Genap satu tahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan sejak dilantik pada 20 Oktober 2024, tak bisa dipungkiri banyak target yang dicanangkan, salah satunya mewujudkan kemandirian energi. Komitmen yang sebelumnya kembali ditegaskan Presiden Prabowo saat berpidato pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80 di New York, Amerika Serikat, September lalu.
Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, hingga kini Indonesia masih bergantung pada impor energi. Minyak mentah, bahan bakar minyak dan LPG tiap tahun harus diimpor dari berbagai negara. Bukannya tidak punya sumber daya di dalam negeri, dan tidak diproduksi, namun pasokan yang tersedia di dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan di saat kebutuhan BBM yang terus meningkat, produksi minyak mentah nasional untuk diolah di kilang, terus menurun.
Impor energi yang besar tentu membebani keuangan negara. Apalagi energi yang diimpor sebagian juga merupakan produk subsidi. Akibatnya, beban subsidi juga makin tinggi.
Sektor minyak dan gas menjadi yang paling banyak disorot. Apalagi sektor ini paling banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat, seperti bahan bakar minyak dan juga elpji atau LPG. Di awal tahun, kebijakan larangan penjualan LPG 3 kg oleh pengecer, sontak memicu kehebohan di tengah masyarakat. Produk LPG yang mendapat subsidi dari pemerintah itu menjadi sulit didapat masyarakat karena hanya dijual di agen-agen resmi. Hingga akhirnya Presiden mencabut kebijakan yang dikeluarkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia itu.
Kebijakan lain yang juga jadi sorotan adalah pembatasan impor BBM yang telah membuat SPBU-SPBU yang dikelola badan usaha swasta tidak lagi memiliki stok BBM untuk didistribusikan atau dijual ke masyarakat. Kekosongan stok BBM yang dimiliki badan usaha swasta ini memang bukan semata karena kebijakan pembatasan impor, namun juga ada faktor lain, yakni peralihan konsumen BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi, terutama produk-produk yang dijual di SPBU yang dikelola badan usaha swasta. Akibatnya, 110% kuota impor BBM badan usaha swasta pada 2025 telah ludes hanya dalam kurung waktu sembilan bulan. Otomatis, sejak akhir Agustus, SPBU-SPBU badan usaha swasta sudah tidak lagi memiliki stok BBM jenis gasoline.
Upaya untuk mengadakan stok BBM oleh badan usaha swasta terbentur kebijakan pemerintah yang meminta untuk membeli base fuel dari Pertamina. Banyak faktor yang membuat proses ini hingga kini tak kunjung terealisasi, mulai dari masalah harga, spesifikasi produk, hingga faktor brand image.
Namun di luar masalah BBM nonsubsidi yang didistribusikan badan usaha swasta, sebenarnya ada langkah maju yang dicapai pemerintah melalui Pertamina menyangkut pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jenis Pertalite. Setelah melakukan ujicoba pada 2024, kebijakan pembatasan penjualan Pertalite dengan mekanisme penggunaan QR code efektif berlaku pada tahun ini dan telah memicu peralihan konsumsi dari Pertalite yang mendapat subsidi pemerintah ke BBM nonsubsidi, baik yang dijual Pertamina maupun badan usaha swasta.
Data Kementerian ESDM mencatat total BBM nonsubsidi sepanjang 2024 mencapai 6,86 juta Kilo Liter, 6,13 juta KL di antaranya produk Pertamina dan 725.536 KL atau hanya 11% berasal dari BBM badan usaha swasta. Namun, pada tahun ini, hingga Juli 2025 konsumsi BBM nonsubsidi yang mencapai 4,75 juta KL atau sekitar 70% dari total konsumsi BBM nonsubsidi tahun lalu. Pertamina tercatat menguasai 4,03 juta KL dan badan usaha swasta mencapai 715.827 KL atau 15%. Peningkatan pangsa pasar BBM badan usaha swasta, selain ada peralihan dari konsumen Pertalite, juga imbas dari isu oplosan atau blending BBM jenis Pertamax yang dijual Pertamina seiring dengan pengungkapan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang menyeret jajaran direksi perusahaan-perusahaan Grup Pertamina.
Data Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM juga mencatat hingga Juli 2025, penjualan harian Pertalite turun sekitar 5,1 %, dari 81 ribu kiloliter per hari pada 2024 menjadi 76 ribu kiloliter per hari. Penurunan konsumsi Pertalite tentu ikut menurunkan beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah, meskipun penurunannya belum signifikan.
Saat ini kebutuhan BBM dalam negeri, selain berasal dari kilang Pertamina, sebagian berasal dari impor. Peningkatan konsumsi BBM yang tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas kilang membuat ketergantungan terhadap BBM impor makin besar. Apalagi produksi minyak nasional juga terus menurun sehingga sebagian minyak mentah untuk diolah oleh kilang Pertamina juga berasal dari impor.
Jika tidak mau impor, Indonesia paling tidak harus memiliki kilang minyak dengan kapasitas sekitar dua juta bph atau butuh tambahan kapasitas 852 ribu bph dari kapasitas kilang minyak saat ini sekitar 1.148 ribu bph. Sayangnya, tidak ada pembangunan kilang baru untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional. Ini pula yang kemudian disuarakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat rapat dengan DPR yang mengkritik Pertamina karena dinilai enggan membangun kilang baru.
Faktanya memang tidak ada kilang baru yang dibangun, meski bukan tidak ada upaya untuk meningkatkan kapasitas dari kilang-kilang yang ada. Potensi tambahan kapasitas saat ini misalnya, berasal dari proyek Refinery Development Master Plan atau pengembangan kilang-kilang eksisting yang dilakukan Pertamina. Namun tambahan kapasitas produksi dari proyek RDMP tidak besar. Selain itu, ada proyek kilang baru atau Grass Root Refinery, namun hingga kini belum ada perkembangan yang berarti.
Di luar itu, Pemerintahan Prabowo juga tengah menggencarkan upaya pengembangan pencampuran bahan bakar nabati dengan BBM melalui pengembangan biodiesel untuk dicampur dengan solar melalui kebijjakan B40. Kebijakan tersebut bahkan rencananya akan ditingkatkan menjadi B50, sehingga tidak perlu lagi impor BBM, khususnya untuk jenis solar. Sementara untuk bensin, pemerintah menargetkan untuk mengimplementasikan kebijakan E10 atau mencampur bensin dengan bioethanol.
Upaya-upaya untuk mewujudkan kemandirian energi memang telah dilakukan. Namun, jalannya masih panjang, dan butuh komitmen besar untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi, seperti untuk membangun kilang, menerapkan kebijakan biofuel hingga mencari produk substitusi LPG, seperti melalui pengembangan Dimentil Eter atau DME, atau menggencarkan pembangunan jaringan gas rumah tangga. Tentu semua butuh proses dan masih ada waktu untuk mewujudkannya, khususnya di periode pemerintahan Presiden Prabowo hingga 2029.(*)




Komentar Terbaru