“Kondowo nulunfe barakamafe..

Mafe lebelo kalilebelo hoo..ooo..”

Nyayian suku Moi Kelim memecah kesunyian siang. Suasana makin magis terasa tatkala awan hitam juga mulai menyergap sebuah lembah kecil di belantara Papua. Meski terdengar lirih tapi arti nyanyian itu justru penuh dengan doa. Ada harapan begitu besar siapapun yang mendengarnya akan merasakan sambutan yang hangat, kegembiraan yang coba diberikan keluarga suku Moi Kelim.

Pace-pace, mama-mama dan anak-anak suku Moi Kelim membawakan tari Alen. Tarian penyambutan khas Suku Moi. Gerakan dan hentakannya sederhana. Kami digandeng sambil menari dan mulai melangkah masuk ke wilayah kampung Malasigi. Lengkingan suara dengan bahasa Suku Moi dan senyum sudah cukup membuat hati ini bergetar. Doa terbaik dari hati manusia memang tidak pernah gagal.

Kami diajak memasuki kampung adat Malasigi di distrik Klayili yang dihuni hanya 15 keluarga dari suku Moi Kelim yang merupakan satu dari tujuh sub suku Moi di Kabupaten Sorong. Kampung Malasigi ini sudah tidak lagi menutup diri, sudah lebih dari lima tahun kampung berevolusi menjadi kampung adat dan salah satu destinasi wisata minat khusus.

Siang itu, Pace Hengki atau akrab disapa Pade bersama yang lain sudah berbaris rapih di depan kampung. Baju Suku Moi tampak sederhana. Pade mengenakan kain merah sebagai bawahan dan tanpa atasan. Meski tidak terlalu tinggi, tapi Pade punya badan yang kekar, kesan bahwa Pade seorang pekerja keras sangat terasa. Tidak terlihat kalau umurnya sudah kepala lima. Para lelaki dewasa hanya berkalung manik-manik dan kain khas Papua. Ada satu pembeda yakni di kepala mereka bertengger mahkota berbentuk seperti burung. Sementara para mama dan anak-anak perempuan sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya mengenakan kain berwarna coklat gelap seperti tanah yang menutupi seluruh badan serta dengan manik-manik yang terbuat dari berbagai batuan alam.

“Ini namanya tari Alen, tarian selamat datang dari suku Moi. Kami menyambut tamu-tamu yang datang,” kata Pade Hengki sambil tersenyum ramah saat Dunia Energi dan Rombongan Pertamina EP Field Papua kunjungi Kampung Adat Malasigi, Selasa (7/10).

Orang-orang suku Moi Kelim di Malasigi sangat terasa sudah punya pengalaman dalam menyambut tamu. Usut punya usut tercatat turis asing dari 43 negara sudah pernah merasakan hidup layaknya orang Moi di sini. Meski begitu, tidak ada kesan keramahan mereka dibuat-buat, memang sudah jadi pembawaan mungkin sikap ramah ini.

Untuk memberikan sensasi hidup sebagai masyarakat adat, warga kampung Malasigi menyulap rumah mereka layaknya homestay. Jadi siapa saja yang datang ke Malasigi akan hidup di dalam satu atap hanya berbeda kamar. Untuk makan, disediakan di rumah khusus jadi semua membaur tamu dan masyarakat kampung.

Rumah Moi berbentuk rumah panggung dengan luas antara 50-70an meter persegi. Untuk menunjang kebutuhan tamu beberapa rumah panggung sudah ada sedikit perubahan dengan penambahan kamar mandi dan toilet. Disediakan juga kamar mandi yang terpisah dari bangunan homestay.

Untuk bisa menampung lebih banyak tamu dengan tetap tidak meninggalkan sensasi hidup di alam, disediakan 10 tenda berkonsep glamping di lapangan utama kampung Malasigi. Setiap tenda bisa menampung 2-3 orang.

Kampung Malasigi berada di tengah rimbunan hutan Papua. Menuju ke bukan perkara mudah meskipun hanya berjarak sekitar 55 kilometer (km) dari Bandar Udara Internasional Domine Eduard Osok. Butuh waktu sekitar 2 jam menggunakan mobil 4 WD atau double gardan. Setengah dari perjalanan itu diperuntukan untuk melahap jalanan tanah dengan kondisi hancur penuh lubang menganga yang membelah hutan dan perbukitan Papua.

Selain menawarkan hidup selayaknya masyarakat adat yang menjadikan alam sebagai poros kehidupan, di Malasigi juga bisa merasakan sensasi yang teramat sulit bisa disaingi dengan pengalaman lain, yaitu bersua langsung dengan Burung “Surga” dari Timur alias Burung Cendrawasih di habitat aslinya, di hutan Papua.

