GANGGUAN penglihatan masih menjadi permasalahan utama di Indonesia dan biang kerok terbesar dari gangguan tidak lain dan tidak bukan adalah katarak. Kondisi yang kerap diremehkan, atau ketidaktahuan serta biaya yang membuat masyarakat Indonesia seolah hanya bisa menerima kenyataan ketika katarak perlahan menghampiri. Kenapa masyarakat Indonesia rentan terhadap katarak? Sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, Indonesia terpapar lebih banyak sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet (UV).
Kementerian Kesehatan sendiri mengamini bahwa paparan sinar ultraviolet merupakan salah satu penyebab katarak paling umum di negara tropis seperti Indonesia. Paparan UV yang ada di sinar matahari inilah mempercepat proses oksidasi pada lensa mata sehingga sebabkan protein di dalam lensa menggumpal dan menjadi keruh. Kondisi inilah cikal bakal katarak. Umumnya banyak terjadi pada pekerja di luar ruangan seperti nelayan dan petani.
Masih dari data Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 saja, di Indonesia diperkirakan terdapat 8 juta orang dengan gangguan penglihatan. Sebanyak 1,6 juta orang mengalami kebutaan, dan 6,4 juta orang mengalami gangguan penglihatan sedang dan berat. Sebanyak 81,2% gangguan penglihatan disebabkan oleh katarak.
Tidak banyak pihak yang menyadari untuk ambil bagian dan terlibat langsung dalam penanganan katarak, padahal itu merupakan langkah yang dinantikan masyarakat, karena tidak semua punya akses yang sama untuk memperbaiki kondisi mata yang sudah mulai melemah. Sebaran dan besarnya biaya untuk penanganan katarak mungkin jadi batu sandungan.
Prof. dr. Budu, PhD, SpM(K), M. MedEd, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), menegaskan meski banyak ditemukan pada pasien berusia di atas 50 tahun, namun pada dasarnya katarak tidak mengenal umur. Sebab, katarak juga bisa terjadi karena kondisi-kondisi tertentu. “Semua orang bisa terkena katarak dan penanganannya hanya melalui tindakan operasi. Untuk itu, kita harus melakukan sosialisasi dan edukasi yang masif kepada seluruh lapisan masyarakat,” kata Budu.
Tapanuli Selatan jadi salah satu wilayah yang cukup rentan dengan katarak, bahkan sempat ada masanya katarak secara tidak langsung “diwajarkan” terjadi di sana. Banyaknya warga yang harus berburu rezeki di luar ruangan seperti menjadi petani, nelayan atau pekerja harian di area tambang emas Batang Toru membuat kondisi katarak seakan menjadi kondisi lumrah di sana.
Padahal dengan pekerjaan seperti menyortir biji kopi, menambal jala ikan atau memperbaiki mesin menuntut penglihatan yang baik. Bagi banyak warga lanjut usia, katarak perlahan menggerogoti kemampuan itu. Penglihatan yang buram membuat sebagian tak lagi bisa bekerja, ada juga memilih menyerah berhenti berkarya pada usia produktif.
Tidak sedikit akhirnya warga perlahan kehilangan pandangan tanpa sempat mendapatkan pertolongan medis. Di antara rumah-rumah kayu ladang-ladang kopi, cerita tentang mata yang lemah dan penglihatan memudar itu menjadi bagian dari keseharian. Di banyak desa, pemeriksaan mata masih dianggap barang mewah, dan operasi katarak seperti hanya sebuah mimpi.
Asa kembali hidup. Kegelapan di Tapanuli Selatan perlahan tersingkap. Cahaya mulai berpendar sejak tahun 2011. Melalio program Buka Mata Melihat Dunia, PT Agincourt Resources berinisiatif untuk ikut ambil bagian agar mata tetap terjaga, melihat cahaya dunia.
Untuk bisa menjangkau masyarakat secara luas, inisiatif Agincourt dimulai dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia untuk mengatasi katarak karena sampai saat ini katarak tidak bisa disembuhkan melalui pengobatan alias jalan satu-satunya adalah adalah tindakan operasi. Sejak tahun 2011, Agincourt Resources memfasilitasi dokter-dokter spesialis mata di Sumatra Utara untuk belajar di Tilganga Institute of Ophthalmology (TIO), Nepal untuk mengembangkan kapasitas mereka dengan teknik operasi katarak berdurasi cepat dari Dr. Sanduk Ruit.
