Industri panas bumi memiliki peran penting terhadap ketahanan ekonomi dan energi nasional. Pengembangan dan pengusahaan panas bumi berpotensi memberikan manfaat positif pada aspek fiskal, moneter, dan makro ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, pengembangan panas bumi juga memegang peran penting dalam pencapaian target RUPTL 2025–2034.

Dokumen RUPTL menetapkan sampai dengan tahun 2034, lebih dari separuh penambahan kapasitas pembangkit nasional akan berasal dari pembangkit Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Kontribusi pembangkit EBET ditargetkan sekitar 51% (27,4 GW) hingga 61,3% (42,6GW) dari total tambahan kapasitas. Selama periode tersebut, tambahan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) ditargetkan sebesar 5,2 GW.

Pencapaian target pengembangan panas bumi tersebut kemungkinan tidak mudah untuk dapat dicapai. Berdasarkan data, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW. Sejak mulai diusahakan pada 1980an sampai dengan akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia dilaporkan baru mencapai sekitar 2.597,51 MW, atau baru sekitar 10,3% dari total potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia.

Terdapat sejumlah risiko yang dihadapi oleh pengembang dalam melakukan pengusahaan panas bumi di Indonesia, diantaranya: (1) risiko kegagalan eksplorasi; (2) risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; (3) hambatan regulasi dan tata kelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang) ; (4) kebutuhan modal awal yang cukup besar; (5) durasi pengembangan relatif lama; dan (6) lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

Panas bumi merupakan satu-satunya pembangkit EBET yang dapat digunakan sebaga base load. Faktor kapasitas yang tinggi tetap menjadi salah satu keunggulan terbesar panas bumi dibanding sumber energi terbarukan lainnya. Mengacu pada data IRENA (2025), faktor kapasitas rata-rata pembangkit listrik panas bumi (PLTP) global mencapai 88%. Jauh lebih tinggi dibanding surya (17-41%), angin (34-42%), hidro (48%) dan bioenergi (73%).
Selain itu, fasilitas panas bumi dirancang untuk dapat beroperasi hampir sepanjang tahun tanpa terpengaruh oleh cuaca maupun siklus siang-malam. Industri panas bumi juga tercatat sebagai satu-satunya industri EBET yang telah memberikan kontribusi terhadap penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di APBN. Sepanjang periode 2010-2024, penerimaan PNBP dari industri panas bumi tercatat mencapai Rp 21,43 Triliun.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar dunia mencapai 23,74 GW. Kapasitas terpasang PLTP Indonesia pun berada di peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat, namun tingkat utilisasi hanya 11,5% dari potensi (2.743,9 MW). Kondisi ini bertolak belakang dengan Filipina dan Turki yang berada di peringkat ke-3 dan 4 kapasitas terpasang PLTP dunia. Tingkat utilisasi Filipina mencapai 48,07% sedangkan Turki sebesar 38,54% dari total potensi panas bumi.

Dalam satu dekade terakhir, kapasitas PLTP Indonesia tumbuh cukup tinggi mencapai 88,02%. Namun, pertumbuhan tersebut masih tertinggal jauh dibanding Turki yang mencatatkan lonjakan pertumbuhan hingga 328,23% pada periode yang sama. Di sisi lain, investasi panas bumi cenderung menurun dari US$ 1,18 milyar di tahun 2018 menjadi sekitar US$ 0,75 milyar pada 2024. Kontradiksi ini mengindikasikan bahwa kerangka regulasi yang ada belum cukup optimal untuk mendorong pengembangan panas bumi di Indonesia sekaligus belum mampu memberikan kepastian usaha yang dibutuhkan oleh investor.

Keberhasilan Filipina dan Turki dalam memperbaiki kerangka regulasi serta payung hukum terbukti mampu mendorong peningkatan pemanfaatan panas bumi untuk sektor ketenagalistrikan. Selain perbaikan kerangka regulasi, beberapa kebijakan tambahan yang diterapkan baik di Filipina maupun Turki diantaranya berupa kemudahan birokrasi dan akses data, insentif fiskal, serta dukungan terhadap infrastruktur dan skema pembelian listrik.

Faktor pendorong utama keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Filipina adalah kebijakan perusahaan transmisi listrik nasional (Transco) yang memberikan koneksi dan distribusi penuh terhadap proses jual-beli listrik panas bumi. Kebijakan insentif lain yang diberikan untuk pengembangan panas bumi Filipina diantaranya: (1) pengurangan porsi bagian pendapatan pemerintah; (2) pemberian insentif fiskal; (3) penyediaan data pengembangan panas bumi untuk swasta; serta (4) inventarisasi dan identifikasi wilayah potensial untuk eksplorasi panas bumi.

Turki menjadi negara dengan peningkatan kapasitas PLTP terbesar dari 405 MW pada tahun 2014 menjadi 1.734 MW di tahun 2024. Peningkatan tersebut merupakan hasil dari implementasi UU EBET di Turki yang memberikan sejumlah keistimewaan untuk industri panas bumi diantaranya: (1) penerapan kebijakan feed-in tariff; (2) percepatan proses perizinan pembangkit panas bumi; (3) insentif fiskal; serta (4) pemberian jaminan dan kompensasi kepada investor yang mengalami kerugian akibat kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah Turki.

Belajar dari keberhasilan Filipina dan Turki, Pemerintah Indonesia harus melakukan perubahan dan intervensi regulasi dasar maupun regulasi turunan panas bumi. Hingga saat ini, regulasi panas bumi belum memadai. Baik dalam UU Ketenagalistrikan maupun UU Panas Bumi, tidak ada pasal yang secara tegas mengatur kedudukan PLTP sebagai komponen strategis dalam penyediaan listrik nasional. Demikian pula dengan regulasi turunan seperti Perpres 112/2022, yang belum memberikan kepastian harga maupun skema pembiayaan yang dapat mengakomodasi kebutuhan industri panas bumi.

Penyempurnaan kebijakan pada sejumlah aspek, khususnya terkait regulasi, daya tarik iklim investasi, serta efektivitas insentif diperlukan untuk memperkuat pengembangan panas bumi. Terkait perizinan misalnya, pemerintah perlu melakukan penyederhanaan dan kepastian perizinan pengembangan proyek PLTP. Perlu diberikan kepastian tata waktu proses penyelesaian perizinan pengembangan proyek PLTP. Sinergi dan komitmen antar kementerian dan lembaga yang merupakan bagian dari implementasi Perpres 112/2022 juga diperlukan.
Terkait model pasar listrik nasional bersifat monopsoni, di mana pengembangan listrik panas bumi hanya bergantung pada satu pihak sebagai single buyer/single offtaker, kepastian tata waktu penandatanganan PJBL dan PJBU menjadi sangat penting. Kepastian tersebut diperlukan mengingat pengembang panas bumi pada umumnya wajib menyelesaikan komitmen eksplorasi sebelum dapat memperoleh PJBL maupun PJBU.

Untuk mempercepat proses PJBL dan PJBU, proses negosiasi tarif sebaiknya hanya dilakukan untuk harga dasar dan eskalasi yang diberlakukan selama jangka waktu PJBL dan PJBU tersebut. Hal ini untuk menyelesaikan permasalahan pada ketentuan skema pembelian tenaga listrik yang diatur dalam Perpres 112 Tahun 2022. Penerapan skema feed-in tariff juga menjadi instrumen penting untuk dapat memberikan kepastian harga sekaligus meningkatkan daya tarik investasi. Langkah tersebut dapat diwujudkan diantaranya melalui revisi atau penguatan terhadap ketentuan Perpres 112/2022.