DARI kejauhan anak gajah terlihat sedang melahap tumpukan buah yang disusun rapih diatas tiga tumpuk nampan. Belalainya cepat melilit semangka, pepaya, pisang dan pelapah pohon sawit. Sesekali mulutnya bergerak, mengumul tumpukan gula merah layaknya permen lolipop.

Perlakuan khusus itu bukan tanpa sebab, Togar nama si anak gajah, hari itu ternyata sedang berulang tahun. Tepat tujuh tahun lalu tanggal 16 Oktober ditandai sebagai hari lahir Togar. Bukan karena memang itu hari kelahirannya, tapi tujuh tajun lalu di tanggak 16 Oktober adalah hari dimana Togar diselamatkan di hutan yang sudah beralih fungsi jadi kebun pohon sawit.

Kala itu Togar ditemukan tidak berdaya, umurnya mungkin baru sekitar satu tahun. Satu kaki kanan bagian depan saat itu mengenaskan, hanya tersisa sedikit saja urat yang membuat bagian kakinya tidak terputus.

“Kena jerat, warga bilangnya jerat itu untuk hewan lain. Seperti babi hutan yang merusak kebun. Tapi kita tahu yang sebenarnya. Tinggal sedikit saja tersisa kalau tidak putus itu kakinya,” cerita Sahron Siregar (43) mengenang perjumpaan pertamanya dengan Togar.

Setelah dirawat dan dilatih, Togar kecil kini tumbuh jadi Gajah Sumatera yang lincah, ada sedikit tanda di kakinya, pengingat bagaimana konflik antara manusia dan gajah bisa kejam, bahkan untuk anak gajah yang tidak tahu apa-apa. Semakin masifnya alih fungsi hutan menjadi pemukiman maupun kebun pohon kelapa sawit membuat banyak korban berjatuhan, paling banyak tentu para penghuni asli rimba. Mereka terdesak hingga akhirnya tidak ada pilihan. Apalagi gajah punya naluri alami hanya mengembara mencari makan di jalurnya yang itu – itu saja. Sementara oknum manusia lah yang menyerobot rute mereka.

Sahron mengaku sudah jatuh hati dan memilih untuk mengabdikan sisa hidupnya untuk membersamai, mendampingi gajah-gajah yang punya nasib serupa seperti Togar. Padahal pada 2008 silam dia juga lah yang jadi salah satu korban dari agresifnya gajah liar “Dulu saya pernah lumpuh lima tahun, kepala saya hancur kena tendang kaki gajah,” tutur Sahron.

Togar sedang diberikan makan gula merah oleh pelatihnya Sahron Siregar di PLG Minas (Foto/Dok/Dunia Energi – Rio Indrawan)

Trauma dan takut sempat menghinggapi untuk kembali berurusan dengan gajah tapi hati Sahron selalu luluh, kala ingatannya melayang kembali ke tahun 2004 saat tsunami melanda Aceh. Kala itu, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri  gajah-gajah yang dulunya sempat jadi korban konflik dengan manusia justru membantu tugas manusia.

Saat jadi relawan peristiwa tsunami Aceh, Sahron bertugas membersihkan jalanan dari korban tsunami yang mulai membusuk. Saat pembersihan menggunakan eskafator, jasad para korban ikut hancur, tapi hal itu tidak terjadi ketika tim gajah yang sudah terlatih dikerahkan membantu.

Ajaib memang, saat pembersihan dilakukan tim gajah, jasad para korban terjaga. Utuh, tidak rusak. “Mereka (gajah) bisa memilih, mana yang harus diangkat. Hati saya bergetar, ternyata gajah bisa sangat membantu kita manusia,” kenang Sahron.

Sahron sendiri merupakan salah satu dari 19 mahoot atau pawang gajah yang sekarang bertugas di Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Riau yang saat ini jadi rumah bagi 14 Gajah Sumatera, terdiri dari 10 gajah jantan dan sisanya empat ekor gajah betina.

Sama seperti Togar, gajah-gajah itu diselamatkan dari oknum manusia yang tidak pandang bulu menyingkirkan gangguan. Padahal satu ekor gajah membutuh wilayah sekian hektar sebagai home range atau wilayah mereka mencari makan.

Para mahoot ini bertugas untuk merawat gajah yang jadi korban konflik dengan manusia. Gajah-gajah yang diselamatkan dilatih untuk bisa terus bertahan hidup meskipun sudah tidak lagi memiliki insting alami hidup di alam liar.

Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas punya luas sekitar 450 hektar (ha) berada di wilayah ring 1 kegiatan eksploitasi produksi minyak di blok Rokan memang punya keunikan tersendiri. Gajah di sana sudah sangat akrab dengan fasilitas produksi minyak. Banyak sumur blok Rokan memang berada di wilayah konservasi. Jadi jangan kaget ada gajah yang bermain tidak jauh dari valve maupun ruas pipa minyak. Tapi keamanan fasilitas produksi maupun gajah tetap bisa terjaga dengan baik.

Rinaldo (51), staf Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, mengatakan saat awal-awal PLG Minas dibuka, jumlah gajah yang diselamatkan mencapai 40an ekor. Seiring waktu berjalan gajah yang diselamatkan dan dilatih berkurang itu menunjukkan gajah-gajah korban konflik dengan manusia berkurang. Sosialisasi untuk mengkomunikasikan pentingnya menjaga hubungan baik dengan gajah ke masyarakat pun berjalan baik.

Merawat gajah yang sudah tidak lagi memiliki naluri untuk hidup di alam bukan perkara gampang. Apalagi gajah-gajah itu tidak akan bisa lagi kembali hutan. Mereka akan dikucilkan oleh kawanan gajah liar dan ujungnya justru malah diserang dan bisa mati.

“Togar pernah diserang oleh gajah liar. Mereka (gajah liar) ini punya naluri, dianggapnya bukan kawanan mereka ya diseranglah, ada luka masih membekas di badannya,” ujar Sahron.

Untuk itu harus tetap ada yang menjaga gajah-gajah ini di wilayah konservasi. Kalaupun mereka keluar dari wilayah konservasi tujuannya juga bukan lagi ke alam liar atau hutan lagi. “Dulu ada juga yang diminta Bali Zoo, Taman Safari Bogor,” ungkap Rinaldo.

Selain melatih, tantangan merawat gajah-gajah di PLG adalah memastikan ketersediaan pakan. Pasalnya satu ekor gajah itu membutuhkan 10% dari berat total bobot mereka. Katakanlah bobot Gajah Sumatera dewasa antara 2 ribu – 5 ribu ton. Maka 10% dari berat mereka itu lah kebutuhan makannya. Berarti minimal pakan yang harus disiapkan antara 20-50 kg untuk satu ekor gajah. Setiap harinya PLG Minas harus menyiapkan mininal 1,5 ton pakan untuk 14 ekor gajah.

“Kami sediakan pakan yang kaya serat mengenyangkan, pelepah sawit, buah-buahan serat tinggi. Untuk tambah tenaga, gula merah, kacang hijau,” ujar Rinaldo.

Gajah yang ada di PLG Migas juga mendapatkan GPS Collar atau alat pemantauan yang terpasang di tubuh gajah dan memonitor lokasi pergerakan gajah saat berada di tengah Tahura, yang merupakan habitat gajah liar. Alat ini akan memberi informasi keberadaan gajah, memitigasi apabila gajah mendekati lokasi pemukiman masyarakat.

Sumber : Forum Konservasi Gajah Indonesia

Gajah Sumatera atau Elephas maximus sumatranus merupakan subspesies gajah asia, salah satu dari dua spesies gajah di dunia. Gajah Sumatera banyak ditemukan di hutan dataran rendah Sumatera diantaranya di Provinsi Riau, Sumatera Barat, dan Lampung dimana habitatnya berada di luar kawasan lindung. Meskipun tergolong sebagai jenis gajah yang kecil di dunia jika dibandingkan dengan gajah dari Afrika, Gajah Sumatera tetap jadi salah satu hewan terbesar di daratan Bobotnya bervariasi antara 2,25 hingga 5,5 ton per individu mamalia raksasa ini dapat tumbuh hingga 2 atau 3 meter dari bahu hingga ujung kaki.

Data dari Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia, status Gajah Sumatera telah meningkat dari Genting menjadi Kritis oleh IUCN Red List pada tahun 2012. Hal ini terutama karena Gajah Sumatera mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan, diindikasikan dengan hilangnya lebih dari 69% habitat potensinya hanya dalam satu generasi (25 tahun terakhir). Ancaman terbesar bagi Gajah Sumatera adalah hilangnya habitat, konflik dengan manusia, perburuan ilegal, dan hilangnya kemampuan genetik akibat ukuran populasi yang kecil dan terisolasi.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau hingga akhir tahun 2024 mencatat jumlah Gajah Sumatera di Riau diperkirakan sekitar 216 ekor. Data tersebut didapatkan dari hasil lokakarya yang diikuti para mitra kerja BBKSDA Riau yakni pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), Balai Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Riau, serta Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi dan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (PHL).

