SUDAH lebih dari empat kali saya jejakan kaki di bumi Rokan. Rasanya selalu sama, panas sampai ke ubun-ubun. Ada yang bilang panas di Rokan berbeda dengan di wilayah lain, kok bisa? Banyak yang bilang di dalam perut bumi Rokan ada begitu banyak minyak yang berlimpah mendidih terkena radiasi panas matahari. Bisa dibayangkan panasnya, dari atas ada matahari yang memanaskan minyak yang ada di bawah kaki berpijak.

Tapi hari itu matahari muncul malu-malu, terik mentari yang selalu menemani saat di Rokan kali ini tidak terlalu terasa. Semoga bukan pertanda minyak yang ada di perut bumi Rokan turut terkikis. Kekhawatiran itu sirna tatkala masuki wilayah Rumbai, Duri apalagi Minas. Sepanjang perjalanan di kanan dan kiri jalan ada pompa yang terus mengangguk siang malam tanpa henti tanda minyak masih terus mengalir dari perut bumi Rokan. Selama pompa angguk masih bekerja, Rokan belum habis.

Sejak kembali ke pangkuan ibu pertiwi Agustus 2021 silam, blok Rokan terus menjadi kontributor utama produksi minyak nasional. Meskipun dibayang-bayangi penurunan produksi akibat usia sumur-sumur yang sudah uzur, tapi toh kenyataan yang berbicara. Hanya lapangan Banyu Urip di blok Cepu yang mampu mengimbangi kinerja blok Rokan. Asal tahu saja lapangan Banyu Urip mulai berproduksi tahun 2008 atau 17 tahun lalu, sementara Rokan jauh mundur ke belakang di tahun 1940an.

Saat ini lifting minyak blok Rokan berada dilevel 150 ribuan barel per hari (bph). Angka ini kerap dicibir, karena jauh dibawah apa yang pernah bisa direalisasikan oleh kontraktor sebelum Pertamina. tapi hampir semua ahli minyak di tanah air sepakat bahwa jika bukan karena Pertamina, produksi minyak di Rokan bisa langsung terjun bebas.

Meskipun di usia yang sudah tidak lagi muda, toh blok Rokan tetap jadi andalan untuk bisa memastikan energi terpenuhi. Pemerintah merilis program peningkatan produksi migas dalam negeri, salah satunya adalah implementasi teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). Lalu siapa aktor utama yang diandalkan dibalik pelaksanaan EOR? Tentu jawabannya tidak lain tidak bukan adalah Pertamina bersama dengan blok Rokan.

Asal tahu saja, penerapan teknologi EOR sebenarnya sudah lama dilakukan di Rokan, tepatnya di lapangan Duri. Namun itu masih sebatas steamflood atau dengan menginjeksikan uap panas ke dalam reservoir untuk memicu reaksi pada minyak sehingga bisa terangkat ke permukaan.

Kali ini industri hulu migas Indonesia akan memasuki babak baru dengan diterapkannya chemical EOR di blok Rokan secara komersial. Tidak lagi dalam tahap uji coba atau pilot project.

Lapangan Minas sejak dulu memang selalu menjadi primadona. Tidak hanya kualitas minyak yang dihasilkan (light crude) sehingga harganya tinggi, tapi reservoir-nya juga menyimpan cadangan minyak berlimpah. Sudah lebih dari delapan dekade Lapangan Minas memproduksikan miliaran barel minyak tapi belum ada tanda-tanda benar-benar habis. Bahkan dari hasil kajian salah satu spot terbaik untuk menerapkan chemical EOR ya di Minas ini lah tempatnya.

Lapangan Minas punya cerita layaknya tokoh protagonis dalam novel. Selama 80 tahun sumber minyak yang bersejarah ini terus produktif sebagai jantung operasi yang memompa emas hitam di Indonesia.

Andai saja kesabaran itu benar-benar setipis kertas, mungkin Lapangan Minas tak akan pernah ditemukan. Sejarah temuan cadangan minyak di Minas penuh dengan lika liku. Kalau bukan karena keteguhan dan upaya yang tidak kenal lelah para pemburu minyak dulu, Minas dan blok Rokan tidak menjadi bagian dalam sejarah wilayah Riau yang dikenal sebagai negeri minyak.

Pada tahun 1924 para geolog asal Amerika Serikat mencoba peruntungannya di Hindia Belanda (nama indonesia saat itu). Setelah menempuh 35 hari perjalanan menggunakan kapal dari San Fransisco, tim pertama tiba di Bumi Lancang Kuning. Untuk bisa beroperasi, mereka mendirikan perusahaan bernama NPPM (Netherlandsche Pacific Petroleum Maatschappij) pada 1930.