Sudah hampir lebih dari lima tahun warga kampung Malasigi memilih membuka diri. Mereka sadar akan adanya potensi alam tanpa harus merusak untuk bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Pertama adalah adanya mata air panas persis di belakang perkampungan Malasigi. Dulu masyarakat luar kampung berlalu-lalang mandi di mata air panas itu. Selanjutnya adalah keberadaan burung Cendrawasih di hutan sekitar kampung Malasigi. Para tamu Malasigi bakal disuguhi pemandagan dari “Surga” ketika burung-burung cantik Cendrawasih bermain, mencari makan dan menari -nari memikat hati pasangannya. Tak ayal warga Malasigi biasa menyebut sesi memantau burung Cendrawasih dengan “Menonton show”. Karena aksi natural para burung layaknya seorang penghibur ulung.

Bersua dengan Burung Surga Dari Timur

Pukul 3 dinihari persiapan “menonton show” Cendrawasih dimulai. Ini penting karena ada jam-jam khusus kita bisa melihat langsung penampilan para penghuni surga dari timur itu di titik-titik pos pemantauan yang sudah disiapkan. Ada lima jenis Cendrawasih yang hidup di hutan sekitar Malasigi yakni Cendrawasih 12 kawat yang memiliki 12 buntut seperti kawat. Kemudian ada Cendrawasih Toa Cemerlang atau Magnificent Riflebird punya warna biru cemerlang dibagian dadanya. Lalu ada Magnificent atau Cendrawasih Bale Rotan dengan ciri punya sepasang bulu ekor cantik yang melingkar. Selanjutnya ada Cendrawasih Lesser dengan bulu kuning emas menjuntai dan terakhir ada Cendrawasih King atau Merah Putih dengan bulu warna merah cerah dan bagian putih di bagian dada.

Burung cendrawasih sering dijuluki sebagai burung surga karena keindahan bulu dan keunikan perilakunya. Burung cendrawasih dikenal karena bulu yang berwarna cerah dan indah, seperti kuning keemasan, hijau zamrud, biru metalik, hingga merah marun. Burung ini menjadi kebanggaan Tanah Papua dan termasuk salah satu satwa paling menakjubkan di dunia.

Kata “cendrawasih” berasal dari bahasa Sanskerta chandra (bulan) dan wasih (dewi), yang berarti “dewi dari bulan.” Pada masa kolonial, bulu cendrawasih sangat diminati di Eropa untuk hiasan topi wanita. Orang Eropa dulu sempat mengira burung ini tidak memiliki kaki dan tidak pernah turun ke tanah, karena spesimen yang dibawa ke Eropa sudah diawetkan tanpa kaki.

Bagi masyarakat Papua, burung cendrawasih memiliki makna spiritual dan simbolik yang dalam. Dalam beberapa suku, burung ini dianggap sebagai utusan dari dunia roh dan menjadi bagian penting dalam tarian serta upacara adat.

Cendrawasih 12 Kawat (Foto/Dok/Dunia Energi)

Ukuran cendrawasih bervariasi, dari yang kecil sekitar 15 cm hingga yang besar mencapai lebih dari 1 meter termasuk bulu ekornya. Cendrawasih jantan terkenal karena tarian kawin yang indah dan rumit. Mereka akan mengembangkan bulu, menari di atas dahan, dan mengeluarkan suara khas untuk menarik betina.

Sebagian besar spesies bersifat poligami, artinya satu jantan dapat menarik beberapa betina. Betina kemudian akan membuat sarang, bertelur 1–2 butir, dan merawat anaknya sendirian. Cendrawasih termasuk burung pemakan buah (frugivora). Mereka menyukai buah ara dan berbagai jenis beri. Selain itu, mereka juga memakan serangga kecil seperti belalang dan laba-laba untuk memenuhi kebutuhan protein.

Dibawah penerangan bulan yang muncul malu-malu dari balik awan, Kami mulai berpetualang ditemani pemandu warga Malasigi menyusuri lebatnya hutan hujan tropis Papua demi mencoba keberuntungan bersua dengan burung “Surga”.

Josua Fami. Dia adalah lead guide pada hari itu. Berambut ikal cepak, dengan muka sedikit kotak dan bermata putih cerah. Sekilas perawakannya galak karena berewok yang menghiasi wajahnya. Tapi saat berbicara seketika kesan itu hilang karena suaranya begitu lembut dan ramah. Tidak ketinggalan senyum selalu mengiringi saat Kaka Jos berbicara. Selain tinggi, besarnya perut bukan jadi penghalang bagi Kaka Jos bergerak lincah di dalam rimba. Di tengah gulita malam dia cekatan mengenali jalur. Kaka Jos ditemani tim guide berjumlah tiga orang. “Kalau untuk tim tergantung dari jumlah tamu,” kata Jos dengan napas memburu saat berjalan menyusuri hutan.

