Jika ada komoditas yang “dibenci tapi dirindukan” maka jawabannya hanya satu: batu bara. Emas hitam ini dihujat dimana-mana – di ruang diskusi, seminar, hingga media – karena dinilai sebagai sumber energi yang kotor. Karena itulah, penggunanaan batubara harus dihentikan agar dunia bebas dari ancaman iklim.
Tetapi, dalam kenyataannya, Indonesia sedikit banyak menggantungkan hidupnya bergantung pada batu bara. Ini adalah sumber energi yang murah, efisien dan jumlah cadangan banyak sehingga menjamin ketahanan energi nasional. Batu bara pun memberikan sumbangan pendapatan bagi negara yang signifikan. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM yangmencapai Rp228,05 triliun per 18 Desember 2025, kontributor terbesarnya adalah subsektor minerba dengan realisasi mencapai Rp124,63 triliun.
Dalam bayang-bayang kehendak transisi energi, posisi batu bara justru semakin krusial.Emas hitam ini tak hanya menjaga listrik tetap menyala, tetapi menopang pertumbuhan industri. Sokongan batubara terhadap pertumbuhan industri pun belum bisa digantikan Dalam industri baja, misalnya, dibutuhkan sekitar 0,7 ton batubara jenis metallurgical (coking coal) untuk memproduksi 1 ton baja kasar.
Di industri semen, batu bara digunakan untuk menghasilkan 1 ton klinker dengan penggunaan sekitar 0,15 ton batubara per ton semen yang menghasilkan emisi karbon mendekati 1 ton per ton semen. Batubara ternyata juga menjadi bahan baku kimia. Batubara melalui proses gasifikasi menghasilkan syngas yang kemudian dapat diolah menjadi metanol, fenol, dan bahan kimia penting lainnya untuk industri farmasi hingga plastik.
Dari paparan itu, tidak mengherankan jika penggunaan batu bara secara nasional maupun global– terutama untuk pembangkit listrik — cenderung stabil bahkan berpotensi naik. Pada 2019-2020, permintaan listrik global turun drastis akibat kebijakan lockdown dan pembatasan perjalanan dengan rata-rata penurunan sekitar 4% secara global. Rebound mulai terjadi pada 2021 hingga saat ini ketika aktivitas ekonomi mulai pulih dimana pertumbuhan permintaan listrik melampaui kapasitas tambahan dari energi rendah karbon.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI–ICMA) mencatat permintaan ekspor batubara global akan tumbuh moderat. Kebutuhan pasar ekspor diproyeksikan mencapai sekitar 1,069 miliar ton pada 2026. Angka ini mengonfirmasi bahwa batu bara tetap menjadi sumber energi andalan dalam jangka pendek-menengah bagi banyak negara. Permintaan dari pasar seperti China dan India akan tetap stabil dan kuat, didorong oleh kebutuhan energi untuk pemulihan industri dan pertumbuhan ekonomi mereka, meskipun berangsur menurun. Selain itu potensi pertumbuhan yang signifikan dari negara-negara di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Filipina.
Dengan kontribusi yang sangat besar, perusahaan batubara malah akan menghadapi sejumlah tekanan berat mulai 2026. Setidaknya ada tiga kebijakan yang akan berdampak signifikan pada operasional dan pendapatan perusahaan yakni pemangkasan produksi, penerapan bea ekspor, dan mandatori penggunaan B50.
Pemerintah akan memangkas target produksi batubara yang tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) tahun 2026 untuk mengendalikan keseimbangan supply and demand. Menurut pemerintah, kondisi harga batu bara sedang mengalami tekanan akibat kelebihan pasokan di pasar global yang berasal dari Indonesia. Indonesia saat ini menyuplai sekitar 500-600 juta ton batu bara dari total volume perdagangan dunia yang mencapai 1,3 miliar ton per tahun.
Indonesia hendak mengatur produksi sehingga harga batubara tidak jatuh, pengusaha mendapatkan harga yang baik, dan negara pun mendapatkan pemasukan yang meningkat. Selain pertimbangan harga, rencana pembatasan produksi tersebut ditujukan agar cadangan batubara tidak ditambang secara berlebihan.
Pengurangan produksi ini akan mengakibatkan pengusaha mengatur ulang proporsi antara ekspor dan pemenuhan domestik (DMO). Pemerintah menetapkan sebesar 25% produsi nasional batu bara dialokasikan untuk DMO dengan harga US$70/ton untuk listrik dan US$90/ton untuk industri semen dan pupuk. Sejauh ini, perusahaan sudah memenuhi ketentuan DMO bahkan menurut APBI sudah mencapai 27%.
Harga DMO tidak pernah direvisi sejak 2018. Padahal, biaya produksi pertambangan batubara terus naik. Saat pemerintah membatasi produksi, biaya produksi terus naik, dan harga DMO tidak berubah maka secara alamiah pengusaha akan memprioritaskan untuk ekspor batubara. Hal ini akan berpengaruh besar terhadap keamanan pasokan batubara untuk pembangkit listrik.
Maka, saat ini pemerintah perlu untuk memikirkan agar harga batubara DMO perlu disesuaikan yang tidak terpaut jauh dengan harga pasar. Pemerintah didorong untuk melakukan evaluasi secara komprehensif dengan melihat semua faktor agar kebijakan memperbesar porsi DMO tanpa mengevaluasi harga malah akan mematikan sektor tambang batubara itu sendiri.