Populasi gajah ini terdapat di beberapa kawasan, seperti di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan Giam Siak Kecil. Populasi gajah terbesar saat ini berada di kantong habitat Tesso yang terbagi menjadi dua, yaitu Tesso Tenggara dan Tesso Utara.

Berdasarkan penelusuran Dunia Energi, habitat Gajah Sumatera yang paling terancam adalah di kawasan TNTN di Kabupaten Pelalawan. Hutan di kawasan tersebut telah banyak beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan permukiman warga. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan, dari total luas TNTN yang mencapai 81.739 hektare, sekitar 40.000 hektare telah menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal.

Menurut WWF-Indonesia, Gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70% habitatnya dalam waktu kurang dari tiga dekade akibat perubahan penggunaan lahan untuk konsesi tidak hanya menjadi kelapa sawit tapi juga pulp dan karet.

Ali Imron, Direktur Forest and Wildlife WWF-Indonesia mendorong pelestarian dan restorasi ekosistem dan keanekaragaman hayati Indonesia dengan melibatkan para pihak, baik akademisi, masyarakat umum, maupun perusahaan baik BUMN dan swasta.

Dia menuturkan bagi perusahaan yang memiliki wilayah kerja bersinggungan dengan kawasan pelestarian satwa liar yang berstatus kritis seperti Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, sudah sepatutnya memberikan kepedulian terhadap keseimbangan ekosistem sekitarnya, termasuk satwa endemik dan masyarakat di sekitar area perlindungan.

“Adanya implementasi tujuan pembangunan berkelanjutan, WWF-Indonesia mendorong perusahaan yang memiliki dampak dalam proses bisnisnya terhadap keberlanjutan eksosistem untuk berpartisipasi aktif melestarikan keanekaragaman hayati sekitar. Tentu, upaya perusahaan itu harus melibatkan masyarakat sekitar kawasan,” kata Ali kepada Dunia Energi (26/10).

Lebih lanjut, Ali menyatakan Pertamina Hulu Rokan, sebagai unit usaha BUMN, yang memiliki dampak usaha terhadap lingkungan sekitar berkewajiban untuk berpartisipasi aktif dalam penyelamatan gajah sumatra, sekaligus mengimplementasikan tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut.

WWF-Indonesia kata dia memandang penting keterlibatan perusahaan dalam mengembangkan upaya konservasi satwa liar, seperti PLG Minas, yang dikelola oleh BBKSDA Riau. Perusahaan dengan proses bisnis yang berdampak langsung terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati sekitar harus mendukung pengembangan PLG Minas.

Salah satu wilayah konservasi gajah di PLG Minas sangat dekat dengan jalan tol trans sumatera (Foto/Dok/Dunia Energi – Rio Indrawan)

Agar bisa berlanjut dan punya dampak lebih masif, peran PLG Minas harus diperluas ke bidang edukasi publik, inovasi terapan, dan dukungan langsung terhadap mitigasi konflik di lapangan. Namun, juga harus diperhatikan konservasi pada di tingkat lanskap jadi meminimalisasi korban di kedua pihak, baik gajah maupun manusia jika terjadi konflik.

Manusia yang hidup di dekat kawasan konservasi harus dapat berbagi ruang hidup dengan gajah. Keberlanjutan populasi Gajah Sumatra dalam jangka panjang tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak individu gajah yang dapat diselamatkan, melainkan oleh seberapa luas habitat yang dapat dilindungi dan dipulihkan.

“Manusia yang hidup di dekat kawasan konservasi harus dapat berbagi ruang hidup dengan gajah,” ungkap Ali.

Keberlanjutan program bergantung pada kemampuan kolektif para pemangku kepentingan untuk mereplikasi, meningkatkan skala, dan mengintegrasikan model kemitraan ini ke dalam strategi perlindungan lanskap yang lebih luas.

Hal itu menuntut sebuah aksi kolaboratif yang terpadu. Pemerintah bertugas menyediakan kerangka kebijakan tata ruang yang jelas dan penegakan hukum yang tanpa kompromi. Kemudian sektor industri harus membawa investasi strategis, inovasi teknologi, dan komitmen terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan. Serta masyarakat lokal harus terus didukung dan diberdayakan untuk menjadi garda terdepan dan penerima manfaat utama dari upaya konservasi.

“Hanya melalui sinergi inilah kita dapat bergerak menuju visi akhir sebuah masa depan di mana Gajah Sumatra dapat berkembang biak dengan aman di habitat alaminya, bukan hanya bertahan hidup di dalam batas-batas pusat pelatihan,” jelas Ali.