Diawal jalan setapak masih terlihat jelas tanda bahwa ini memang sering dilalui manusia. Tapi baru beberapa menit, rimba Papua mulai menunjukkan jatidirinya. Vegetasi hutan semakin rapat.

Udara pagi itu lembab, tanahnya basah, apalagi sejak pagi hingga malam hari sebelumnya hujan turun seakan lupa untuk berhenti. Kami ditemani pohon-pohon tinggi menjulang. Akarnya menyebar mengikat bumi yang kami pijak. Dalam beberapa kesempatan saya berani bertaruh bahwa kami sebenarnya berjalan bukan di atas tanah tapi akar yang menjalar dan saling menumpuk. Dini hari itu, di belantara Papua kami tidak sendiri. Suara berisik makhluk-makhluk hutan di malam hari tidak hentinya bersuara menemani derap langkah kaki yang semakin bersemangat menuju tontonan yang dipersembahkan burung Surga.

Hutan Papua akhirnya menjawab kecemasan dan pertanyaan kami. Tepat sekitar pukul 5.45 pagi. Kami tiba di pos pantau setinggi lebih dari 10 meter.

“Ssstt… sudah ada, lagi main,” kata kaka Jos dengan suara setengah berbisik sambil memberikan kode agar rombongan segera berhenti dan berjalan perlahan. Cendrawasih memang sensitif dengan suara, wangi-wangian. Kalau bisa kehadiran kami jangan sampai disadari oleh mereka.

Setelah menaiki rumah pos pemantauan, seketila bulu kuduk berdiri, jantung pun mulau berdegup cepat. Di kejauhan bisa terlihat jelas Cendrawasih 12 Kawat tengah berdiri angkuh sekaligus anggun di atas batang pohon tanpa daun yang tinggi menjulang. Sedang memanggil betina, bernyanyi dan berjingkrakan. Suarannya nyaring, memecah kesunyian belantara Papua. Buntut yang berjumlah 12 seperti kawat memang terlihat samar tapi tetap memberikan kesan keanggunan burung itu. Warna badannya kuning keemasan kontras dengan warna langit subuh. Kabut tipis yang sesekali datang makin menambah magis suasana. Cantik sekali.

Puas menonton aksi 12 Kawat, kami bergeser ke titik pemantauan lain. Kali ini giliran Lesser yang unjuk gigi. Jika 12 Kawat lebih menyendiri maka Lesser ini suka bermain dengan kawanannya. Bulu kuning keemasan dan coklat kontras dengan warna hijau daum di pepohonan menjadikannya semakin terlihat menawan. Lasser gemar bernyanyi. Saling bersahutan dengan kawanannya dan hinggap dari pohon satu ke pohon lain. Kelucuan yang sulit digambarkan dengan kata-kata.

Jika dua pos sebelumnya berada di ketinggian lebih dari 10 meter maka pemantauan terakhir dilakukan di atas tanah. Bela Rotan ini salah satu jenis Cendrawasih yang sering melakukan aktivitas di atas tanah. Tapi yang namanya “Burung Surga” keangkuhannya tetap ada. Mereka tidak akan turun jika tanahnya basah, harus kering dan bersih. Yang jadi pembeda, Bela Rotan masih bisa dipancing untuk dilihat, tinggal sebar saja dedaunan di atas tanah yang biasa menjadi arena mereka bermain dan ditambah stimulus suara tiruan Cendrawasih maka dengan sendirinya Bela Rotan akan turun membersihkan area tersebut. Biasanya para pejantan akan menari dan bernyanyi untuk memikat para betina.

Benar saja, belum lama disebar daun-daunan di arena bermain Bela Rotan turun. Sayangnya kondisi tanah basah karena hujan membuat Bela Rotan tidak mau berlama-lama di atas tanah. Meski begitu, suara nyanyian dan keindahan bulunya tetap terekam apik.

 

Memilih Menjaga Hutan

Edison Fami, salah satu tim guide Malasigi  kali ini memimpin jalan kembali ke kampung. Dia berbadan lebih kecil dari Kaka Jos. Kaka Edi panggilan akrabnya tentu jauh lebih lincah dari Jos. Kaki-kakinya seakan dari besi yang punya perekat khusus. Tanpa alas sepatu atau sandal, jemari kakinya solid mencengkram tanah akar yang licin berjalan tanpa ragu.