Sempat dicibir karena setelah 10 tahun tidak mampu menghasilkan minyak, para geolog NPPM tetap teguh pada keyakinannya. Lika liku perjalanan blok Rokan dimulai saat diterbitkannya laporan pada tahun 1930 oleh para geolog Belanda.

Para peneliti kolonial saat itu membuat kebijakan yang juga berisi laporan bertajuk ‘Policy of Prudence’ dimana salah satu informasi pentingnya yakni menyatakan tidak ada sumber minyak di area Sumatera Tengah atau sekarang dikenal dengan wilayah Riau.

Kawasan itu, menurut para Geolog Belanda merupakan lapisan tanah didominasi endapan batuan granit. Dengan kata lain, mustahil mengandung hidrokarbon. Kebijakan itu ditengarai bertujuan melindungi kepentingan Perusahaan Belanda, terutama Royal Dutch Shell sekaligus menghambat masuknya Perusahaan asing lain ke Hindia Belanda.

Para founder Rokan kala itu tidak gentar mereka meyakini ada yang berbeda di Minas apalagi data yang mereka dapatkan juga mendukung keyakinan mereka itu. Akhirnya pada 1938, setelah melakukan pengeboran di sekitar 3.000 sumur, geolog NPPM menemukan cekungan (dome) besar di area Minas.

Hasilnya, titik pertama ditemukan di Sebanga, hulu Sungai Sebanga, di Bengkalis. Temuan rembesan gas di Sebanga adalah pertanda awal adanya kandungan minyak di area itu. Inilah penemuan migas pertama di Riau. Selanjutnya sekitar tujuh bulan berselang, potensi minyak lain juga ditemukan di Lapangan Duri, Bengkalis.

Dari temuan awal itu, pada 1941 dibangunlah anjungan pengeboran di lokasi yang disebut Minas, Siak. Investasi peralatan bernilai jutaan dollar pun kemudian dipasang. Bukan Rokan namanya jika tidak ada jalan berliku tadi. Bayang-bayang semburan emas hitam pertama di Riau harus buyar ketika tentara Jepang secara mendadak mampu mengubah peta kekuasaan dunia kala itu. Jepang memukul telak sekutu pada Perang Dunia II, imbasnya Belanda yang merupakan bagian dari sekutu juga ikut dipukul mundur dari Indonesia. Akibat kedatangan tentara Nippon pengeboran sumur-sumur produksi urung selesai dilakukan.

Kerja keras para geolog penemu minyak Rokan pada akhirya diambil alih tentara Jepang. Mereka bermaksud menjadikan minyak di Rokan sebagai sumber pundi-pundi. Jepang bahkan mendatangkan langsung unit teknis khusus untuk mendulang minyak sebanyak mungkin. Tepat pada 1 Desember 1943 unit itu menemukan sumur minyak Minas #1. Baru kemudian pada tahun 1944 dicatat Sejarah baru, Lapangan Minas resmi ditemukan setelah tantara Jepang mengebor minyak hingga kedalaman 2.107 kaki atau sekitar 700 meter.

Nama Minas sendiri sebenarnya diambil dari nama perkampungan suku Sakai yang berdekatan dengan lokasi ditemukannya Lapangan Minas. Usut punya usut Minas adalah nama pohon Minei yang buahnya dikenal sebagai bahan baku minyak goreng. Setelah ditemukan pada 1941, Minas baru mulai berproduksi pada 1954, dengan area wilayah kerja seluas 67,28 km persegi di Provinsi Riau.

Sejak saat itu, minyak mentah yang keluar dari dalam perut Minas sudah mencapai 2,75 miliar barel. Capaian itu menasbihkan Minas sebagai salah satu ladang minyak paling besar dan produktif sepanjang sejarah Indonesia, meski sumur-sumurnya dikenal tua.

Sebagai sumur minyak tua, Minas telah melewati tantangan zaman dan alam dengan makin turunnya produksi secara alami. Namun PHR mampu menahan laju penurunan di Minas, dari rata-rata 11% per tahun menjadi 6%.

Mulai Injeksi Chemical

Selama lebih dari 80 tahun Rokan tidak henti menjadi penopang pemenuhan kebutuhan energi dan bukan Rokan namanya kalau tidak ada tantangan baru yang harus dilalui. Kali ini blok Rokan menjadi kiblat implementasi Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR) Minas Stage -1. Injeksi kali ini cukup spesial karena jadi injeksi chemical ke reservoir pertama di Indonesia dalam skala komersial.

