Susah ternyata memahami jalan pikiran Pemerintahan Prabowo menyangkut pengembangan sektor ketenagalistrikan, terutama tentang sumber energi untuk pembangkit. Dalam Rapat Paripurna DPR-RI Ke-1 Tahun Sidang 2025/2026 dan RAPBN Anggaran 2026, di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Jumat (15/8), Presiden Prabowo Subianto menargetkan 100% sumber listrik di Indonesia berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Target ini diharapkan bisa tercapai dalam 10 tahun atau bahkan lebih cepat.
Pernyataan itu sangat bombastis itu bukan yang pertama disampaikan rezim ini terkait dengan pembangkit listrik. Pada awal Mei 2025, seperti dikutip Reuters, Utusan Khusus Presiden untuk Energi dan Lingkungan Hashim Djojohadikusumo – yang juga adik Presiden Prabowo, mengatakan bahwa Indonesia berencana melakukan ekspansi besar-besaran dalam energi terbarukan hingga 2040, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dengan kapasitas 10 gigawatt (GW).
Tahun lalu, Hashim – yang melalui perusahaannya Arsari Group terlibat dalam beberapa proyek PLTA dan PLTN – mengabarkan Indonesia berencana menambah kapasitas bauran EBT di dalam negeri mencapai 75 GW hingga 2040 untuk mendukung proses transisi energi di Indonesia dari bahan bakar fosil menjadi energi bersih. Dia menyebutkan bahwa kepemimpinan Presiden Prabowo Indonesia akan beralih dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil ke pembangunan berbasis energi terbarukan. Hingga 2040, lebih dari 100 GW kapasitas energi akan dibangun. Dari jumlah tersebut, 75% akan berasal dari EBT, 5 GW dari nuklir, dan sisanya dari gas. Dari dua pernyataan itu: target angka PLTN yang mana yang dapat dipegang? 10 GW atau 5 GW?
Pernyataan-pernyataan tersebut sekilas memperlihatkan visi besar Presiden Prabowo sebagai sinyal kuat bahwa Indonesia perlu mempercepat transisi energi, meninggalkan ketergantungan pada energi fosil, dan beralih ke energi terbarukan. Namun, kita tidak melihat kebijakan dan rencana teknis yang komprehensif dari pemerintah untuk mencapai target tersebut.
Pernyataan pemerintah itu mungkin hanya “omon-omon” belaka
Pasalnya, visi Presiden Prabowo untuk mengedepankan EBT sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik juga tidak terlihat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Potensi Indonesia untuk memanfaatkan EBT sebagai sumber energi memang sangat besar, mencapai sekitar 3.800 GW.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT hingga akhir 2023 tercatat mencapai 13.155 MW. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sampai 2023 sebesar 3.322 MW, dengan kenaikan rata-rata 6% per tahun. Lebih dari setengahnya sumber energi dari pembangkit berasal dari batu bara.
RUPTL PLN 2025-2034 telah menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 69,5 GW. Dari total tersebut, 76% atau sekitar 52,9 GW bersumber dari EBT. dan sistem penyimpanan energi (storage). Proporsi EBT mencapai 42,6 GW (61 %), storage 10,3 GW (15 %), dan sisanya 16,6 GW (24 %) berasal dari pembangkit fosil.
Rinciannya, kapasitas EBT terbagi atas PLTS 17,1 GW, PLTA 11,7 GW, PLTB 7,2 GW, PLTP 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan pengenalan PLTN sebesar 0,5 GW. Penambahan ini akan tersebar di Sumatera (9,5 GW), Jawa-Madura-Bali (19,6 GW), Sulawesi (7,7 GW), Kalimantan (3,5 GW), serta Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara (2,3 GW).
Masih besarnya porsi energi fosil dalam RUPTL terbaru menunjukkan, rencana kelistrikan tersebut tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin Indonesia berhenti menggunakan pembangkit fosil pada 2040, sebagaimana disampaikan saat KTT G20 di Brasil.
RUPTL terbaru merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia. Hal ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke EBT. Dengan RUPTL seperti ini, komitmen Indonesia keluar dari ketergantungan pembangkit energi fosil di tahun 2040 mustahil tercapai,
RUPTL 2025-2034 yang lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas bahkan akan menjadi ganjalan bagi iklim investasi EBT di Indonesia, termasuk pendanaan untuk pemensiunan dini PLTU. RUPTL memperlihatkan pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
RUPTL tidak dapat menjawab target pertumbuhan 8%. Selain itu, tiga regulasi yang bisa menjadi rujukan pensiun dini PLTU di Indonesia yakni Perpres No. 112/2022 yang mengatur percepatan pengembangan EBT untuk penyediaan tenaga listrik, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang dituangkan lewat Keputusan Menteri ESDM Nomor 85/2025, dan Permen ESDM No. 10/2025 terkait roadmap transisi energi sektor ketenagalistrikan belum terlihat kejelasan kriteria dan list PLTU yang benar-benar akan dihentikan operasinya untuk digantikan dengan EBT.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, pencapaian pendanaan untuk pemensiunan PLTU yang sangat besar akan semakin sulit direalisasikan. Total kebutuhan pendanaan untuk menyelesaikan pensiun dini PLTU hingga tahun 2050 mencapai Rp444 triliun. Di samping itu, untuk mendukung transisi ke EBT, diperlukan investasi tambahan sekitar USD235 miliar hingga tahun 2040 guna membangun pembangkit listrik baru, infrastruktur transmisi, dan sistem smart grid.
