tidak dipengaruhi faktor lain, seperti aktivitas sektor pariwisata.
Berdasarkan data dari Sistem Pengelolaan Sampah Nasional milik Kementerian Lingkungan Hidup pada 2024, Bali merupakan provinsi penghasil sampah terbanyak ke-6 di tingkat nasional dengan volume sampah yang mencapai 1,25 juta ton per tahun. Kota pariwisata lainnya, Yogyakarta, meski luas areanya hanya setengah dari Provinsi Bali menghasilkan sampah 219,65 ribu ton per tahun.
Proyek WtE langsung digeber setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 14 Oktober lalu.
Proyek WtE diklaim diminati sejumlah perbankan, baik dalam maupun luar negeri untuk ikut mendanai. Maklum saja, kebutuhan investasi untuk satu fasilitas
Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PSEL) mencapai Rp2,5 triliun-Rp3 triliun. Danantara juga telah mengumpulkan nama-nama perusahaan yang memiliki pengalaman dan teknologi pembakaran sampah untuk menghasilkan energi listrik atau insinerator.
Setelah melalui proses seleksi, 24 perusahaan masuk ke dalam Daftar Penyedia Terpilih untuk program Pemilihan Mitra Kerja Sama Badan Usaha Pengembang dan Pengelola Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan Menjadi Energi Listrik (BUPP PSEL). Teknologi incinerator sendiri diklaim telah sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Perpres tekait proyek WtE sendiri telah menetapkan kewajiban penggunaan scrubber. Alat ini berfungsi menyaring gas buang agar tidak mencemari lingkungan.
Jika terealisasi listrik yang dihasilkan dari PSEL atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) tentu harus diserap PLN. Masalahnya, harga listrik dari PLTSa, seperti juga listrik dari pembangkit energi terbarukan lainnya lebih tinggi dibanding pembangkit listrik energi fosil. Listrik yang dihasilkan PLTSa nantinya akan dijual ke PLN seharga 20 sen per kWh.
Danantara menyebut bahwa PLN sedang menghitung keperluan subsidi dan kompensasi pembelian listrik dari Proyek WtE. Pasalnya, harga jual listrik 20 sen per kWh dari PLTSa proyek WtE jauh diatas harga jual listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang saat ini masih menjadi penopang pasokan listrik PLN.
Disisi lain, perusahaan-perusahaan yang diundang Danantara untuk berinventasi dan membawa teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik tentu harus mendapat untung dan tidak mau menanggung rugi
.
Danantara sendiri menyebut bahwa listrik yang dihasilkan dari PLTSa yang akan dikembangkan relatif kecil karena lebih difokuskan untuk mengatasi masalah lingkungan. Dari total PLTSa di 34 kota yang akan dikembangkan, listrik yang dihasilkan hanya sekitar 500 megawatt atau rata-rata tiap PLTSa memiliki kapasitas 16-17 megawatt.
Total kapasitas listrik yang dihasilkan dari proyek WtE yang relatif kecil diharapkan tidak mengganggu rencana pembangunan pembangkit PLN yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034.
Proyek WtE sendiri akan lebih diprioritaskan bagi kota atau wilayah dengan produksi sampah yang besar, minimal 1.000 ton per hari. Apalagi sebenarnya pengolahan sampah menjadi energi sebenarnya telah diinisiasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJLS)-nya.
Program Wasteco yang diinisiasi PT Pertamina (Persero) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur misalnya, bisa menjadi salah satu contoh dan bisa dikembangkan di kota-kota lain. Waste to Energy for Community atau Wasteco merupakan program pengolahan sampah menjadi gas metana yang dimanfaatkan sebagai sumber energi baru terbarukan untuk mendukung kebutuhan energi rumah tangga dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Program tersebut dikelola unit usaha Pertamina di sektor hulu, Pertamina Hulu Mahakam sejak 2021.
Volume sampah di Balikpapan yang sekitar 385 ton per hari berpotensi menghasilkan 820 ribu meter kubik per tahun gas metana dari TPAS Manggar di Balikpapan. Penerapan teknologi pengelolaan sumber EBT oleh Wasteco telah berhasil menyalurkan 1.520 aliran gas yang tersambung dalam 380 rumah tangga di sekitar TPAS Manggar. Selain itu, Wasteco juga berhasil mendukung puluhan UMKM dan Kelompok Bank Sampah.
Proyek WtE maupun Wasteco merupakan upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah sampah yang terjadi di kota-kota besar, sekaligus mendapat manfaat lain, seperti energi yang dihasilkan. WtE yang berskala nasional dan melibatkan sumber daya dan dana yang lebih besar, tentu memiliki tantangan yang lebih besar. Tidak sekadar ngegas, namun juga perlu kehatian-hatian agar tidak muncul masalah di kemudian hari.(**)




Komentar Terbaru