Sebenarnya tahapan injeksi chemical ini juga punya ceritanya sendiri. Sejak alih kelola Pertamina sebenarnya berniat untuk langsung meneruskan study CEOR yang dulu sempet dijalankan kontraktor terdahulu, Chevron Pacific Indonesia (CPI).

Pada 2012-2013 CPI melaksanakan Pilot Project Chemical-EOR SFT-2 (Surfactant Field Trial) di Lapangan Minas dengan menggunakan komponen kimia diantaranya Surfactant-CS2000B, Surfactant-CS1500, Co-solvent EGBE (Ethylene Glycol Monobutyl Ether), Polymer dan Soda Ash.

Komposisi campuran lima komponen tersebut telah dipatenkan Chevron (Paten427). Chevron menyampaikan bersedia memberikan Royalty-free lisensi untuk penggunaan hak Paten427.

Komponen Surfactant-CS2000B dan Surfactant-CS1500 diproduksi oleh Chevron Oronite. Jika mau memproduksi komponen surfactant system secara mandiri, Pertamina memerlukan formula atau struktur kimia Surfactant CS2000B dan CS1500 serta Intellectual Property yang dimiliki oleh Chevron Oronite. Semua itu yang harus dibeli oleh Pertamina. Pertamina cukup lama bernegosiasi dengan Chevron Oronite sang pemegang lisensi chemical yang dibutuhkan

Proses panjang negosiasi akhirnya berujung tanpa hasil, dan Pertamina memilih untuk tidak melanjutkan rencana penggunaan chemical yang dikembangkan anak usaha Chevron tersebut dan lebih memilih untuk mengembangkan sendiri formula chemical yang bakal digunakan.

PHR menggandeng unit bisnis Pertamina lain yang fokus kembangkan berbagai produk berbahan baku minyak mintah yakni Pertamina Lubricants (PTPL).

Kepastian untuk menjalankan CEOR di Rokan dimulai secara resmi setelah Direktur Utama PHR, Rubi Mulyawan, menyetujui Final Investment Decision (FID) CEOR Minas pada 30 Juni 2024.

Rencananya, injeksi pertama akan dilkakukan pada 2025 Desember mendatang dengan potensi produksi puncak dari CEOR Minas mencapai lebih dari 2.000 barel minyak per hari dengan penambahan perolehan meinyak dari Blok Rokan sebesar 2,1 juta barrel. Salah satu yang teranyar, yakni penerapan Advanced Reservoir Management berbasis Artificial Intelligence (AI) Expert System.

Alhasil, lapangan Minas kini memiliki nilai tambah (value creation) sebesar Rp200 miliar dengan evaluasi yang dilakukan pada 150 sumur lama tanpa mengebor sumur baru. Melalui teknologi VENUS, sebuah aplikasi teknologi lanjutan dari inovasi e-MARS bekerja dengan proses evaluasi sub-surface pertama di Indonesia, bahkan pertama di dunia dengan basis Advance Reservoir Management (RM) dan AI. Kemunculan e-MARS dan VENUS berawal dari gagasan banyaknya sumur idle di blok Rokan dan rendahnya minyak dengan metode lama, utamanya di Minas.

Secara sederhana proyek chemical EOR bisa digambarkan seperti mencuci piring minyak yang masih tersisa dipiring dicuci menggunakan sabun sehingga minyak terpisah. Ini sama seperti minyak yang masih menempel pada batuan. Dipisahkan oleh sabun dalam hal ini surfaktan. Setelah terpisah chemical berikutnya yakni polymer akan mendorong minyak yang sudah terpisah dari batuan ke permukaan dan akan keluar melalui sumur produksi.

PHR melanjutkan apa yang sudah dimulai oleh operator sebelumnya di lapangan Minas. Sehingga hanya tinggal menambahkan beberapa infrastruktur pendukung EOR. Untuk proyek Chemical EOR Minas, PHR membangun fasilitas Water Treating Plant (WTP). Fungsinya untuk memproduksi air yang dibutuhkan sebagai campuran dengan kimia surfaktan.

Setiap harinya di Minas memproduksi 1,2 juta barel air yang mengandung minyak. Kandungan minyak Itu harus dihilangkan. Ketika airnya sudah bersih tanpa minyak diturunkan tempratur air untuk mencegah scale atau kerak – kerak pada pipa.  Begitu air bersih baru dicampur dengan formula surfaktan.