Pada 16 November 2022, dalam momentum KTT G20 di Bali, Pemerintah Indonesia bersama International Partners Group (IPG) meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia untuk untuk mempercepat transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Hashim mengatakan bahwa JETP merupakan program gagal karena tidak ada sama sekali pembiayaan yang masuk ke Indonesia.
Pernyataan Hashim perlu diperdebatkan karena JETP Indonesia sebenarnya telah meraup pendanaan sebesar USD1,1 miliar berbentuk utang lunak, ditambah USD225 juta dalam bentuk hibah. Pendanaan tersebut sedang diimplementasikan oleh lembaga-lembaga yang ditunjuk oleh IPG. Selain itu, AS telah berjanji memobilisasi USD2 miliar, di mana separonya sebagai jaminan sehingga Indonesia bisa meminta pinjaman dari Bank Dunia untuk transisi energi. Untuk jaminan tersebut, AS sudah menandatangani perjanjian dengan Bank Dunia pada 9 November 2024. Perjanjian tersebut ebut tetap berlaku, tidak dibatalkan setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden.
Jika pendanaan dari JETP dianggap nol besar, darimana Pemerintah Prabowo akan membiayai pemensiunan dini PLTU? Banyak usulan yang disampaikan. Pertama, pemerintah disarankan menggunakan anggaran dari pungutan batu bara untuk melanjutkan rencana pensiun dini PLTU.
Menurut analisis Yayasan Sustain, pemerintah dapat menaikkan pungutan produksi batu bara dapat sehingga memperoleh tambahan hingga USD5,63 miliar atau Rp84,55 triliun hingga USD23,58 miliar atau Rp353,7 triliun per tahun dari pungutan tersebut.
Kedua, pensiun dini PLTU dapat dilakukan dengan mekanisme debt swap sehingga tidak membebani keuangan negara. Mekanisme ini berpotensi menukar utang sebesar Rp 94,8 triliun dengan menghentikan operasi pembangkit bertenaga energi kotor tersebut, menurut sebuah studi terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Hal ini memungkinkan setelah negara maju menyepakati skema NCQG (New Collective Quantified Goals), di mana mereka membantu pendanaan USD300 miliar setara Rp4.800 triliun per tahun. Bantuan pendanaan ini diharapkan berbentuk skema di luar pinjaman baru, salah satunya adalah debt swap atau pertukaran utang.
Skenario debt swap merupakan cara negara maju membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia memiliki Rp94,8 triliun utang berbentuk pinjaman yang akan jatuh tempo pada 2025, dan utang ini kepada negara maju dan lembaga multilateral. Jadi, Menteri Keuangan dan Menteri ESDM bisa membuka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batu bara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten jalankan skema NCQG membayar utang iklimnya.
Dalam konteks ini, mekanisme barter utang melibatkan penerbitan surat utang baru oleh negara penerima kredit untuk menggantikan surat utang lama dengan komitmen dana yang diperoleh digunakan untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini melalui insentif terkait kinerja yang disepakati bersama, seperti suku bunga yang lebih rendah, hibah, maupun penggantian kerugian karbon.
Pertanyaannya, apakah mesin negosiasi pemerintah punya kapabilitas untuk memanfaatkan peluang ini?
Apapun solusi yang akan dipilih oleh pemerintah, keputusan cerdas harus segera dibuat. Apalagi, PLN mengatakan sikap perseroan sejak awal sudah jelas: pensiun dini PLTU tidak boleh merugikan sistem kelistrikan. Artinya, harus tersedia pembangkit pengganti dengan kapasitas lebih besar ketika ada PLTU yang berhenti beroperasi. Transisi ini pun tidak boleh membuat Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik naik karena akan berdampak pada tarif hingga subsidi yang ditanggung pemerintah.
PLN pun menyadari pendanaan untuk pemensiunan dini PLTU akan sulit didapatkan. Sebagai solusinya, PLN dalam rapat dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (14/5), mengatakan perseroan tidak akan menempuh strategi “coal phase-out” tapi “coal phase-down”. Coal phase-out adalah penghentian penggunaan PLTU, sementara coal phase-down adalah upaya mengurangi penggunaan batu bara sebagai sumber energi primer ketenagalistrikan secara bertahap.
PLN akan “menjahit” antara pembangkit energi fosil dan penambahan pembangkit EBT yang bersifat intermiten (pembangkit yang pemasokan dayanya tidak tersedia terus-menerus). Pilihan PLN untuk coal phase-down tampaknya cukup masuk akal karena ketahanan energi saat ini masih bertumpu pada pada batu bara dan gas alam.(*)




Komentar Terbaru