Namanya cukup unik: Bobibos. Sekilas, publik akan mengira ini produk fashion atau lifestyle. Ternyata bukan. Ini produk sangat serius yakni bahan bakar alternatif ramah lingkungan dengan oktan tinggi. Bobibos adalah Bahan Bakar Original Buatan Indonesia.

Produk yang dikliam memiliki oktan di atas Pertamax ini diperkenalkan ke masyarakat pada Selasa (11/11) di Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, oleh penemu Bobibos, Ikhlas Thamrin, alumni Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo dan Chief Executive Officer (CEO) PT Inti Sinergi Formula. Sejak itu, Bobibos menjadi percakapan ramai di dunia nyata maupun dunia maya. Sebagian publik antusias karena menemukan BBM yang murah dan ramah lingkungan. Lainnya skeptis karena produk tersebut belum teruji.

Meskipun demikian, sensasi Bobibos terus bergulir. Di saat pemerintah pusat – dalam hal ini Kementerian ESDM masih bersikap hati-hati — Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), malah memberikan panggung terbuka. Bobibos yang memanfaatkan jerami, limbah pertanian yang selama ini sering kali hanya dibakar pasca-panen, diujicobakan di Lembur Pakuan, Subang. Hasilnya, katanya, kinerja mesin traktor optimal, tarikan ringan, dan kualitas asap buangan yang lebih baik.

Inovasi ini juga diklaim mampu membuka peluang ekonomi yang masif di daerah pertanian seperti Jawa Barat. Konon, satu hektare sawah bisa menghasilkan 3.000 liter Bobibos. Jika ini yang sesungguhnya terjadi maka para petani akan mendapatkan penghasilan ganda yakni saat panen dan limbah jerami yang diolah menjadi Bobibos. Apalagi, proses pengolahan jerami menghasilkan produk turunan lain seperti pakan ternak dan pupuk.

Inovasi ini Bobibos sebenarnya patut diapresiasi karena akan membuka peluang ekonomi yang masif di daerah pertanian. Sektor pertanian nantinya tidak hanya berkontribusi pada ketahanan pangan tetapi sekaligus membantu ketahanan energi. Pemanfaatan jerami sebagai bahan baku energi ini pun sejalan dengan tren riset bioenergi global yang kini diarahkan pada pemanfaatan bahan non-edible yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan.

Bobibos bukan energi alternatif pertama yang muncul di hadapan publik. Heboh bahan bakar alternatif sudah beberapa kali terjadi, namun ending-nya tidak menggembirakan. Contohnya adalah “skandal” Blue Energy dan Niku Banyu (Nikuba).

Bahan bakar Blue Energy ditemukan Djoko Suprapto, yang mengklaim sebagai almunus Fakultas Teknik Elektro UGM. Dia mengaku mampu menciptakan listrik cukup dari air. Blue energy bisa dijadikan bahan bakar alternatif pengganti solar, bensin, avtur, maupun minyak tanah. Temuan ini bahkan di-endorse pemerintahan SBY bahkan dipamerkan dalam ekspedisi Jakarta-Bali menjelang United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) Desember 2007 di Bali. Blue Energy rencananya akan diproduksi massal dengan kapasitas produksi 10 liter per detik atau setara dengan 5 ribu barel per hari bph). BBM ini sangat murah, sekitar Rp3 ribu per liter.

Djoko Suprapto “tersandung” saat mempresentasikan pembangkit listrik “yang bisa menghasilkan energi listrik tanpa henti selamanya” kepada pihak UGM. Klaim ini tidak dapat dibuktikan. Pihak UGM menyatakan proposal tersebut merupakan sebuah penipuan dan memperingatkan banyak pihak agar tidak memercayai ide Djoko Suprapto. Sayangnya, Istana Negara sudah mempercayainya. Ini kemudian menjadi skandal politik, membawa Djoko Suprato ke meja hijau dan divonis 3,5 tahun penjara pada Januari 2009.

Setelah itu, pada Mei 2022, muncul Aryanto Misel memperkenalkan Nikuba Hidrogen, sebuah alat yang diklaim dapat mengubah air menjadi hidrogen dan dapat digunakan sebagai bahan bakar. Aryanto menyebut bahwa satu tetes air rata-rata bisa untuk menjalankan motor sejauh 45-50 kilometer.

Hebatnya lagi, dia mengaku temuannya mendapatkan perhatian dari beberapa perusahaan otomotif global seperti Ferrari dan Lamborghini. Nikuba bahkan sudah dipakai sebagai pengganti BBM di kendaraan Babinsa TNI di Cirebon. Sensasi Nikuba meredup karena sang penemu tidak pernah mau membuka hasil risetnya atau mempublikasikannya di jurnal ilmiah.

