JAKARTA – Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara berjanji untuk merealisasikan Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) atau waste-to-energy di tujuh kota pada tahap pertama (batch 1) dan akan menjadi langkah awal investasi sovereign wealth fund (SWF) Indonesia. Ditargetkan ada tujuh PLTSa yang bisa dieksekusi konstruksinya pada awal tahun depan atau 2026.

Stefanus Ade Hadiwidjaja, Managing Director Investment BPI Danantara, mengungkapkan tender untuk proyek PSEL batch 1 akan dimulai pada 6 November 2025. Rencananya ada tujuh kota yang telah dinyatakan siap oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk mengelola sampah menjadi listrik.

“Ada tujuh kota yang masuk di batch pertama dan targetnya total 33–34 kota. Tapi ini yang sudah siap di awal, jadi biar nanti tidak ada bottleneck. Siapa yang siap, langsung kita jalankan,” ujar Stefanus di Jakarta, Senin (3/11).

Dengan tender batch pertama yang dimulai pekan ini, Danantara menargetkan penetapan konsorsium pemenang pada kuartal I 2026, dan pelaksanaan groundbreaking di awal 2026.

“Ini proyek pertama. Kami berharap tendernya bisa cepat dilakukan sehingga pada kuartal I tahun depan, bulan Maret atau April, setiap kota sudah memiliki konsorsium pemenang dan bisa groundbreaking di awal tahun 2026,” ujar Stefanus.

Rencananya lelang tahap pertama diprioritaskan di Bogor, Denpasar, Yogyakarta, Semarang, dan Bekasi. Kelima kota itu dinilai telah memiliki kesiapan teknis dan administratif.

Kemudian ada 24 penyedia teknologi internasional yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan waste-to-energy berbasis teknologi incinerator yang ikuti lelang.

“Dari satu bulan lalu minatnya sangat banyak. Kami cukup senang karena banyak pihak yang melihat ini sebagai peluang investasi yang bagus,” ungkap Stefanus.

Penyedia teknologi tersebut nantinya diwajibkan membentuk konsorsium dengan mitra lokal, baik dari sektor swasta, BUMN, maupun BUMD, sebagai bagian dari strategi transfer pengetahuan dan teknologi. Setiap konsorsium akan mengikuti tender di masing-masing kota.

“Kami tidak ingin satu konsorsium bisa menang terlalu banyak. Nanti akan kami tentukan, karena kami ingin ada manajemen risiko yang baik,” tambahnya.

Stefanus menekankan bahwa urgensi pembangunan PLTSa tidak hanya soal diversifikasi energi, tetapi juga solusi atas permasalahan sampah nasional yang kian mendesak.

“Indonesia memproduksi sekitar 50 juta ton sampah per tahun, dan baru 40 persen yang berhasil dikelola dengan baik. Artinya, 60 persen sisanya berpotensi mencemari lingkungan. Banyak yang dibakar di depan rumah, menyebabkan polusi udara,” tegas Stefanus.