JAKARTA – Pemerintah Indonesia berniat untuk hentikan impor minyak solar secara total pada tahun 2026 melalui program mandatori biodiesel B50 (campuran 50% bahan bakar nabati). Secara teknis, program B50 dirancang untuk menutup sisa kuota impor yang masih ada di bawah kebijakan B40 saat ini. Data menunjukkan, pada tahun 2025, impor minyak solar diperkirakan masih berada di angka 4,9 juta kiloliter atau setara 10,58% dari total kebutuhan nasional.
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan langkah itu sudah mendapatkan restu dari Prabowo Subianto, presiden Indonesia.
“Atas arahan Bapak Presiden, sudah diputuskan bahwa 2026, insya Allah akan kita dorong ke B50, dengan demikian tidak lagi kita melakukan impor solar ke Indonesia,” tegas Bahlil di Jakarta, Kamis (9/10).
Langkah ini didasari oleh keberhasilan program biodiesel yang telah berjalan dan terbukti ampuh menekan ketergantungan impor sekaligus menghemat devisa negara secara signifikan.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemanfaatan biodiesel dari tahun 2020 hingga 2025 telah berhasil menghemat devisa hingga US$40,71 miliar. Dengan penerapan B50, pemerintah memproyeksikan adanya potensi penghematan devisa tambahan yang sangat besar, yakni mencapai US$10,84 miliar hanya dalam satu tahun implementasinya di 2026.
Implementasi B50 akan meningkatkan porsi bahan bakar nabati (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) dalam solar secara masif, sehingga mampu menggantikan sepenuhnya volume impor tersebut dan menjadikan pasokan solar nasional 100% berasal dari sumber daya domestik.
“Ini adalah sebuah keputusan strategis dan bentuk keberpihakan negara terhadap kedaulatan energi kita.”Kita tidak bisa terus bergantung pada impor yang menguras devisa dan rentan terhadap gejolak harga global. Dengan B50, kita maksimalkan potensi sawit dalam negeri, kita perkuat ekonomi petani, dan yang terpenting, kita pastikan ketahanan energi nasional berada di tangan kita sendiri. Ini adalah langkah menuju kemandirian sejati,” ujar Bahlil.
Untuk mewujudkan target ini, peningkatan kapasitas produksi FAME menjadi syarat mutlak. Pasokan FAME harus digenjot dari 15,6 juta kiloliter pada 2025 menjadi 20,1 juta kiloliter pada 2026. Peningkatan produksi ini tidak hanya berdampak pada sektor energi, tetapi juga menciptakan efek berganda pada perekonomian melalui penyerapan tenaga kerja yang masif, diperkirakan mencapai 2,5 juta orang di perkebunan dan 19 ribu orang di pabrik pengolahan. (RI)





Komentar Terbaru