Tekanan kedua bagi perusahaan batubara adalah penetapan bea keluar yang akan berlaku pada 2026. Kontribusi sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren penurunan. Sebaliknya, industrialisasi hilir, terutama di sektor pengolahan logam dasar, justru mengalami pertumbuhan signifikan.
PDB industri pengolahan logam dasar tumbuh dari Rp168 triliun pada 2022 menjadi Rp243,4 triliun pada 2025. Hal ini menggambarkan pergeseran struktur dari dominasi kegiatan hulu menjadi hilirisasi yang menghasilkan nilai tambah lebih tinggi.
Memasuki tahun baru 2026, pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam optimalisasi penerimaan negara dari sektor minerba. Fluktuasi harga komoditas regional dan global, dorongan transisi energi hijau, serta kebutuhan menjaga stabilitas pendapatan negara menjadi fokus utama yang dihadapi bersama. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah menyiapkan beragam instrumen fiskal, termasuk rencana penerapan bea keluar terhadap ekspor emas dan batu bara. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga pasokan bahan baku dalam negeri, mempercepat hilirisasi, memperkuat tata kelola dan pengawasan, sekaligus meningkatkan penerimaan negara.
Penerapan kebijakan bea keluar menurut pemerintah sejalan dengan Pasal 2A Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan yang menyebutkan bahwa bea keluar diterapkan untuk menjaga ketersediaan suplai di dalam negeri maupun menstabilkan harga komoditas. Kebijakan bea masuk batu bara diarahkan untuk mendorong hilirisasi, mendukung agenda dekarbonisasi batubara, serta meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah menilai batu bara tetap memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional. Meskipun Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ketiga di dunia, mayoritas ekspor masih berupa bahan mentah sehingga nilai tambah yang diperoleh belum optimal. Untuk itu, instrumen bea keluar disiapkan guna meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendorong hilirisasi dan dekarbonisasi.
Instrumen fiskal berupa bea keluar ini tampaknya belum tepat dilakukan karena sektor batubara masih berada dalam tekanan sehingga profitnya tergerus. Instrumen fiskal idealnya diterapkan pada saat industri menikmati windfall profit. Kebijakan fiskal yang tepat waktu dan proporsional sangat krusial. Pemerintah sebaiknya tidak memberikan tekanan tambahan ketika margin industri sedang tertekan, agar kelancaran kontrak jangka panjang dan daya saing Indonesia di pasar internasional dapat terjaga.
Stabilitas kebijakan di tengah dinamika pasar global yang sangat fluktuatif sangat dibutuhkan guna menjaga ketahanan industri. Melemahnya harga batu bara internasional, disertai kenaikan biaya produksi dan logistik, menuntut kebijakan yang lebih adaptif, terukur, dan mampu menjaga kesinambungan investasi jangka panjang. Sinkronisasi kebijakan strategis pemerintah menjadi kunci untuk menjaga keberlanjutan operasi dan daya saing pelaku usaha.
Tekanan ketiga bagi sektor pertambangan adalah implementasi B50. Tujuan utama dari kebijakan pemerintah ini adalah untuk mengurangi impor solar. Namun, mekanisme implementasi B50 perlu dikaji lebih dalam untuk sektor tambang karena karakter operasi tiap komoditas dan wilayah berbeda, mulai dari variasi stripping ratio, jarak dan rute hauling, hingga kondisi infrastruktur yang mempengaruhi struktur biaya produksi.
Implementasi B50 yang akan menghilangkan subsidi FAME untuk non-PSO semakin menekan arus kas, sehingga tambahan beban biaya operasional sangat memengaruhi ketahanan usaha di tengah fluktuasi harga komoditas. Industri tambang sejauh ini berkomitmen mendukung transisi energi, namun penahapan yang realistis mutlak diperlukan agar industri mampu beradaptasi tanpa kehilangan daya saing, dan pada akhirnya mendukung keberlangsungan produksi serta penerimaan negara yang tetap optimal. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang kebijakan B40 dan menunda atau mengkaji ulang mandat B50 yang direncanakan untuk 2026.
Industri batubara juga masih menghadapi tantangan klasik seperti aktivitas penambangan liar, perizinan di wilayah IKN, regulasi transportasi batubara, inkonsistensi peraturan di tingkat pusat dan daerah. Kondisi tersebut memerlukan koordinasi yang erat agar implementasinya tidak mengganggu rantai pasok.
Di level daerah, tantangannya juga tak kalah berat. Tantangan logistik terus menjadi hambatan yang menekan efisiensi industri. Pembatasan waktu operasional di Sungai Musi, pendangkalan di Sungai Mahakam, larangan penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara di Sumatera Selatan, serta kenaikan tarif di pelabuhan STS Muara Berau semakin menambah biaya transportasi dan memperkecil margin perusahaan. Kondisi geografis tambang-tambang di Pulau Sumatera yang jauh dari pelabuhan utama pun menjadi tantangan tersendiri yang berdampak pada kelancaran rantai pasok.
Melihat kompleksitas tantangan tersebut, maka perlu kesinambungan kebijakan untuk menjaga daya saing industri sekaligus ketahanan energi nasional. Industri membutuhkan integrasi kebijakan lintas sektor, percepatan pembangunan infrastruktur logistik, serta penyelarasan regulasi dari pusat hingga daerah. Stabilitas kebijakan bukan hanya kebutuhan pelaku usaha, tetapi juga kebutuhan negara untuk memastikan pasokan energi tetap terjamin dan industri dapat terus memberikan kontribusi optimal bagi perekonomian.




Komentar Terbaru