Edison Fami, Warga Malasigi, Koordinator Pemelihara PLTS dan Pompa Air di Malasigi. (Foto/Dok/Dunia Energi / Rio Indrawan)

Disela perjalanan, Kaka Edi menceritakan kehidupan saling membutuhkan antara Malasigi dan Cendrawasih.  Dia selalu bersemangat saat ditanya tentang apa saja yang sudah diberikan Cendrawasih kepada warga Malasigi. Matanya berbinar saat mengisahkan mimpi orang-orang suku Moi Kelim di Kampung Malasigi untuk mandiri dan meningkatkan kesejahteraan dimulai.

Perkenalan dengan istilah wisata minat khusus muncul tahun 2021. Warga Malasigi menyadari bahwa di kampung lain yakni Malagufuk, skema wisata seperti ini sudah berjalan. Dia menuturkan bahwa hubungan baik antara alam dan manusia berujung pada keberkahan yang juga didapatka alam dan manusia. Ini bisa dilihat look oh î no pho? It  dari apa yang sudah terjalin antara Suku Moi Kelim di Malasigi dengan hutan dan penghuninya.

Cendrawasih selalu ada di sendi kehidupan Papua, termasuk suku Moi Kelim. Menurut Edi, sejak kecil dia sudah sering melihat Cendrawasih di dalam hutan tapi baru sekarang dia paham bahwa keberadaan mereka bisa berikan berkah yang sangat besar. Tapi untuk dapatkan berkah itu tidak bisa sendiri butuh orang lain butuh orang luar masyarakat adat. Dari situ pemahaman untuk membuka diri mulai berkembang. Sejak saat itu juga setiap tamu yang datang dianggap sebagai keluarga dan bisa berikan perubahan positif bagi warga kampung.  “Dulu lihat burung saja tidak tahu nama padahal bisa datangkan rejeki. Kita kalau mau hanya duduk  saja sampai kapan, kita butuh orang lain juga . Kami di kampung Malasigi anggap keluarga siapa yang mau datang kami sadar ada kekurangan. Ada mereka (tamu) juga bisa ada perubahan bagus,” cerita Edi kepada Dunia Energi saat ikut memantau burung Cendrawasih.

Kaka Edi adalah anak kepala adat. Status itu seakan membuatnya punya tanggung jawab besar untuk turut menjaga potensi kampung tanpa harus meninggalkan pesan para leluhur. “Orang tua bilang tidak boleh ditangkap Cendrawasih kalau mau tangkap Rusa, Babi buat makan itu jelas ada kegunaannya,” kata Edi.

Begitu juga dengan hutan yang harus dijaga. Di sekitar Malasigi tindakan penebangan liar (Illegal Logging) kerap terjadi. Pembalakan liar terhadap kayu merbau (Intsia bijuga) di hutan Klayili terbilang masif. Oknum warga menjual kayu yang memiliki derajat premium di pasar internasional ini dengan bandrol antara Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu / m3 kepada cukong lokal. Saat perjalanan menuju Malasigi juga bisa terlihat bekas-bekas penebangan liar yang meninggalkan luka mendalam dan sulit untuk pulih dalam waktu singkat.

Suku Moi Kelim sangat tegas menolak adanya perubahan kawasan hutan yang selama ini jadi tempat mereka hidup. Hutan adalah ibu bukan sekedar filosofi, tapi jadi jalan hidup mereka. Sederhana, tapi dari berbagai sudut nilai kehidupan seperti itu adalah nilai yang paling masuk akal.

“Kalau burung ada tamu datang foto, uang datang lagi, berlanjut nanti tamu lain datang lagi terus saja berputar. Tapi kalau tebang pohon-pohon sekali saja. Memang uang datang. Tapi tidak ada lagi nanti untuk anak cucu,” ungkap Edi saat ditanya kenapa memilih menjaga hutan dan kembangkan wisata minat khusus Cendrawasih ketimbang tebang pohon untuk dijual kayunya.

Cendrawasih, pemandian air panas serta kampung adat Malasigi jadi modal penting warga untuk mendaftarkan Malasigi sebagai desa atau kampung secara resmi ke pemerintah. Niatan ini bukan tanpa tujuan dan bukan juga semata-mata untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah. Lebih dari itu ada tujuan mulia yang coba dikejar warga karena selama ini tekanan yang mengancam keberadaan hutan mereka semakin besar dan masif.

Menase Fami, Kepala kampung yang juga kepala lembaga pengelola hutan kampung, menceritakan di wilayah lain hutan-hutan telah berubah menjadi kebun-kebun atau berubah fungsi.  Jika tidak ada gebrakan dari warga, maka tekanan – tekanan tersebut akhirnya bakal menembus benteng yang coba dibangun untuk memastikan kelestarian hutan tetap terjaga.

