JAKARTA – Peta jalan pengembangan logam tanah jarang (LTJ) dinilai harus segera diwujudkan untuk menentukan langkah dan arah pengembangan ke depan. Apalagi LTJ memiliki peran yang demikian penting sementara keberadaanya yang tidak banyak. Banyak negara kemudian berlomba untuk bisa mengembangkan potensi LTJ sehingga bisa mengurangi dominasi China.

Logam tanah jarang memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi bahan baku utama industri teknologi global. Elemen ini digunakan dalam berbagai sektor mulai dari elektronik, smartphone, X-ray, MRI, fiber optic, hingga sistem pertahanan dan pesawat tempur.

Presiden Prabowo Subianto pun dalam beberapa kesempatan telah mendorong pengembangan potensi komoditi ini. Salah satunya dengan mendorong PT Timah,Tbk. untuk menjadi salah satu pioneer pengembangan LTJ di Indonesia.

Edi Permadi, Tenaga Ahli Profesional Lemhanas, mengatakan berbicara tentang mineral tanah jarang atau rare earth, prosesnya dimulai dengan mengetahui potensi sumber daya. Ada proses eksplorasi untuk mendapatkan data sumber daya. “Setelah mendapatkan model sumber daya, kita lakukan eksplorasi lanjutan untuk meningkatkan sumber daya menjadi cadangan,” ujar Edi, Rabu (5/11).

Ketika sudah mendapatkan data cadangan baru dilakukan Feasibility Study guna menentukan metalurgi test untuk menentukan processing yang cocok dengan LTJ tersebut. Setelah itu, baru melakukan AMDAL dan Feasibility Studies lanjutan guna melihat keekonomian dan investment serta regulasi yang harus dikembangkan.

Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menentukan kluster potensi LTJ di Indonesia. Kluster Sumatera utara, Kluster Bangka Belitung, Kluster Kalimantan Barat dan Kluster Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan.

Bahkan, kata Edi, sebenarnya kalau diihat ada potensi LTJ di Bangka Belitung diantaranya di PT Timah,Tbk yang mana berasal dari pengolahan timah. Di sana ada monasit dan xenotime, bahkan sudah dalam bentuk cadangan. “Namun cadangan tersebut masih harus diassest secara metalurgi untuk menentukan procesing mana yang bisa digunakan mengekstrat secara optimal dari sisi recovery LTJ secara optimal dan tentu saja harus ramah lingkungan,” tambah Edi.

Oleh karenanya menurut Edi yang bisa cepat dalam proses pengembangan LTJ bisa pada Monasit dan Xenotim sebagai prouk ikutan dari timah. “Tetapi ada kompleksitas dimana perlu ada sinkronisasi antara Kementerian ESDM dengan Bapeten karena ketika melakukan pengolahan dan pemurnian ada keterkaitan dengan unsur-unsur yang mengandung radio aktif. Butuh pengawasan dari Bapeten,” tandas Edi.

Di sisi lain, eksplorasi juga dilakukan untuk potensi LTJ laterit seperti Sulawesi Barat. Untuk yang ini butuh waktu lebih lama karena harus ada eksplorasi untuk mendapatkan data sumber daya. Kemudian ditingkatkan menjadi cadangan.

Untuk hal ini, Edi mengingatkan bahwa selain butuh proses yang cukup panjang juga biaya yang tidak sedikit. Eksplorasi sebenarnya bisa dilakukan secara inhouse tetapi dengan melihat resiko.

“Bagaimana kita bisa memitigasi resiko bahwa eksplorasi itu tidak murah dan belum tentu akan menghasilkan data sumber daya yang akan meningkat sebagai cadangan. Sehingga kita bisa saja membuka peluang juga bagi perusahaan BUMN, swasta nasional atau swasta internasional untuk melakukan eksplorasi,” tandasnya.

Untuk tahap awal, bisa saja dilakukan pada kluster-kluster yang sudah ditentukan oleh Badan Geologi. Sampai saat ini memang belum ada IUP khusus untuk komoditi LTJ karena mungkin ini merupakan suatu yang baru. “Sehingga kita bisa sinergi antara mineral ikutan dari timah dan juga eksplorasi yang menyeluruh pada kluster yang sudah dibuat oleh Badan Geologi,” terang Edi lagi.

Tidak kalah penting, untuk melaksanakan hilirisasi maka lima pilar ini menjadi penting yakni modal, SDM, Social Licence,regulasi dan lingkungan. Harus ada kemampuan dari sisi modal, kesiapan dari sisi SDM untuk lakukan eksplorasi, dukungan masyarakat sekitar, regulasi yang mendukung dan lingkungan terjaga.

“Dengan pengelolaan yang tepat, Indonesia dinilai berpeluang besar menjadi pemain penting dalam rantai pasok global logam tanah jarang,” kata Edi.(AT)