JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan akan memperluas Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) PT Geo Dipa Energi (Persero). Purbaya menyebut Geo Dipa Energi sebagai Badan Layanan Umum (BLU), berpotensi meningkatkan pengembangan energi panas bumi.

“Geo Dipa di bawah keuangan (Kemenkeu), itu adalah BLU yang spesialisasi di geothermal. Hanya punya beberapa field, dua yang besar. Saya ingin perluas lagi itu, sehingga kita bisa supply listrik dari geothermal. Karena kita punya potensi geothermal terbesar di dunia. Nanti, untungnya adalah kalau energinya hijau, produk yang memakai energi hijau di Eropa dapat special treatment sehingga memperbaiki daya sayang kita. Jadi dari kami, kami akan diskusi dengan Geo Dipa, dengan industri-industrinya sekalian sehingga kita begitu clear siapa yang memakai. Kalau bisa dibuat kabel atau kalau perlu lewat jaringan PLN, ya kita lihat berapa cost-nya. Jadi kita akan optimalkan sumber-sumber energi yang sustainable, yang hijau,” kata Purbaya dalam program Endgame Podcast With Gita Wirjawan bertajuk “Pendirian dalam Berkebijakan Itu Penting”, (3/12/2025).

Riki F Ibrahim, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) periode 2016–2022, menanggapi pernyataan Menkeu Purbaya. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah posisi Geo Dipa Energi sebagai Badan Layanan Umum (BLU).

Riki mengungkapkan rekor pertama setoran dividen kepada Pemerintah pada 2021, sebuah capaian yang belum pernah terjadi sejak Geo Dipa berdiri pada 2002. Ia juga memulai kerja sama pembiayaan dengan ADB pada 2019 untuk proyek Dieng 2 dan Patuha 2 senilai US$ 350 juta, yang kemudian mempermudah ADB kembali mengucurkan US$ 180 juta pada 2025 untuk melanjutkan pengembangan proyek panas bumi Geo Dipa.

Riki menilai rencana Menteri Purbaya menunjukkan bahwa model BLU merupakan instrumen kebijakan yang serbaguna dan efektif bagi pemerintah. Menurutnya, arah kebijakan tersebut sekaligus mencerminkan komitmen Presiden Prabowo dalam mendorong pemanfaatan potensi panas bumi Indonesia yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia.

“Terobosan untuk memajukan pengembangan geotermal Indonesia hingga melampaui capaian Amerika Serikat akan sangat positif,” ujar Riki kepada Dunia Energi, Senin(5/12/2025).

Langkah ini, lanjut Riki, tidak hanya memperkuat peran Geo Dipa sebagai BLU Government Drilling—yang menjadi pusat keahlian pengeboran panas bumi nasional—tetapi juga membuka ruang bagi perusahaan untuk memperluas kemitraan strategis dan menghasilkan dampak yang lebih besar.

Ia menambahkan, fleksibilitas finansial yang melekat pada skema BLU memberi ruang bagi inovasi dan respon layanan yang lebih adaptif, sehingga memungkinkan Geo Dipa memadukan mandat pelayanan publik dengan praktik manajemen yang efisien.

Merujuk pada PP No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Riki menjelaskan bahwa Geo Dipa—yang saat ini berstatus BUMN—secara struktural lebih mudah dipisahkan untuk dialihkan menjadi BLU.

Dalam skema tersebut, aset-asetnya tetap berada di bawah BUMN, sementara badan operasionalnya memperoleh fleksibilitas khas BLU untuk memperluas pola kemitraan, baik dengan Independent Power Producer (IPP), PLN Indonesia Power, maupun Pertamina Geothermal Energy (PGE). Model ini diharapkan mampu menghasilkan dampak yang lebih luas serta menunjukkan keberhasilan dalam memadukan mandat pelayanan publik dengan tata kelola yang efisien.

Sebagai BLU, Geo Dipa akan mengambil peran strategis sebagai pelaksana pengeboran seluruh potensi panas bumi nasional secara lebih efektif.

Riki menilai kondisi bisnis panas bumi Indonesia selama ini “seperti membeli kucing dalam karung” karena IPP masuk tanpa didukung data pengeboran yang memadai dan justru menanggung beban eksplorasi sejak awal. Padahal, menurutnya, tingkat risiko pada sektor panas bumi tidak setinggi yang kerap dibayangkan.

“Lihat saja, hampir seluruh Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) di Indonesia memiliki manifestasi berupa uap dan air panas. Ini menunjukkan potensi yang secara geologis tidak kosong,” ujar Riki.

Meski demikian, Riki menegaskan bahwa otonomi yang diperoleh Geo Dipa sebagai BLU tetap harus diiringi dengan manajemen risiko yang cermat. Ia menyebut sejumlah potensi risiko yang perlu diantisipasi, mulai dari kemungkinan kegagalan pengembalian dana pinjaman (LPDB), volatilitas kinerja investasi (LPDP), hingga perubahan arah kebijakan yang bisa muncul akibat pergantian pemerintahan dan memengaruhi pendanaan lingkungan (BPDLH).

“Semua ini menuntut tata kelola yang kuat dan pengawasan yang ketat,” pungkas Riki.(RA)