Analoginya sama seperti membuat kopi. Tentu saat membuat  atau menyeduh kopi rasa yang diinginkan berbeda-beda ada yang manis, ada juga pahit. Ada juga yang encer atau kental tinggal disesuaikan saja takaran kopi dan airnya. Itu juga yang terjadi saat mempersiapkan formula bahan kimia sebelum diinjeksikan kepada lapisan batuan. Para engineer PHR akan melakukan berbagai simulasi pencampuran untuk mendapatkan takaran yang pas dan sesuai dengan kebutuhan untuk memisahkan minyak dari batuan dan mengangkat minyak ke permukaan.

Selanutnya adalah fasilitas produksi. Ini juga salah satu infrastruktur krusial. Minyak yang sudah terlepas dari kerak atau pori-pori batuan dan sudah naik ke permukaan selanutnya kembali diolah untuk dipisahkan dengan kandungan air maupun bahan kimia surfaktan dan polymer yang masih menempel dengan minyak.

Kaisar menjelaskan injeksi chemical EOR membutuhkan dua sumur. Pertama adalah sumur injeksi yang diperuntukkan sebagai tempat masuk bahan kimia ke dalam reservoir. Berikutnya adalah sumur produksi. Jadi bahan kimia yang sudah dicampur dengan air diinjeksikan melalui sumur injeksi. Untuk EOR di Minas kedalaman sumur mencapai 200 meter di bawah permukaan tanah.

Cairan kimia yang telah diinjeksikan kemudian membanjiri reservoir di dalam tanah. Untuk tahap pertama injeksi bahan kimia yang dimasukkan adalah surfaktan. Tuugasnya untuk melepaskan unsur-unsur minyak yang menempel ataupun bersembunyi di dalam pori-pori batuan.

Analogi cairan kimia seperti sabun cuci piring. Ketika mencuci piring tanpa sabun pasti masih terasa atau tersisa minyak di piring. Tapi ketika menggunakan sabun, maka minyak-minyak akan terlepas dari piring. Hal itu juga yang terjadi pada chemical EOR. Surfaktan sebagai sabun yang melepas minyak dari batuan.

Dalam proses pelepasan minyak dari batuan membutuhkan waktu cukup panjang. “Berdasarkan kajian, untuk Chemical EOR lamanya proses pelepasan itu enam bulan setelah diinjeksikan,” kata Kaisar.

Tahap kedua adalah dengan menginjeksikan polymer. Cairan kimia ini bertugas untuk mendorong minyak yang sudah terlepas dari pori-pori batuan ke permukaan melalui sumur produksi yang sudah disiapkan.

“Saat surfaktan ada di batuan minyaknya lepas, nanti didorong polymer. Ada yang jalannya cepat atau lambat tergantung pori-pori batuannya. Dalam romgga2 itu minyaknya. Sama seperti sponge, kalau rongga besar minyak terlepas gampang, kalau kecil susah naiknya. Jadi tidak ada parameter spesifik, masing-masing lapangan formula takaran meracik formula EOR berbeda-beda,” jelas Kaisar.

CEOR di lapangan Minas rencananya akan diinjeksikan tepat pada 31 Desember 2025. Hari terakhir tahun ini tapi menjadi babak baru dalam industri migas, tidak hanya bagi Pertamina tapi di Indonesia.

PHR memproyeksi setelah enam bulan sejak injeksi baru akan terlihat hasilnya dengan total tambahan produksi saat kondisi puncak bisa tembus 2.800 BPH.

Untuk kampanye EOR di Minas, ada tiga pattern yang direncanakan oleh PHR. Manajemen PHR optimistis ketiga pattern tersebut bisa memberikan hasil maksimal karena secara total ada 200 pattern yang sudah diirencanakan. “Kami harapkan untuk yang tiga awal ini bisa positif hasilnya sehingga bisa melanjutkan ke pattern-pattern berikutnya, ungkap Kaisar.

Tutuka Ariadji, Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga pernah menjadi Dirjen Migas Kementerian ESDM, menilai PHR sudah cukup siap untuk melakukan injeksi chemical lantaran sudah berlangsung sejak lama yang dimulai dengan eksperimen laboratorium dan proyek pilot oleh CPI.

Menurutnya Surfactant Flooding adalah EOR paling komplek diantara metode EOR lainnya (Larry Lake). Mekanisme yang diharapkan terjadi adalah penurunan tegangan antar muka (interfacial tension, IFT) yang cukup signifikan sehingga minyak yang masih lekat di batuan sebagai sisa minyak tertinggal (residual oil saturation, SOR) dapat tercungkil dan berkurang. “Permasalahan besarnya adalah keekonomian yang disebabkan harga surfaktan yang mahal,” kata Tutuka kepada Dunia Energi, Selasa (29/10).

