Setelah bertahun-tahun menjadi polemik, pemerintah akhirnya bakal melegalkan sekitar 45 ribu sumur minyak ilegal. Berdasarkan Peraturan Menteri Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) No. 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja Untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi, sumur rakyat akan dikelola oleh koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau usaha kecil dan menengah (UKM) milik masyarakat di daerah tersebut.

Kementerian ESDM menegaskan upaya menertibkan sumur minyak rakyat hanya berlaku pada sumur-sumur minyak eksisting, atau yang beroperasi sebelum terbitnya Permen ESDM 14/2025. Regulasi ini tidak berlaku untuk izin sumur rakyat yang baru. Legalisasi sumur-sumur tersebut dimaksudkan untuk menekan dampak lingkungan, isu keselamatan dan sosial kemasyarakatan, serta mendongrak produksi minyak dan penerimaan negara.

Perusahaan migas atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang beroperasi di dekat sumur rakyat – dan punya refinery — dapat membeli produksi sumur rakyat seharga 70-80% dari harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP). Produksi minyak dari sumur masyarakat yang dibeli oleh KKKS akan dihitung sebagai lifting dari KKKS tersebut. Pemerintah menargetkan lifting minyak bumi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 sebesar 605-610 ribu bph, sedikit meningkat dibanding target dalam APBN 2025 yang sebesar 605 ribu bph.

Berapa produksi sumur rakyat tersebut? Rata-rata produksi satu sumur antara 3-5 barel per hari (bph). Dengan jumlah sumur sekira 45 ribu, maka total produksi mencapai 135-225 ribu bph. Apabila diasumsikan rata-rata ICP sebesar USD 70/barel, ‘cuan’ yang dapat disedot dari sumur-sumur itu mencapai USD 6,6 – 12,6 juta per hari. Maka, di atas kertas, legalisasi sumur minyak masyarakat seharusnya bisa memberi dampak nyata terhadap perputaran ekonomi setempat, menyerap banyak tenaga kerja, hingga berkontribusi terhadap pencapaian produksi minyak nasional.

Dari ketentuan-ketentuan di atas, tampaknya minyak-minyak tersebut hanya akan dibeli oleh Pertamina, dalam hal ini PT Pertamina Hulu Energi (PT PHE) sebagai Subholding Upstream. Pertamina lagi-lagi akan mendapatkan “beban” untuk memikul dampak dari kebijakan pemerintah sebagai ujung tombak implementasi program ini meskipun tidak secara gamblang menyebutkan kewajiban. Apalagi, enam provinsi yang telah melakukan inventaris jumlah sumur rakyat yakni Sumatera Selatan, Jambi, Aceh, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, merupakan wilayah operasi Pertamina.

Akankah kebijakan ini membawa kebaikan?

Di sisi lain, timbul kekhawatiran legalisasi sumur minyak rakyat ini justru akan menguntungkan para pemilik modal besar, sedangkan masyarakat kecil akan tersingkir. Bukan rahasia lagi jika selama ini para cukong atau pemodal besar yang mengendalikan pengeboran ilegal. Beberapa dari mereka pernah ditangkap tapi tidak pernah kapok. Sempat muncul isu tidak sedap bahwa merekalah yang getol melobi pemerintah daerah untuk melegalkan sumur-sumur haram itu. Tentu saja agar para cukong itu lebih leluasa menguasai dan menyedot minyak tanpa peru takut lagi dicokok aparat.

Jika ini yang terjadi maka legalisasi sumur minyak ilegal tentu bukan menjadikan masyarakat lebih sejahtera, tetapi berpotensi memicu konflik sosial dikalangan masyarakat. Dalam konteks ini, pemerintah daerah harus bersikap adil dan transparan untuk menginventarisasi sumur-sumur tersebut dan menata kepemilikannya. Pemerintah harus berperan aktif dan memfasilitasi pembentukan BUMD, koperasi, atau UMKM yang benar-benar tumbuh dari masyarakat sekitar, bukan unit usaha sebagai “cangkang” yang dikendalikan para cukong. Harus ada tindakan nyata untuk memberantas pemain-pemain besar di belakang pengeboran sumur minyak ilegal.

Selain itu, legalisasi sumur minyak rakyat berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Meskipun niat pemerintah untuk menekan praktik ilegal dan membuat kebijakan pro-rakyat patut diapresiasi, regulasi yang terkait dengan sektor migas tetap harus mengacu pada sistem hukum yang berlaku dan memperhitungkan risiko teknis serta lingkungan.