Manase memastikan bahwa warga sudah sepakat jika sudah menjadi desa nantinya akan ada kucuran dana desa yang bakal diperuntukkan untuk membangun, mengembangkan fasilitas dan penunjang pariwisata yang sudah ada.

“Bangun perumahan (homestay), fasilitas umum penunjang wisata, jadi uang akan kembali ke masyarakat. Supaya uang kembali ke masyarakat,” kata Manase.

Warga kampung Malasigi sadar, untuk bisa diakui secara resmi oleh pemerintah sebagai kampung atau desa mandiri mereka tidak bisa sendiri. Untuk itu berbagai bantuan ataupun kolaborasi diterima dengan tangan terbuka. Pucuk dicinta ulampun tiba.

Hasrat untuk maju itu terendus Subholding Upstream Pertamina, melalui Pertamina EP Zona 14. Memang ini bukan pihak luar yang pertama kali berkolaborasi dengan warga Malasigi, tapi ada berbagai poin kolaborasi bersama Pertamina EP yang krusial sehingga memungkinkan kampung Malasigi bertransformasi menjadi desa mandiri berbasis energi bersih yang kini jadi standar dalam menyongsong kehidupan selaras dengan kehidupan modern tanpa melupakan lingkungan.

Edison Fami menceritakan Pertamina EP datang tidak ujuk-ujuk membawa uang untuk dihamburkan berkedok bantuan. Tapi justru berdialog dengan warga, membahas bersama apa akar masalah yang menghambat perkembangan kampung Malasigi.

Akhirnya ditemukan ada dua perkara fundamental yang belum tersentuh. Yakni penerangan dan juga ketersediaan air bersih. Selama ini penerangan di kampung Malasigi mengandalkan mesin genset, begitu pun air dengan kondisi mutu air seadanya tetap harus dipastikan ketersediaannya dengan mengandalkan mesin diesel bertenaga BBM atau solar. Penggunaan BBM ini jadi masalah tersendiri karena biayanya begitu besar.

“Kami gunakan diesel solar dalam satu hari bisa lima liter itu khusus untuk mesin air. Ditambah dengan penerangan 1 hari butuh 20 liter bensin solar,” cerita Edi.

Satu per satu masalah tersebut terselesaikan. Solusi yang diambil juga bukan jalan instan tapi bisa untuk mendukung terwujudnya niatan warga maupun perusahaan yang ingin hidup selaras dengan alam.

Sekali mendayung dua tiga pulau terlewati. Itu juga yang dipilih Pertamina untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan listrik dan air di Malasigi. Untuk listrik guna memenuhi penerangan serta tenaga menggerakkan pompa air, Pertamina memilih untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 8,7 Kilowatt Peak (kWp) serta dilengkapi dengan kapasitas baterai 10 kWh. Selain itu Pertamina juga mereplikasi inovasi penggunaan pelapah batang pisang dalam penyaluran air bersih dari Desa Klayas di distrik Seget, Sorong. Hasilnya tidak main-main, karena kini menurut Edi sejak PLTS mengalirkan listrik tidak ada lagi biaya keluar untuk pemenuhan listrik dan pompa air di Malasigi. Biasanya lebih dari Rp30an juta dalam satu tahun harus dikeluarkan hanya untuk membeli bensin.

PLTS di Kampung Malasigi mampu menjadi sumber energi utama untuk penerangan dan pompa air bersih (Foto/Dok/Dunia Energi / Rio Indrawan)

“Sejak ada PLTS sampai sekarang biaya BBM sudah tidak ada sama sekali, jadi dari air sampai penerangan tidak membutuhkan bensin lagi, seperakpun tidak keluar,” kata Edi sumringah.

Edi sendiri adalah koordinator pengelola PLTS dan pompa air di Malasigi. Dia bersama anggotanya berjumlah tiga orang mendapatkan pelatihan khusus hingga mendapatkan sertifikat sebagai teknisi untuk melakukan perawatan PLTS agar tetap prima beroperasi.

Arif Mulizar, Analyst II Governance Relation Pertamina New and Renewable Energi (NRE), menjelaskan penggunaan PLTS yang berkapasitas 8,7 kwp dengan baterai 10 kwh, dapat mengurangi beban biaya kebutuhan air bersih sekitar 36 juta rupiah per tahun. Selain menghemat biaya, salah satu tujuan dibangunnya PLTS juga mampu menurunkan emisi karbon hingga 9,022 ton CO2eq.

