Antrean panjang kendaraan pribadi dari segala jenis merek tampak mengular mengelilingi Stasiun Pangisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina 34.144.15 di Jalan Pantai Indah Kapuk, Jumat (3/10). Tak ada lagi pilihan, sepanjang jalan kawasan PIK 1 di Jakarta Utara hingga PIK 2 yang masuk Provinsi Banten, tidak ada SPBU Pertamina lain. Apalagi, SPBU milik badan usaha swasta yang berada di PIK 2 juga sudah tidak menjual BBM karena ketiadaan pasokan.
Meski hanya menguasai pangsa pasar 15% BBM nonsubsidi secara nasional, SPBU badan usaha swasta memang dominan berada di kota-kota besar, sehingga keberadaannya lebih terasa. Data Kementerian ESDM mencatat total BBM nonsubsidi sepanjang 2024 mencapai 6,86 juta Kilo Liter, 6,13 juta KL di antaranya produk Pertamina dan 725.536 KL atau hanya 11% berasal dari BBM badan usaha swasta. Namun, pangsa pasar BBM badan usaha swasta meningkat pada tahun ini. Pada periode Januari-Juli 2025, dari total pangsa pasar BBM nonsubsidi yang mencapai 4,75 juta KL, Pertamina tercatat menguasai 4,03 juta KL dan badan usaha swasta mencapai 715.827 KL atau 15%.
Peningkatan permintaan membuat pasokan BBM badan usaha swasta yang dialokasikan untuk satu tahun ludes lebih cepat, sementara pemerintah memiliki aturan baru terkait impor BBM. Akibatnya, SPBU yang dikelola badan usaha swasta, seperti Shell, BP-AKR, Vivo dan Exxon tidak lagi memiliki stok BBM sejak September. Dan hingga kini masalah pasokan BBM tersebut belum kunjung teratasi. Kesepakatan badan usaha swasta untuk membeli base fuel dari Pertamina juga belum jalan. Sebabnya, base fuel yang ditawarkan Pertamina tidak sesuai dengan kesepakatan karena mengandung 3,5% etanol.
Badan usaha swasta menilai kesepakatan dengan Pertamina adalah untuk membeli base fuel atau bahan bakar dasar yang belum dicampurkan dengan zat adiktif apapun, termasuk etanol. Disisi lain, Pertamina menilai bahwa etanol yang terkandung di dalam base fuel yang ditawarkan masih memenuhi standar yang ditetapkan Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Etanol sendiri ada yang berasal dari minyak bumi yang diproduksi melalui proses kimia. Ada pula yang berasal dari fermentasi dari bahan tanaman seperti tebu ataupun jagung yang biasa disebut sebagai bioetanol. Inilah yang kemudian dikembangkan sebagai bahan bakar nabati untuk mengurangi ketergantungan dari energi fosil sekaligus mengurangi emisi.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mencanangkan pengembangan bioetanol sebagai bagian dari strategi nasional untuk menciptakan ekosistem energi yang berkelanjutan. Hal ini diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2025 tentang Pengusahaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Aturan ini mengatur tata kelola biofuel, termasuk bioetanol secara komprehensif, mulai dari pengusahaan, distribusi, hingga pemanfaatannya di sektor transportasi, dengan insentif bagi pelaku usaha.
Pemerintah Indonesia sendiri telah melakukan uji pasar terhadap bioetanol melalui produk Pertamax Green 95, yakni bensin RON 95 yang dicampur dengan 5% etanol (E5), yang kini mulai tersedia di beberapa SPBU Pertamina.
Maka tentu saja, keengganan badan usaha swasta menolak mengambil pasokan base fuel yang mengandung 3,5% etanol bisa menjadi pertanyaan? Apalagi di lingkup internasional, penggunaan etanol sudah lazim digunakan.
Di negaera-negara lain, seperti Amerika Serikat misalnya, melalui program Renewable Fuel Standard (RFS), negara itu telah mewajibkan pencampuran etanol ke dalam bensin dengan kadar umum E10 (10% etanol) dan E85 untuk kendaraan fleksibel.
Negara lainnya, Brasil menjadi pelopor penggunaan etanol berbasis tebu, dengan implementasi skala nasional hingga mencapai campuran E27 (27% etanol) pada bensin, sehingga membuat Brasil dikenal sebagai salah satu negara dengan kendaraan berbahan bakar etanol terbesar di dunia, dan masyarakatnya sudah terbiasa mengisi BBM dengan etanol sejak puluhan tahun lalu.
Uni Eropa juga mengadopsi campuran etanol dalam BBM melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED II), dengan target bauran energi terbarukan di sektor transportasi. Campuran E10 kini telah menjadi standar di banyak negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, sebagai standar untuk mengurangi polusi udara.
Negara-negara Asia pun mulai mengadopsi kebijakan serupa, dengan India mendorong program etanol blending hingga 20% (E20) pada 2030 sebagai bagian dari roadmap menuju transportasi rendah karbon serta mendukung petani tebu.
Selain berbagai kelebihan, pencampuran etanol dalam gasoline memang juga ada kekurangannya, khususnya dari sisi biaya. Selain menambah biaya produksi, khususnya dari pengadaan bahan baku bioetanol, penggunaan etanol pada gasoline memerlukan perawatan tambahan terhadap fasilitas penyimpanan untuk menjaga kualitas.
Apa ini yang menjadi alasan penolakan badan usaha swasta menolak membeli base fuel dengan kandungan etanol dari Pertamina, atau ada alasan lain, tentu waktu yang akan menjawab semua itu. Namun tentu saja kebijakan pemerintah untuk mengembangkan bahan bakar nabati sebagai bagian upaya menuju target Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat harus dilaksanakan secara konsisten. Tidak hanya melalui Pertamina, seluruh badan usaha yang beroperasi di Indonesia juga harus ikut mendukungnya.
Dalam Pasal 15 Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2025 disebutkan, badan usaha BBM diwajibkan melakukan pencampuran bahan bakar nabati dengan BBM, salah satunya bioetanol dengan bensin. Kewajiban pencampuran dan penjualan BBM jenis bensin yang dicampur dengan etanol memang menunggu keputusan lebih lanjut dari Kementerian ESDM soal pentahapannya. Namun saat ini tentu bisa jadi momentum untuk menegakkan kewajiban pemanfaatan bahan bakar nabati kepada seluruh badan usaha BBM, tidak terkecuali.(**)




Komentar Terbaru