Kebijakan tersebut juga masih memiliki celah hukum. Sesuai UU Migas, pengusahaan migas harus dilakukan melalui kontrak kerja sama antara Badan Usaha (BU) atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) dengan negara melalui SKK Migas. Apabila masyarakat diberi izin eksploitasi langsung, walaupun melalui koperasi atau UMKM, hal ini berpotensi melanggar UU Migas.

Proses eksploitasi migas harus melalui tahapan wilayah kerja, penetapan operator, penyusunan rencana pengembangan Plan of Development (POD), hingga persetujuan anggaran kerja dan belanja Work Plan and Budget (WPNB) oleh SKK Migas. Persyaratan-persyaratan semacam itu — yang tidak mungkin diikuti oleh badan usaha kecil atau komunitas lokal – apakah akan diabaikan? Jika hal ini diabaikan, bukan tidak mungkin kebijakan legalisasi malah memicu maraknya sumur-sumur ilegal baru yang hasilnya dijual ke koperasi atau BUMD yang kemudian produksinya dicatat sebagai produksi koperasi atau BUMD tersebut.

Masih terkait dengan produksi, pemerintah harus memastikan bahwa sumur-sumur minyak yang dilegasisasi berlokasi di luar Wilayah Kerja (WK) Migas milik KKKS. Alangkah lucunya, misalkan, sumur ilegal yang selama ini mengebor di WK milik Pertamina tiba-tiba dilegalkan dan minyaknya dijual kembali ke Pertamina. Mungkin pada era rezim pemerintahan sekarang praktik tersebut “dapat dimaklumi”. Tapi, apabila rezim berganti, praktik-praktik tersebut dapat dianggap sebagai bentuk korupsi dan para pelakunya dapat diseret ke meja hijau. Maka, legalitas aset sumur-sumur minyak milik rakyat berdasarkan verifikasi dan validasi yang dilakukan dengan benar menjadi kunci agar hal-hal tersebut dapat dihindari dikemudian hari.

Masalah lain yang patut menjadi perhatian serius adalah aspek Health, Safety, Security, and Environment (HSSE). Kebakaran sumur ilegal terjadi karena sumur minyak yang dibor tanpa standar keselamatan. Insiden ini sering terjadi di daerah penghasil minyak seperti Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, dan Blora, Jawa Tengah. Misalnya, insiden di Blora pada Agustus 2025 di Dukuh Gendono, Desa Gandu, meledak dan terbakar, menewaskan empat orang dan melukai seorang balita. Butuh waktu hingga tujuh hari bagi tim gabungan untuk memadamkan api. Tiga orang, termasuk pemilik lahan, investor, dan pelaksana pengeboran, ditetapkan sebagai tersangka.

Di Muba,  pada September 2025 terjadi dua insiden kebakaran sumur minyak ilegal. Satu insiden menewaskan dua pekerja dan melukai tiga lainnya. Insiden lainnya mengakibatkan lima orang meninggal dan satu kritis. Kepolisian setempat masih terus menyelidiki penyebab ledakan dan kebakaran.

Menurut Reforminer, penerapan HSSE seharusnya melekat ke badan usaha pemilik sumur rakyat tersebut. Kualitas HSSE yang di-delivery tentunya ada perbedaan karena standar HSSE tidak mudah diaplikasikan. Pilot project-nya untuk penerapan HSSE di sumur-sumur minyak tersebut berada di bawah pengawasan PHE. Hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri bagi PHE yang di lapangan karena akan ada transfer knowledge karena pengelolaan sumur-sumur minyak itu melibatkan banyak individu.

Reforminer juga mencatat untuk keekonomian pembelian minyak relatif tidak menjadi isu karena regulasi menetapkan harga jualnya berada di bawah ICP. Artinya, KKKS mendapatkan diskon. Tetapi, diskon itu akan menjadi tidak bermakna kalau nantinya ada biaya-biaya HSSE dan/atau biaya sosial kalau ada gejolak dalam operasionalnya yang harus ditanggung KKKS. Maka, aspek sosial, politik, keamanan, keselamatan, ini perlu menjadi perhatian bagi KKKS yang akan membeli minyak dari sumur-sumur rakyat, terutama PHE. Hal tersebut dijalankan paralel dengan perbaikan pengelolaan supaya sesuai dengan good engineering practices secara bertahap.(*)