“Ditambah lagi keunggulannya pompa air elektrik yang lebih rendah karbon, serta dapat memenuhi kebutuhan listrik masyarakat dan aktivitas ekowisata,” jelas Arif saat ditemui Dunia Energi belum lama ini.

Sejak tahun 2018 masyarakat Malasigi mulai membuka diri menerima kunjungan orang luar kampung yang penasaran dengan keberadaan mata air panas di aliran sungai sungai Kugu atau masyarakat setempat menyebutnya Sungai Klaluguk. Seiring berjalannya waktu ternyata ada potensi wisata khusus pemantauan burung Cendrawasih. Baru survei dilakukan tahun 2021 dan tahun 2022 perdana warga Malasigi menerima tamu yang punya tujuan khusus untuk melihat langsung burung surga dari timur di habitat aslinya. Untuk bisa mengelola potensi wisata di Malasigi, warga sepakat membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Belempe, dibawah naungan Lembaga Pengelolaan Hutan Kampung (LPHK) Belempe.

Kampung yang jauh dari gemerlap kota dan ada di tengah lembah belantara Papua ini sukses dinobatkan sebagai Juara I Desa Wisata Rintisan dari total 6.061 peserta, dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2024 yang mengambil tema “Desa Wisata Menuju Pariwisata Hijau Berkelas Dunia”.

ADWI yang digelar sejak tahun 2021, merupakan ajang penghargaan Kementerian Pariwisata RI untuk menggali dan mengidentifikasi potensi lokal, guna mendorong kualitas kesejahteraan masyarakat melalui desa wisata sebagai salah satu penggerak ekonomi desa berkelanjutan.

Keteguhan menjaga adat istiadat Suku Moi, melindungi wilayah-wilayah sakral, satwa liar, dan kepercayaan terhadap leluhur yang berkaitan dengan hutan, yang menjadi landasan Malasigi dikukuhkan sebagai Kampung Adat pada 8 November 2017.

Dengan segala inisiatif yang sudah dilakukan warga Malasigi, pemerintah akhirnya memberikan kepercayaan dengan diterbitkannya SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),  SK.8557/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2023. Pada 18 September 2023. SK ini diserahkan Presiden Joko Widodo kepada Manase Fami, Ketua LPHK Belempe, di Jakarta.

Masyarakat Kampung Malasigi mendapatkan akses secara legal mengelola hutan kampung seluas 1.750 hektare (ha) dengan nilai-nilai adat istiadat yang berlaku di tiap jengkal tanah ulayat yang ada.

Pertamina EP Papua Field melakukan penetrasi dalam mendukung kampung Malasigi berkembang dengan menyiapkan warga untuk bisa meningkatkan kualitas ekowisata yang sudah berjalan.

Pembangunan pos pantau, penyediaan infrastruktur air bersih dan bantuan alat pendukung homestay jadi program mata hati Malasigi sejak tahun 2023.

Pos pemantauan burung Cendrawasih di Hutan Malasigi (Foto/Dok/Dunia Energi – Rio Indrawan)

Tri Edhi Budhi Soesilo, Direktur Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, menyatakan apa yang terjadi di kampung adat Malasigi sebagai salah satu wujud modernisasi masyarakat adat yang harus dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan banyak aspek kehidupan manusia dan mahluk hidup lain ciptaan Allah SWT.

Menurutnya jika terkait dengan kehidupan manusia, maka yang perlu diperhatikan sebelum semua rencana dijalankan adalah masalah penerimaan sosial (social acceptibility). Penerimaan sosial sangat erat kaitannya dengan nilai (value) yang berlaku di masyarakat, budaya (culture) masyarakat, kepercayaan (belief atau religion) yang berlaku di mayarakat.

“Dalam kaitan dengan suku pedalaman yang didorong untuk lebih modern dan mau membuka diri, prosesnya harus perlahan-lahan dan berhati-hati baik untuk masyarakat suku pedalaman tersebut, pendatang, maupun pemrakarsa kegiatan. Harus dilaksanakan dengan terencana, terukur, sabar mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat,” kata Tri Edhi saat dihubungi Dunia Energi belum lama ini.

Hal itu menurut Tri Edhi penting sebab manusia tidak dapat disamakan dengan benda yang tidak bernyawa, tidak punya hati dan perasaan. Sudah banyak contoh di dunia dimana modernisasi yang dilakukan dengan tergesa-gesa, mengabaikan nilai-nilai, budaya berujung pada kegagalan yang dampaknya merugikan semua pihak.

Menurut Tri Jika Pertamina mengawali kegiatan dengan pembangunan jiwanya terlebih dahulu, maka kemungkinan besar akan efektif. Selain itu jika pembangunan jiwa sudah dianggap cukup, maka dalam pelaksanaannya harus ada pengawasan yang ketat.

