JAKARTA – Indonesia resmi memiliki wadah  strategis untuk pengembangan teknologi dan pemanfaatan biochar yaitu Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII).

Peluncuran dilakukan langsung oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang diwakilkan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Faisal Malik Hendropriyono, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Rachmat Pambudy, Ketua Umum Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) Hashim Djojohadikusumo, dan Direktur Eksekutif Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) Phil Rickard.

Hashim Djojohadikusumo, Ketua Umum Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) menyampaikan, dengan keunggulan sumber daya biomassa yang melimpah dan dukungan lintas sektor, Indonesia memiliki peluang besar menjadi pusat pengembangan teknologi dan pasar biochar global. ABII hadir untuk menyatukan visi ini dan menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam ekosistem biochar internasional.

“Peluncuran ini menjadi tonggak awal dari perjalanan panjang untuk membawa biochar dari laboratorium dan lahan pertanian ke kebijakan publik, pasar karbon, dan solusi perubahan iklim global,” kata Hasjim dalam acara Public Launching Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) di Soehanna Hall The Energy Building, Jakarta, Senin malam (7/7).

Menurut dia tidak banyak negara di dunia yang memiliki sumber daya alam berupa biomassa seperti Indonesia.

“Jarang ada negara seperti kita. Mungkin hanya Indonesia, DRC Kongo, Brasil, Venezuela. Negara-negara tropis yang punya biomassa luar biasa. Bukan berupa pertanian tapi juga berupa hutan. Ini adalah kekayaan kita, ini adalah suatu sumber luar biasa,” kata Hashim.

Sementara itu, Phil Rickard Direktur Eksekutif Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII), menjelaskan biochar adalah arang hasil proses pirolisis biomassa organik seperti limbah pertanian (jerami, sekam, cangkang sawit, dan lainnya) dalam kondisi minim oksigen. Proses ini tidak hanya menghasilkan bahan yang sangat berguna untuk pertanian dan reklamasi tanah, tetapi juga mampu menyimpan karbon dalam jangka panjang, menjadikannya salah satu teknologi andalan untuk mitigasi perubahan iklim.

Menurutnya, biochar terbukti meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah, mempertahankan kelembapan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bahkan membantu retensi unsur hara. Teknologi ini juga telah diakui dalam berbagai kerangka kerja Carbon Dioxide Removal (CDR) secara internasional.

“Hasil pembakarannya adalah sesuatu yang terlihat seperti arang. Namun, tidak seperti arang biasa, biochar memiliki banyak manfaat ketika dikembalikan ke tanah. Manfaat utamanya adalah meningkatkan kesuburan tanah dan daya serap air, yang tentu saja akan meningkatkan hasil panen setiap tanaman,” kata Phil.

Dia menyatakan di Indonesia ada lebih dari 100 juta ton limbah pertanian yang dihasilkan setiap tahun, dan harus melakukan sesuatu untuk hal tersebut.

Lebih lanjut Phil menyampaikan, salah satu masalah polusi di Indonesia juga berasal dari lahan sawah dan delta karena sisa jerami dan limbah pertanian lainnya dibakar oleh petani. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) masih terus mencari cara pendekatan kepada petani untuk menghentikan kegiatan tersebut.

“Saya berharap, dengan adanya biochar dan dukungan dari pemerintah, kita bisa mencari solusi agar para petani bisa mendapat penghasilan tambahan dari limbah itu dengan mengirimkannya ke fasilitas-fasilitas biochar yang sedang kami dan beberapa perusahaan lain dirikan,” kata dia.

Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Sudaryono menyambut positif peluncuran Asosiasi Biochar Indonesia Internasional (ABII) ke publik. Sebab, biochar masih belum banyak diketahui fungsi dan manfaatnya. Sehingga, potensinya yang besar ini harus segera dimanfaatkan, agar semakin diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.

“Saya mewakili Mentan tentu saja menyambut positif, menyambut gembira peluncuran Asosiasi Biochar, di mana ini tampaknya sepele bagi orang, karena biasanya di saat orang membuat inisiatif atau ide baru, banyak orang ragu meragukan ataupun menertawakan. Dan paling utama, kami Kementan juga siap berkolaborasi dengan seluruh anggota Asosiasi Biochar,” katanya.

Diaz Faisal Malik Hendropriyono menuturkan, untuk menghadapi pemanasan global yang semakin hari semakin terasa dampaknya, dibutuhkan sebuah terobosan atau inovasi di berbagai bidang. Maka, diharapkan biochar menjadi salah satu sektor yang diharapkan bisa menurunkan emisi karbon.

“Di dalam Nationally Determined Contribution (NDC) kedua atau Second NDC yang sedang kami susun dan difinalisasi Bapak Presiden, biochar ini salah satu sektor kita harapkan bisa menurunkan emisi. Sehingga, kami mendorong produksi biochar lebih tinggi lagi, di mana angka target produksi biochar 1,3 juta ton pada 2025. Dan 2029 bisa sampai 2 juta ton,” ujar Diaz.

Rachmat Pambudy, Menteri PPN/Kepala Bappenas mengatakan, perubahan iklim kini tidak hanya menimbulkan pemanasan global, melainkan banyak bermunculan jenis penyakit baru di kalangan hewan ternak. Bahkan, ancaman seriusnya adalah semakin turunnya kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik.

“Sekarang sudah terjadi pohon kopi tidak lagi hasilkan kopi. Demikian juga penyakit ternak semakin banyak dan berkembang akibat global warming yang selama ini kita belum ambil inisiatif untuk mencegahnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Rachmat, keberadaan biochar kini menjadi penting untuk menghadapi perubahan iklim tersebut. Bahkan, dengan teknologi yang lebih tinggi lagi, limbah biomassa bisa diolah menjadi banyak produk bermanfaat, mulai dari kampas rem hingga grafena.

“Hilirisasi biomassa hingga mencapai puncak keunggulannya ini yang kita harapkan. Dan ini pula yang saya harapkan dari adanya peluncuran Asosiasi Biochar Indonesia Internasional,” kata dia.