WWF kata Ali memandang kemitraan dengan sektor industri sebagai salah satu pilar strategis untuk mencapai misi konservasi dan juga mendukung kerja-kerja BBKSDA di Riau. Namun, tidak semua kemitraan diciptakan sama. “Keterlibatan Pertamina dalam program konservasi gajah di Riau dapat menjadi inspirasi bagi industri lainnya yang berada berdekatan dengan kawasan konservasi,” tegas Ali.

Sementara itu, Prof Wisnu Nurcahyo, peneliti gajah yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), mengapresiasi masih aktifnya PLG Minas sebagai salah satu garda terdepan dalam memastikan keberlangsungan populasi gajah ditengah gempuran tindakan alih fungsi hutan yang jadi habitat asli gajah.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan PLG kata dia untuk memastikan keberlanjutan konservasi yang utama adalah menjaga ketersediaan pakan secara rutin untuk gajah agar terpenuhi gizinya. “Jangan lupa juga selalu melakukan pengecekan secara berkala kesehatan gajah terutama anak gajah agar tidak terserang virus EEHV,” kata Wisnu saat dihubungi Dunia Energi, Senin (27/10).

Selain itu, pengelola PLG juga harus bisa menjaga gajah-gajah untuk tidak terlalu sering terjadi kontak langsung antara pengunjung dengan gajah. Kemudian peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini para pelatih gaja juga harus terus dilakukan. “⁠Memberi pelatihan kepada para perawat gajah dan dokter hewan agar selalu update ilmunya serta menjamin keberlanjutan program konservasi gajah dalam hal ini bisa melalui dana CSR,” ungkap Wisnu.

Donny Gunaryadi, Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), menilai peran perusahaan yang ingin membantu konservasi gajah bisa ditingkatkan dengan ikut terlibat dalam memitigasi konflik yang selama ini jadi musuh terbesar gajah. “Mitigasi konflik hasilnya lebih kelihatan. Karena lebih terlihat, deteksi dini impact-nya apakah ada konflik di lokasi di sekitar bloknya Pertamina,” ujar Donny saat dihubungi Dunia Energi, Senin (27/10).

Selain itu, khusus untuk di PLG Minas menurut Donny sempat ada kajian yang menunjukkan kondisi air di wilayah Minas yang tidak ideal untuk dikonsumsi gajah. “Yang utama adalah kualitas air. Jadi antara siapkan sumur artesis kolam pemandian dan kolam minum. Jadi  nggak lagi di air sembarangan tapi dipompa dari artesis diminum gajah tidak bercampur dia buat mandi. Ada beberapa kajian unsur kimia air waktu itu kadar mineral yang ada di dalam air wilayah Minas lumayan tinggi itu harus dicek lagi,” jelas Donny.

Pertamina Hulu Rokan (PHR) memastikan keberlanjutan kegiatan di PLG Minas yang berada di ring 1 wilayah kerja Rokan. Setiap tahun program yang membantu konservasi menjadi prioritas serta ditingkatkan kualitasnya.

Lidia Sari, Officer CID Zona Rokan, menuturkan sejak alih kelola blok Rokan dari operator sebelumnya manajemen tidak mau menunggu lama dan langsung bergerak agar masalah administrasi tidak menganggu kegiatan konservasi. Hal itu ditandai dengan pembaharuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan BBKSDA Riau. Program kerja tahunan langsung dikejar untuk disepakati bersama.

“Rencana Kerja Tahunan disepakati semua pihak. Ada penambahan program seperti ruang monitoring satwa, bantuan mobil operasional,” ungkap Lidia.

Pakan memang jadi bantuan utama yang harus diberikan secara berkelanjutan. “Pemeriksaan kesehatan per 3 bulan dan Nutrisi makanan lebih lengkap tahun ini. Berat badan ideal juga ada,” tambah Lidia.

Sebagai penghuni asli rimba sumatera, gajah punya hak untuk tetap hidup di habitatnya. Terkadang kita manusia merasa sebagai pemilik segala hal melupakan itu. Gajah tidak bisa memilih. Dia Cuma punya satu keyakinan, untuk ikut nalurinya berada di jalur yang sama sejak dia dilahirkan. Manusia -lah yang membangun “dinding” di jalur tersebut. Gajah vs Manusia jelas bisa dihindari. Kita harus terus belajar, berbagi ruang untuk berdampingan bersama si raksasa rimba sumatera.