Untungnya, lanjut Tutuka tantangan tersebut dijawab oleh Tim PHR akhir-akhir ini dengan berhasil mengoptimalkan formula sehingga bisa lebih ekonomis sehingga cukup menjanjikan. “Hal ini memberikan optimisme yang besar ke depan,” ungkap dia.

Selanjutnya yang dibutuhkan kontraktor yang melakukan inisiatif chemical EOR adalah perhatian terhadap keperluan insentif, dan memfasilitasi untuk dapat memproduksi surfaktan yang diperlukan dalam jumlah besar di Indonesia. “Sehingga tercapai keekonomian projek,” tegas Tutuka.

Gayung bersambut, pemerintah juga siap untuk berikan dukungan kepada kontraktor yang siap terapkan CEOR. Termasuk jika harus memberikan bagi hasil atau split tambahan.

Djoko Siswanto, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), menyambut baik injeksi perdana skala komersial yang akan dilakukan di blok Rokan. Ini akan jadi lembaran baru dalam industri migas tanah air.

“Dukungan SKK Migas adalah mendukung pemerintah memberikan insentif, merekomendasikan tambahan persentase split untuk PHR di Rokan dengan catatan kewajiban melaksanakan kegiatan untuk menaikan produksi sesuai SK dari Pak Menteri ESDM,” jelas Djoko.

Keputusan pemerintah yang tidak segan berikan dukungan terhadap CEOR di Rokan tidak lepas dari masuknya EOR sebagai salah satu dari tiga strategi utama meningkatkan produksi migas nasional dalam rangka menuju target swasembada energi.

Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan EOR bakal bersanding bersama kebijakan eksplorasi migas secara masif dengan penawaran atau lelang 75 blok migas hingga tahun 2027, lalu memaksa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang telah memiliki Plan of Development (PoD) untuk segera beroperasi.

“Apa sih strategi sekarang, bagaimana untuk kedaulatan energi ada tiga. Meningkatkan lifting dengan mengoptimalkan sumur tua yang ada dengan teknologi EOR,” kata Bahlil belum lama ini di Jakarta.

Rencana injeksi chemical dalam program EOR di blok Rokan seakan menjadi angin segar ditengah suara-suara sumbang yang sudah memandang sebelah mata potensi migas di tanah air. Memang cocok jika CEOR dilakukan di Rokan, umur yang matang, yang menunjukkan betapa usaha dan kerja keras tidak akan berakhir sia-sia. Dari Rokan kita belajar, untuk terus mengeksplor potensi yang dimiliki. Blok Rokan boleh tua, tapi untuk urusan minyak dia ini tua – tua keladi, makin tua makin jadi. Tidak salah memang jadikan Rokan sebagai jembatan menuju cita-cita swasembada energi.

Sumber Utama Energi di Sumatera Bagian Utara dan Tengah

Jika diibaratkan tubuh manusia, minyak blok Rokan adalah darah, sementara kilang Dumai adalah organ vital yang bertugas mengolah minyak untuk kemudian diserap oleh tubuh. Seluruh minyak dari dalam perut bumi Rokan dikirimkan ke kilang Dumai.

Jhonny Mangaraja Silalahi – Integarated Terminal Manager Dumai, mengungkapkan kilang Dumai memang dedicated untuk memasak minyak dari Rokan. Sejauh ini hanya ada satu jenis minyak lain yang bisa diolah di kuilang Dumai yaitu minyak dari lapangan Banyu Urip, Blok Cepu yang sama-sama berjenis light crude oil.

“Hasilnya berupa BBM 70% hasilnya ke sana. 29% itu produk khusus Bahan Bakar Khusus ada MFO, low sulfur ada gren cooked ini seperti batu bara jadinya diekspor ke China,” kata Jhonny.

Keberadaan kilang Dumai ini tidak main-main karena hampir 18% kebutuhan BBM nasional berasal dari kilang Dumai. BBM dari kilang Dumai dipasok untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah Sumatera bagian utara dan Riau dan Kepulauan Riau serta avtur yang juga dipasok ke bandara Soekarno Hatta.

Kilang yang mulai beroperasi tahun 1971 ini memang didesain khusus untuk menyerap jenis SLC dan Duri Crude dengan kapasitas pengolahan sebesar 120 ribu barel per hari (BPH).