Lebih dari 300 orang terlibat dalam tindakan operasi katarak yang diinisiasi Agincourt terdiri karyawan Agincourt Resources dan mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Sumatra Utara.
Operasi yang dilakukan juga tidak sekedar operasi dan selesai. Selain tanpa dipungut biaya, setelah operasi, para pasien akan disediakan obat-obatan, buku panduan perawatan, dan akan kembali menjalani pemeriksaan mata pasca operasi.
Dalam laporan resmi perusahaan selama 13 tahun atau sejak tahun 2011 hingga 2024 lalu total ada 12.173 pasang mata yang sudah dioperasi katarak dan menyasar ke 10.684 orang. Ini bukan sekedar angka. Ini merupakan wujud konsistensi program yang memang bertujuan memberikan dampak secara langsung tanpa embel-embel timbal balik alias murni bantuan untuk tingkatkan kualitas hidup dan menyentuh langsung pada kebutuhan dasar manusia, penglihatan.
Di tahun ke 14 ini Agincourt sudah mematok target untuk mengoperasi 1.400 mata di berbagai lokasi. Pada 26 – 28 September di Batangtoru, sudah 357 mata katarak berhasil dioperasi. Kemudian bulan oktober di Rumah Sakit Bhayangkara Batangtoru pada 3–5 Oktober. Kemudian di RSUD Pandan pada 17–19 Oktober, RSUD Sipirok pada 24– 26 Oktober, dan RS Mata Siantar pada 21–23 November. Rangkaian operasi akan ditutup di RS Mata Mencirim 77 Medan.
Sri Khairunnisah, Kepala Dinas Kesehatan Tapanuli Selatan mengatakan operasi katarak merupakan boleh jadi merupakan kebutuhan primer namun sulit didapatkan masyarakat Sumatera Utara khususnya Tapanuli Selatan. Adanya operasi ini menurut dia sama saja memberikan kesempatan kedua demi masa depan hingga ke harapan hidup masyarakat.
“Selain itu, operasi katak yang dilakukan PTAR mendorong penguatan layanan primer di Puskesmas Batang Toru dan Puskesmas Utang Raje harus menjadi contoh bagi puskesmas lain, karena memiliki dukungan fasilitas dari PTAR,” kata Sri saat hadir dalam operasi katarak di RSUD Sipirok beberapa waktu lalu.
Nilai plus dari program antara lain semakin menguatnya kepercayaan dari masyarakat bahwa perusahaan peduli pada masyarakat, keberadaannya membantu bahkan memberdayakan.
Risna Resnawati, Pakar CSR sekaligus Kepala Program Studi CSR Universitas Padjajaran (UNPAD), menilai secara sederhana jika program ini terus dlakukan selama bertahun-tahun, artinya demandnya tinggi, masyarakat dengan gangguan penglihatan banyak.
“Sehingga program ini menjadi tepat dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat setiap tahunnya. Karena pasti tiap tahun ada kuotanya. Disesuaikan dengan anggaran CSR atau PPM dari perusahaan,” ungkap Risna kepada Dunia Energi.
Lebih lanjut Risna menegaskan aksi kesehatan seperti ini bisa meningkatkan kualitas hidup nanti berdampak pada peningkatan harapan hidup. “Dan harapannya program kesehatan yang dilakukan oleh perusahaan juga dapat berimbas pada peningkatan kualitas sumber daya manusia,” ujar Risna.
Sementara itu, Rahmat Lubis, General Manager Operations & Deputy Director Operations Agincourt Resources rangkaian operasi ini menjadi momentum penting untuk memperluas akses kesehatan mata bagi masyarakat, khususnya mereka yang kesulitan menjangkau layanan medis.
“Katarak sering kali membuat penderita kehilangan produktivitas dan kemandirian. Melalui program ini, kami ingin menghadirkan kembali harapan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat, khususnya di lingkar Tambang Emas Martabe,” ujar Rahmat.
Lebih dari satu dekade berjalan “Buka Mata Lihat Indahnya Dunia” telah menghadirkan lebih dari sekadar penglihatan tapi juga keyakinan bahwa kebaikan yang dilakukan dengan hati akan selalu menemukan jalannya untuk memberi terang. Selama 14 tahun ini juga Agincourt Resources menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekedar angka-angka, bukan sekedar mengembalikan lingkungan ke marwahnya tapi juga tentang manusia. Mengembalikan harapan manusia menata masa depan yang lebih baik.





Komentar Terbaru