Situasi politik akhir-akhir ini, yang berbentuk aksi demonstrasi dan penjarahan, membuat prihatin dan sekaligus was-was. Aksi demonstrasi ini memiliki spektrum yang agak berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya. Saat ini, parlemen sebagai representasi dari rakyat justru berkonflik dengan rakyat yang diwakilinya. Pemicunya adalah ketidakbijakan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyikapi berbagai dinamika yang ada di parlemen, terutama yang menyangkut kenaikan tunjangan dan fasilitas yang “tidak wajar”.

Sejatinya, pemberian tunjangan dan fasilitas yang besar kepada anggota DPR dimaksudkan agar mereka lebih fokus mendengarkan, memperjuangkan, dan melayani kebutuhan masyarakat di level kebijakan. Kenyataannya, seperti catatan Indonesian Parliamentary Center (IPC), kinerja anggota kembali menunjukkan gejala yang berulang dari periode-periode sebelumnya, yakni lemahnya akuntabilitas publik, rendahnya transparansi proses, serta minimnya kualitas substansi dalam kerja-kerja parlemen.

Dalam membahas rancangan undang-undang (RUU) yang akan dibahas, DPR terkesan tidak memimiliki “sense of urgency” untuk memilah RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yakni instrumen perencanaan dan daftar prioritas pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis oleh DPR dan pemerintah. Tujuannya adalah untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang baik dengan mengatur undang-undang yang dibutuhkan dan menjawab aspirasi masyarakat, serta berfungsi sebagai pedoman agar proses pembentukan undang-undang tidak tumpang tindih dan terarah.

Nah, sektor energi yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang “jumbo” — mencapai Rp269,9 triliun pada 2024 – serasa menjadi anak tiri. RUU yang terkait dengan sektor ini sangat minim dan pembahasannya tak kunjung selesai seperti revisi UU Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025, hanya ada RUU tentang Energi Baru Dan Energi Terbarukan (RUU EBT), yang diusulkan Komisi XII dan merupakan carry over dari sebelumnya. RUU EBT hingga saat ini belum disahkan dan masih dalam tahap pembahasan di DPR. Padahal, RUU ini krusial untuk menjadi landasan hukum transisi energi, akselerasi penggunaan energi bersih, dan mencapai target net zero emission pada tahun 2060 melalui peta jalan yang terperinci.

Lahirnya UU EBT yang baru seharusnya akan menjadi penguatan komitmen dari pemerintah untuk mengoptimalkan EBT sebagai bagian dari program strategis nasional untuk mencapai ketahanan energi dan pembangunan berkelanjutan. Kerangka hukum yang mendasari kebijakan EBT sebelumnya diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menjadi pedoman dalam pengelolaan energi hingga 2050.

PP 79/2014 menargetkan peningkatan porsi EBT dalam bauran energi nasional menjadi minimal 23% pada 2025 dan minimal 31% pada 2050, sepanjang perekonomian terpenuhi. Kebijakan ini mencakup prioritas pengembangan energi, seperti memaksimalkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi ketergantungan pada minyak bumi, dan mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi serta energi baru. RUU EBT diperlukan sebagai payung hukum yang lebih komprehensif untuk menggantikan energi fosil secara bertahap dengan energi bersih.

Kendala pembahasan dan pengesahan RUU EBT adalah isu tumpang tindih peraturan karena penggabungan energi baru (termasuk nuklir) dan energi terbarukan menyebabkan pembahasan menjadi rumit, tidak fokus, dan berpotensi tumpeng tindih dengan UU lain yang sudah ada seperti UU Minerba (UU No. 2/2024) dan UU tentang Panas Bumi (UU No 21/2014). Kendala lain yang mewarnai pembahasan RUU EBT adalah perbedaan pandangan mengenai pasal power wheeling antara Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, serta masalah keekonomian dan infrastruktur seperti biaya investasi yang tinggi dan keterbatasan jaringan transmisi.

Revisi UU Migas merupakan fakta yang paling mengenaskan. Sudah lebih dari satu dekade pembasan regulasi ini tak kunjung selesai. Padahal, substansi UU yang disahkan pada 2001 itu sudah compang-camping setelah beberapa kali diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah salah keputusan MK yang paling kontroversial adalah membubarkan Badan Pengelola Hulu Migas (BPH Migas) pada 2012 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. MK menilai BP Migas menghalangi pengelolaan langsung negara atas sumber daya alam migas dan menyebabkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.

Pemerintah selanjutnya membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memang bersifat sementara. Setelah BP Migas dibubarkan, pengelolaan sektor migas yang dahulu berada di bawah BP Migas seharusnya digantikan oleh Badan Usaha Khusus (BUK) Migas yang bersifat permanen setelah revisi undang-undang migas yang baru disahkan. BUK Migas inilah nantinya yang berperan dalam mengelola perizinan migas, dan lain-lain.

Perkembangan selanjutnya adalah SKK Migas yang bersifat sementara seolah-olah menjadi lembaga permanen. Mengganti SKK Migas dengan BUK Migas kemudian menjadi batu sandungan bagi penyelesaian revisi UU Migas: Apakah pengelolaan migas diserahkan kepada SKK Migas (dengan bentuk baru), dibentuk BUK yang benar-benar baru, atau dikembalikan kepada Pertamina seperti di masa lalu? Dua opsi terakhir akan membuat SKK Migas benar-benar selesai masa tugasnya. Pemerintah dan DPR pun masih tarik menarik mengenai isu ini.

Nasib revisi UU Migas semakin terkatung-katung karena RUU Ini tidak termasuk dalam Prolegnas 2025. Namun, terdapat sedikit titik terang karena berdasarkan keputusan MK RUU Migas pembahan RUU Migas termasuk dalam kategori kumulatif terbuka sehingga dapat diajukan kapan saja tanpa terikat mekanisme prioritas Prolegnas apabila jika ada urgensi terkait pengubahan pasal-pasal dalam UU.

Revisi UU Migas sangat penting untuk dilakukan percepatan untuk meningkatkan daya tarik sektor migas Indonesia di mata investor dan memudahkan perizinan. Apalagi, kinerja sektor migas yang terus menurun, terutama dalam mendongkrak angka ifting migas yang berada di level kurang dari 600 ribu barel per hari (BPH). Penurunan lifting migas ini menjadi salah satu indikator sektor migas Indonesia tengah lesu akibat tidak cukup menarik bagi investor.

Saat ini, sangat penting bagi DPR untuk segera menyelesaikan RUU EBT. Setelah itu, DPR bisa meminta pemerintah untuk mengajukan revisi RUU Migas sebagai inisiatif pemerintah. Penyelesaian dua UU itu sangat penting untuk memuluskan proses transisi energi dan menjamin ketahanan energi di masa depan.