“Jadi silakan dipertimbangkan saja apakah mau “segera” dengan risiko kegagalan sistemik atau perlahan-lahan namun efektif,” ujar Tri.

Menurut dia langkah Pertamina yang berinisiatif untuk membuka jalur dialog dan mendengarkan apa saja yanh dibutuhkan, permasalaham apa yang dihadapi untuk mengembangkan potensi wisata di Malasigi dengan warga kampung adalah langkah tepat.

“Paling tidak bertanya kepada warga atau penduduk asli itu langkah awal yang baik. Selanjutnya harus dibuka dialog untuk menyamakan persepsi dan lainnya,” kata Tri.

Sementara itu, Ardi, Papua Field Manager, Pertamina EP, Zona 14 Regional Indonesia Timur Subholding Upstream Pertamina, mengungkapkan keberadaan kampung adat Malasigi dengan ragam potensi wisata minat khusus yang dimiliki seakan jadi angin segar bagi pariwisata di Papua khususnya di wilayah Sorong. Selama ini potensi wisata di Sorong tertutup oleh kemegahan Raja Ampat. Bukan dosa, tapi sangat disayangkan saja karena keindahan Papua bukan hanya bisa dilihat dari Raja Ampat. Ada tempat-tempat lain yang punya pesona khas apalagi melibatkan makhluk hidup yang diturunkan dari surga.

“Banyak asumsi kalau ke Papua bisa lihat Cendrawasih padahal tidak semua tempat ada, mereka hidup di spot-spot tertentu dan Malasigi punya tempat terpilih itu,” ungkap Ardi kepada Dunia Energi.

Ardi menceritakan kampung adat Malasigi berada di area Ring 2 wilayah operasi sumur eksplorasi Kembo milik PEP Field Papua. Setelah terjalin komunikasi yang barulah diketahui ternyata Malasigi punya sesuatu yang berbeda dan bisa menjadikannya permata pariwisata baru dari Sorong.

Manajemen Pertamina EP melihat warga suku Moi Kelim di Malasigi butuh pendampingan karena dulu hanya membuka desa masih merintis. “Tapi belum ada pendampingan ini peluang untuk membantu,” kata Ardi.

Pertamina EP sebenarnya bukanlah pihak luar pertama yang datang membantu Malasigi sudah ada beberapa lembaga sosial lain seperti ⁠Fauna & Flora Indonesia, Yayasan Kasuari Tanah Papua serta dinas-dinas pemerintah daerah setempat. Untuk itu Pertamina EP tidak bermaksud menggantikan atau memonopoli penampingan di Malasigi melainkan ikut melengkapi dari berbagai pendampingan yang telah dilakukan. Setelah dilakukan pembahasan bersama beriringan dengan social mapping apa saja yang dibutuhkan.

“Manajemen Pertamina EP dan warga yakin untuk kembangkan Malasigi jadi kampung wisata kita studi lebih jauh, kita analisa kekuatan dan sebagainya. Tantangannya bagaimana, kita lihat prospektif, karena orang taunya Sorong hanya tahunya Raja Ampat saja,” beber Ardi bersemangat.

Jika melihat apa yang sudah berjalan, Malasigi menurut Ardi sangat cocok digolongkan sebagai wisata minat khusus. Beberapa kondisi tidak bisa ditemui di tempat biasa. Pertama keberadaan Cendrawasih. Ini tidak bisa dilihat secara bebas ada spot dan waktu tertentu. Oke kita dampingi dengan harapan sebagai desa perintis benar-benar jadi desa mandiri. Sejauh ini kami lihat sudah terlihat hasilnya mulai 2022 kita muat roadmapnya sampai tahun kelima kemandirian.

Tahun 2025, yang didorong Pertamina EP adalah memantapkan program air bersih dan kelistrikan , sehingga  2026 nanti kemandirian sudah terbentuk. Pertamina EP yakin kegiatan di Malasigi baik wisata maupun potensi bernilai ekonomi lainnya bisa menjadi jembatan dalam mengelola kehidupan bermasyarakatnya.

Bertani, berkebun dan meramu, biasanya menjadi sumber penghidupan utama masyarakat Kampung Malasigi. Aktivitas berburu satwa liar seperti celeng (babi hutan) dan rusa, kerap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hasil berburu biasanya dijual ke pusat kota di Aimas atau Kota Sorong. Dengan adanya transformasi kampung Malasigi kini pilihan masyarakat untuk menambah pemasukan menjadi bertambah.

