Polemik penyesuaian kebijakan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta dalam beberapa waktu terakhir menegaskan keberadaan kilang minyak memiliki peran penting dalam ketahanan energi nasional. Porsi BBM dalam bauran energi sektor transportasi tahun 2024 yang tercatat sebesar 99,8% menegaskan peran penting tersebut.
Meskipun memiliki peran penting, industri kilang minyak di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya dihadapkan pada pasar BBM nasional dengan kondisi regulated market, sebagian besar volume BBM yang diperdagangkan merupakan BBM subsidi dan/atau BBM kompensasi. Kondisi tersebut menyebabkan industri kilang minyak di Indonesia relatif sulit untuk dapat memperoleh margin usaha yang wajar.
Karena sulit memperoleh margin wajar, perkembangan industri kilang di Indonesia relatif lambat. Dalam 10 tahun terakhir kapasitas kilang minyak wilayah Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Eropa masing-masing bertambah 3,73 juta barel per hari (bph), 2,73 juta bph, dan 829 ribu bph. Sementara pada periode tersebut kapasitas kilang minyak Indonesia hanya bertambah 125 ribu bph. Penambahan kapasitas tersebut berasal dari RDMP Kilang Balongan dan RDMP Kilang Balikpapan.
Kebutuhan anggaran investasi yang besar sementara margin yang diperoleh relatif belum kompetitif, menyebabkan industri kilang minyak tidak menjadi pilihan utama. Berdasarkan data, rata-rata pembangunan kilang minyak dengan kapasitas 100 ribu bph memerlukan investasi antara USD7,5 miliar–8 miliar atau sekitar Rp123 triliun-Rp132 triliun.
Jika mengacu pada konsumsi BBM saat ini sekitar 1,6 juta bph , Indonesia paling tidak harus memiliki kilang minyak dengan kapasitas sekitar 2 juta bph jika menghendaki untuk tidak melakukan impor BBM. Dengan kapasitas kilang minyak saat ini sekitar 1.148 ribu bph, Indonesia setidaknya memerlukan tambahan kapasitas sekitar 852 ribu bph atau setara dengan kebutuhan investasi sekitar Rp1.054 triliun-Rp1.125 triliun.
Terkait aspek teknologi dan kehandalan kilang, kebijakan Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produk yang selama ini sudah dilakukan Pertamina pada dasarnya telah tepat. Perkembangan teknologi dan kehandalan kilang global tercatat terus meningkat. Sebagian besar Nelson Complexity Index (NCI) kilang global berada di atas 10 yang mencerminkan kilang-kilang tersebut memiliki tingkat kompleksitas dan teknologi yang tinggi. Kilang dengan NCI tinggi umumnya dilengkapi unit-unit canggih yang memungkinkan untuk mengadaptasi hasil produknya sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pasar.
Mencermati perkembangan dan kondisi yang ada tersebut, peremajaan kilang minyak nasional baik melalui GRR maupun RDMP mendesak untuk segera dilakukan. Peremajaan tidak hanya penting untuk menambah kapasitas kilang, tetapi juga penting untuk meningkatkan kualitas produk, efisiensi biaya produksi, menghasilkan produk bernilai tambah lebih tinggi, lebih fleksibel dan adaptif dengan kebutuhan pasar, dan berpotensi memiliki aspek HSSE (Health, Safety, Security, dan Environment) yang lebih baik.
Dengan kebutuhan investasi besar dan margin yang belum kompetitif, peremajaan kilang minyak nasional memerlukan political will dan dukungan kebijakan baik fiskal dan nonfiskal dari seluruh stakeholder pengambil kebijakan. Terkait kebutuhan anggaran investasi yang cukup besar pada umumnya BUMN dalam hal ini Pertamina yang diberikan tugas membangun kilang memerlukan kolaborasi dengan pihak/mitra bisnis yang lain.
Akan tetapi dari sejumlah rencana kerjasama yang pernah akan dilakukan, calon mitra seperti Saudi, Iran, dan Kuwait justru mengundurkan diri. Permintaan insentif fiskal yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah disampaikan menjadi penyebab utama sejumlah calon mitra Pertamina tersebut mundur. Semoga para stakeholder pengambil kebijakan dapat memberikan terobosan kebijakan agar peremajaan kilang minyak nasional dapat segera dilakukan.(*)




Komentar Terbaru