Kemunculan Bobibos menjadi pertanyaan serius: apakah ini inovasi atau sensasi?

Dari kacamata positif, kemunculan Bobibos menunjukkan bahwa semangat inovasi untuk menciptakan kemandirian energi masih terus tumbuh di masyarakat kita. Hal ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil sekaligus menjadi solusi lingkungan karena produk bahan bakar yang dihasilkan lebih ramah lingkungan.

Apalagi, Indonesia sangat kaya dengan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif seperti seperti kelapa, nyamplung, dan sorgum, dan limbah tandan kosong kelapa sawit. Jerami, yang digunakan sebagai bahan baku Bobibos, juga dapat digunakan karena mengandung komponen selulosa, hemiselulosa, lignin, dan glukosa yang bisa diolah menjadi bahan bakar. Semangat inovasi dan riset dibutuhkan untuk memanfaatkan sumber energi tersebut sehingga Indonesia akan mampu memenuhi energinya sendiri secara berdaulat.

Tetapi, pengembangan energi alternatif tidak dapat dilakukan dengan serampangan. Setiap inovasi energi memerlukan kajian bertahap dan komprehensif dari hulu ke hilir dengan melibatkan produsen, pabrikan otomotif, regulator/pemerintah, lembaga riset, dan konsumen sehigga dihasilkan bahan bakar yang memiliki spesifikasi tertentu sesuai standar mutu nasional/internasional dan aman digunakan oleh masyarakat.

Proses tersebut dimulai dari analisis ketersediaan bahan baku, teknologi konversi, dan kelayakan ekonomi. Bobibos cukup menarik karena berbahan dasar berupa jerami. Jerami akan mudah didapatkan karena luas Lahan Baku Sawah (LBS) Indonesia pada 2019 tercatat lebih dari 7,4 juta hektare. Apabila diproduksi secara massal, Bobibos tampaknya tidak akan kekurangan bahan baku.

Peluncuran bahan bakar alternatif harus dipastikan telah memenuhi semua aspek regulasi dan keekonomian sebelum masuk ke tahap komersialisasi. Inilah yang belum dilakukan produsen Bobibos sehingga produk mereka prematur memasuki pasar.

Saat ini, karena Bobibos sudah kadung dikenal publik, produsen sekalian membuka hasil riset dan ujicoba serta mempublikasikannya di jurnal ilmiah sehingga klaim bahan bakar beroktan mencapai RON 98,1 yang dihasilkannya dapat dipertanggungjawabkan. Hal tersebut tentu akan mudah dipenuhi karena produsen Bobibos mengaku telah melakukan riset tersebut selama hampir satu dekade.

Selain itu, Bobibos harus lolos dari tahapan pengujian resmi seperti yang dilakukan Lemigas. Hasil pengujian itulah yang akan dapat digunakan untuk menerbitkan sertifikasi hingga izin edar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, Bobibos tidak akan terjebak sebagai sensasi tetapi benar-benar menjadi inovasi bisnis berorientasi jangka panjang, menjadi energi alternatif asli Indonesia yang ramah lingkungan dan murah.

Tugas pemerintah selanjutnya adalah secara terbuka melakukan pendampingan lebih lanjut terhadap pengembang Bobibos sehingga inovasi tersebut bisa memberi kontribusi nyata bagi pengembangan energi bersih dan berkelanjutan di Indonesia. Pemerintah dapat mendorong Bobibos untuk berkolaborasi dengan PT Pertamina (Persero) sebagai Holding Migas agar produksi dan distribusi Bobibos semakin luas.

Keterbukaan dan kolaborasi ini sangat penting karena muncul persepsi negatif dari publik, terutama di media sosial, bahwa “akan banyak pihak yang tidak suka dengan Bobibos” sehingga publik mudah percaya pemerintah dan “pihak tertentu” yang terganggu kepentingannya itu akan mematikan inovasi anak bangsa tersebut.

Pemerintah harus membuat narasi tidak menolak inovasi energi alternatif dan mendukung riset-riset independen. Respons kritis yang disampaikan pemerintah dilakukan dalam kerangka mengarahkan inovasi yang berlandaskan kaidan sains dan bukan untuk memastikan kreativitas masyarakat. Sekecil apapun inisiatif masyarakat tetap layak diapresiasi.

Jadi, mari kita tunggu proses pengujian terstandar dan pemenuhan regulasi dari produk Bobibos tersebut sebelum diperjualbelikan secara luas. Para influencer, apalagi pejabat negara dan daerah lebih baik menahan diri terlebih dahulu sebelum meng-endorse produk ini. Jangan sampai menjadi skandal Blue Energy tahap kedua.(*)