Tarif yang dipatok untuk satu homestay sebesar Rp 250 ribu per malam. Kemudian untuk jasa pemandu Rp 200 ribu per hari. Kemudian untuk tenaga masak para mama-mama dikenakan biaya Rp 150 ribu. Biasanya para tamu membawa bahan makanan sendiri. Untuk glamping biayanya sebesar Rp 150 ribu per malam.

Rata-rata dalam satu minggu bisa ada 3-4 perjalanan atau trip  dengan total penerimaan antara Rp10 – 15 juta dalam satu bulan.

Hutan memang jadi andalan dalam membangun kampung wisata tapi ternyata ada potensi skill keahlian para mama di Malasigi melalui pembuatan noken. “Kita buka pelatihan pemanfaatan hutan untuk bahan pewarna alam, ini sangat cepat apalagi mama-mama sudah tahu karakteristik hutan. Selain untuk souvenir, Noken ini sudah dipasarkan di Sorong,” ujar Ardi. Harga Noken juga bervariasi mulai dari yang paling sederhana berupa tas kecil untuk handphone, tas berukuran sedang hingga besar antara Rp50 ribu – Rp300 ribu.

Selanjutnya adalah produk olahan hasil kebun. Selama ini pisang yang banyak tumbuh hanya dijual mentah begitu saja tanpa diolah kini mama-mama sudah mengolah berbagai camilan berbahan pisang.

“Kami optimalkan usaha keripik pisang, produknya sampai ke Sorong bahkan sampai nasional, kita perkenalkan melalui berbagai expo dan pameran. Kedepan kita akan mulai melatih mama-mama untuk promosi secara digital,” jelas Ardi.

Sementara itu, Muhammad Rabbin Anas Yusuf, Penyuluh Pemula Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraaan Lingkungan (BPSKL) Sorong, mengungkapkan bantuan dari Pertamina EP  untuk kampung adat Malasigi sangat baik dan sangat membantu masyarakat dalam hal sarana dan prasarana pendukung dalam pengembangan kampung adat wisata Malasigi. Apalagi pengadaan PLTS yang mampu  mengurangi polusi udara akibat genset berbahan bakar fosil juga jadi menurun.

Rabbin menuturkan pada dasarnya untuk pemanfaatan potensi hutan, sebenarnya masyarakat Malasigi cukup selektif. “Karena pada umumnya mereka hanya mengelola hasil hutan bukan kayu (ekowisata) seperti air panas dan pengamatan burung,” ujar dia.

Untuk mengurangi potensi limbah masyarakat Malasigi mulai menerapkan aturan jika ada yang mau menginap harus membawa bahan makanan sendiri serta limbahnya dari bahan makanan itu harus dibawa lagi.

“Harus memesan terlebih dahulu sehingga dengan hal ini dapat sangat bermanfaat baik bagi kawasan hutan maupun kawasan wisata tersebut,” tegas Rabbin.

Malasigi sendiri jadi salah satu dari puluhan desa yang dibina Pertamina dalam program Desa Energi Berdikari (DEB). Baru – baru ini Edison Fami jadi perwakilan Malasigi mengikuti sertifikasi Operator Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang diselenggarakan Pertamina bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum lama ini.

Fadjar Djoko Santoso, Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) mengungkapkan, DEB menjadi salah satu upaya Pertamina untuk menghadirkan energi transisi di masyarakat. Selain guna mendorong tercapainya kemandirian energi, DEB juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat desa.

“DEB menjadi wujud komitmen Pertamina hadir di masyarakat. Kami berharap melalui pelatihan dan sertifikasi semacam ini, akan berdampak positif bagi energi keberlanjutan di masa mendatang,” jelas Fadjar.

Dari Suku Moi Kelim kita belajar bagaimana hutan di Malasigi bukan sekedar rimbunan pohon. Bagi mereka hutan bak seorang Ibu. Maka jagalah hutan layaknya Ibu kita sendiri. Karena kita akan mendapatkan berkah yang tidak akan pernah putus, ketika kita memuliakan Ibu kita.

Sudah dari generasi terdahulu hutan Malasigi menyediakan berbagai kebutuhan pokok. Dari tahun ke tahun dari generasi ke generasi. Ibu  bagi Suku Moi Kelim tidak tergantikan dan justru makin diandalkan.

Orang suku Moi Kelim tidak alergi dengan modernisasi yang sedang terjadi. Mereka bahkan menerimanya tapi dengan arif dan bijaksana. Mereka sadar modernisasi bisa jadi cara efektif untuk meningkatkan kesejahteraan sambil terus menjaga harmoni dengan alam. Memadukan modernisasi dengan nilai-nilai leluhur jadi cara suku Moi Kelim di Malasigi menuai berkah dari apa yang mereka tanam di tanah Papua.