Tak lagi diam soal revisi Undang-Undang Minyak Gas, kini PT Pertamina (Persero) bersuara. Bahkan, salah satunya mengusulkan untuk meningkatkan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam usulannya, BUMN nantinya akan memiliki peran yang lebih termasuk menjalin kontrak dengan badan usaha swasta yang mengelola blok migas.
Sejak 2012, saat Mahkamah Konstitusi membatalkan sebagian pasal UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan membubarkan BP Migas, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). SKK Migas yang hingga saat ini menjalin kontrak dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang mengelola Wilayah Kerja Migas.
Saat rapat dengan Komisi XII DPR, Senin, 17 November 2025, Pertamina melalui direktur utama-nya, Simon Aloysius Mantiri, menyebut negara dapat membentuk atau menunjuk BUMN yang diberikan konsesi untuk mengelola migas yang akan melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha.
Sebelum kehadiran UU Nomor 22 Tahun 2001 yang menempatkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang berperan sebagai pelaksana dan Pembina kegiatan hulu migas di tanah air, Pertamina lah yang memiliki kuasa. Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, Pertamina merupakan pengatur dan juga pelaksana usaha migas di Indonesia.
Berdasarkan kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC) saat itu, Pertamina menjadi wakil pemerintah untuk membagi hasil produksi bersih menurut suatu persentase tertentu. Hasil produksi tersebut kemudian dibagi antara pemerintah dengan kontraktor migas. Perhitungan bagi hasil dilakukan setiap tahun.
Posisi Pertamina yang saat itu memiliki otoritas dan kontrol penuh terhadap industri migas membuat BUMN ini dinilai tidak efektif dan kerap disalahgunakan.
Pada UU Nomor 22 Tahun 2001, kekuasaan Pertamina di sektor hulu dan hilir dipecah. Regulasi industri hulu migas diserahkan ke BP Migas dan sektor hilir kepada Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Selain masalah kelembagaan, Pertamina juga mengusulkan RUU Migas bisa mengakomodir kebutuhan industri migas tentang perencanaan yang lebih komperehensif dari hulu hingga hilir dalam bentuk Rencana Umum Minyak dan Gas Bumi Nasional (RUMGN) dan Rencana Umum Pengembangan Migas (RUPMG). Hal ini seperti yang diterapkan di sektor ketenagalistrikan melalui Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Selanjutnya adalah dari sisi kepastian fiskal dan perpajakan yang menyesuaikan dengan keekonomian wilayah kerja yang dikelola. Karena ada beberapa kondisi yang menyebabkan biaya pengembangan suatu blok migas sangat besar sehingga butuh insentif lebih agar keekonomiannya sesuai dan blok tersebut bisa dikembangkan.
Usulan lainya yang cukup menarik adalah tentang Badan Usaha Khusus (BUK) Migas. Berdasarkan versi Pertamina, badan khusus ini akan mengelola petroleum fund. Dana tersebut nanti akan dimanfaatkan untuk eksplorasi, pembangunan infrastruktur migas, hingga dekarbonisasi.
Disisi lain, pada pertengahan 2025, saat audiensi dengan DPR, Serikat Pekerja SKK Migas mengusulkan revisi UU Migas merujuk pada keputusan Mahkamah Konstitusi 2012 yang menyatakan BP Migas inkonstitusional hingga pemerintah kemudian membentuk SKK Migas yang sifatnya sementara. SP SKK Migas berpendapat putusan MK itu memandatkan pengelolaan migas dilakukan negara atau melalui badan usaha yang dibentuk negara.
ReforMiner Institute menyebut bahwa ada tiga elemen fundamental yang perlu dimuat dan diatur dalam revisi UU Migas. Ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas sistem Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract/PSC).
Ketiga elemen tersebut hilang dari kerangka pengaturan dalam Undang-Undang Migas No. 22/2001, karena tidak lagi mengatur; penerapan prinsip assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama; penerapan prinsip pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara (state finance), dan penerapan prinsip single door bureaucracy/single institution model yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama
Dalam aspek legal, penyelesaian revisi UU Migas No.22/2001 dinilai penting untuk melaksanakan putusan MK yang telah membatalkan sejumlah ketentuan UU Migas No.22/2001. Revisi juga penting untuk mengakomodasi perkembangan dan dinamika industri hulu migas yang memerlukan tambahan pengaturan seperti, pengaturan mengenai pengalihan komitmen pasti, pengaturan mengenai manajemen emisi CO2 hingga pembentukan Petroleum Fund.
Maka tak bisa lagi ditunda-tunda, revisi UU Migas harus segera dilakukan. Saatnya sektor migas dibenahi sehingga makin berperan besar terhadap bangsa dan negara.(*)




Komentar Terbaru