Setelah dipangkas Rp1,65 triliun sebagai imbas pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, jajaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral kini mungkin bisa tersenyum setelah disetujuinya pagu definitif sebesar Rp21,6 triliun untuk 2026 oleh DPR. Pagu yang disetujui Komisi XII pada rapat kerja yang digelar Rabu, 3 September lalu itu melonjak jika dibanding anggaran sebelumnya yang hanya Rp8,1 triliun.
Menariknya, dari total anggaran tersebut, hampir setengahnya dialokasikan untuk Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. Jika pada tahun ini anggaran direktorat yang mengurusi migas dari hulu hingga hilir itu sebesar Rp4,8 triliun, maka pada 2026, angkanya melonjak menjadi Rp10,1 triliun.
Sebagian besar anggaran tersedot untuk infrastruktur pipa gas, mulai dari tambahan pembangunan jaringan gas yang mencapai Rp4,8 triliun, pipa transmisi gas Cirebon – Bandung Rp854,13 miliar, pipa transmisi gas Semarang – Solo – Yogyakarta Rp882,5 miliar, jargas rumah tangga Rp477 miliar, serta alokasi infrastruktur pada PNBP, yakni proyek pipa gas Cirebon – Semarang dan pipa Dumai – Sei Mengke.
Tidak hanya itu, sektor migas juga kebagian jatah anggaran yang tidak sedikit melalui Badan Geologi untuk studi kajian migas di 10 open area dan penawaran Wilayah Kerja migas, dan juga kegiatan eksplorasi migas.
Jika menilik pada alokasi anggaran yang besar untuk pembangunan infrastruktur pipa gas dan eksplorasi migas, tentu ini menjadi sinyal positif. Apalagi keduanya memang menjadi kendala bagi pengembangan sektor migas nasional.
Keterbatasan infrastruktur pipa gas membuat produksi gas nasional tidak bisa dinikmati secara maksimal oleh pelanggan domestik. Ketidakseimbangan antara supply dan demand membuat wilayah-wilayah yang menjadi pusat industri justru terjadi defisit gas.
Defisit di Wilayah Jawa Barat misalnya, terjadi karena produksi gas dari ladang migas di itu maupun area Sumatera Tengah dan Selatan yang memasok ke wilayah tersebut menunjukan tren penurunan seiring rata-rata usia sumur gas di wilayah itu sudah tua. SKK Migas mencatat per tahun 2024, defisit gas bumi di Jawa Barat mencapai 144 MMscfd.
Secara nasional, produksi gas memang tidak kekurangan. Sebagian produksi gas bahkan diekspor ke sejumlah negara. Bahkan, selain Lapangan Abadi, Blok Masela, cadangan skala besar juga ditemukan di Geng North, Blok North Ganal di Kalimantan Timur oleh ENI dan Layanan, Blok South Andaman di Sumatera bagian Utara oleh Mubadala. Hanya saja lokasi temuan-temuan baru itu jauh dari kawasan industri.
Selain pembangunan infrastruktur pipa transmisi, pembangunan jaringan gas rumah tangga juga diperlukan untuk terus mendorong penggunaan gas bumi dan menekan besarnya impor LPG. Konsumsi LPG yang terus meningkat, baik dari rumah tangga maupun kelompok usaha kecil dan menengah telah membuat beban impor LPG makin bengkak, karena keterbatasan produksi di dalam negeri.
Kebutuhan anggaran subsidi LPG dalam kurun 5 tahun terakhir tercatat mencapai sekitar Rp453 triliun. Realisasi anggaran subsidi LPG selama kurun waktu tersebut berkisar antara 40% – 60% dari total anggaran subsidi energi.
Di sektor hulu, eksplorasi migas yang berisiko tinggi membuatnya kurang dilirik, sehingga produksi migas nasional terus menurun akibat masih mengandalkan sumur-sumur tua. Dengan dukungan dan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan eksplorasi, tentu bisa membuat investor lebih tertarik untuk masuk. Apalagi berdasarkan data yang diklaim Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, tren investasi di sektor eksplorasi terus meningkat. Jika pada tahun 2020 investasi untuk eksplorasi sebesar US$0,5 miliar, maka pada 2024 angkanya mencapai US$1,3 miliar. Dan 2025, prognosa investasi eksplorasi sebesar US$1,5 miliar.
Momentum positif ini tentu juga harus didukung kebijakan yang kondusif dari pemerintah, salah satunya yang dinanti adalah revisi UU Migas. Revisi ini sangat penting dipercepat untuk meningkatkan daya tarik sektor migas Indonesia di mata investor.
Kajian ReforMiner Institute menyebut bahwa revisi UU Migas secara prinsip mengatur dan memuat setidaknya tiga elemen dasar yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sistem Kontrak Kerja Sama atau PSC.
Ketiga elemen tersebut hilang dari kerangka pengaturan dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001, karena tidak lagi mengatur penerapan prinsip assume
and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama, penerapan prinsip pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara, dan penerapan prinsip single door bureaucracy atau single institution model yang mengurus hal administrasi, birokrasi ataupun perizinan Kontrak Kerja Sama.
Dukungan penuh pemerintah, tidak hanya anggaran, namun juga regulasi diharapkan akan mendorong peran sektor migas yang makin besar bagi perekonomian nasional.(**)




Komentar Terbaru