JAKARTA – The 11th Indonesia International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE 2025) digelar pada 17–19 September 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC) dengan tema “Fostering Collaboration for a Green Economy in Indonesia: The Role of Geothermal Energy in Sustainable Growth”. IIGCE 2025 berhasil menarik lebih dari 1.500 peserta dari lebih 20 negara, menjadi ajang utama untuk diskusi, berbagi inovasi, dan melihat perkembangan terbaru di dunia energi panas bumi.

Di tengah serangkaian diskusi dan pertemuan bisnis di IIGCE 2025, saya Riki Ibrahim, dosen S2 Energi Terbarukan di Unsada sekaligus mantan Dirut PT Geo Dipa Energi (Persero), kembali mengulik pertanyaan yang selalu muncul: mengapa dari potensi panas bumi Indonesia sebesar 24 GW, hanya sekitar 10% atau 2,5 GW yang bisa dimanfaatkan saat ini?

Alasan Teknis
– Lokasi Potensi Panas Bumi di Daerah Yang Relatip Sulit Dijangkau. Sebagian besar sumber panas bumi ada di daerah terpencil atau kawasan konservasi, seperti Taman Nasional. Ini membuat biaya eksplorasi dan pembangunan listrik panas bumi jadi lebih tinggi.
– Eksplorasi dan Eksploitasi Butuh Teknologi Tinggi. Panas bumi itu mirip industri migas: butuh pengeboran sampai 2–3 km dan teknologi tinggi, dari pengukuran sampai pembangunan pembangkit. Ternyata perusahaan nasional masih kalah bersaing di bidang ini.
– Risiko Tinggi Eksploitasi akan Formasi Asam. Eksplorasi panas bumi suksesnya tinggi, diatas 70%! Jadi, tidak sesulit migas seperti yang banyak orang kira. Masalah utama biasanya kandungan asam di formasi, yang bikin biaya lebih mahal—kadang sampai sumur harus ditutup.
– Waktu Pengembangan Lama. Membangun PLTP memang tidak cepat, butuh 7–10 tahun termasuk eksplorasi. Jadi, balik modalnya baru terasa setelah lebih dari 17 tahun, lebih lama dibanding PLTU atau PLTS.

Alasan Bisnis dan Ekonomi:
– Biaya Investasi Awal yang Sangat Tinggi dan sedikit Pendanaan yang bersedia memberikan 70-80% pendanaannya (Pengembang masih perlu 20-30% Equity). Membangun PLTP itu mahal: eksplorasi per sumur USD 5–10 juta, pembangunan sekitar USD 1.500–2.500 per kW, lebih mahal dari batubara atau surya. Makanya investor baru sering ragu, dan pemain lama minta kepastian insentif.
– Pengeboran panas bumi itu riskan. Untuk proyek 55 MW, dibutuhkan 10–11 sumur (5 MW per sumur). Kurang sumur? Biayanya malah membengkak karena pindah-pindah SDM dan alat berat mahal.
Skema Harga Listrik (Feed-in Tariff) yang Kurang Menarik. Harga listrik ditentukan pemerintah, tapi kalah saing dengan energi fosil yang pakai harga pasar. Makanya, pengembang sulit dapat balik modal dari pinjaman.
– Ketergantungan pada PLN sebagai Offtaker Tunggal untuk di Indonesia karena Indonesia tidak menganut harga listrik bebas seperti di US dan negara lainnya. EBT memang dijamin PLN selama 30 tahun ke atas, tapi negosiasi lama bikin prosesnya tersendat. Menjual ke swasta juga belum aman, penuh risiko dan tidak mudah dapat kepercayaan bank.
– Proses Perizinan dan Regulasi yang Kompleks. Tidak bisa dipungkiri, banyaknya izin yang harus dilalui—dari lingkungan, kehutanan, pemda, PLN, hingga tata ruang—sering membuat proyek panas bumi tersendat, dengan proses yang panjang dan biaya tinggi.
– Ketidakpastian Regulasi dan Politik Energi Masih Tinggi. Perubahan kebijakan yang sering terjadi membuat investor sulit mendapatkan kepastian hukum dan konsistensi jangka panjang. Contohnya, harga listrik yang cepat berubah, perbedaan aturan pusat dan daerah, atau dulu panas bumi dianggap pertambangan sehingga dilarang di hutan lindung—padahal PLTP Gunung Salak justru aman di kawasan cagar alam. Belum lagi kebijakan TKDN yang belum sepenuhnya berpihak pada pembangunan ekonomi nasional.

Proyek panas bumi menuntut biaya awal yang tinggi, sementara akses pendanaan dari lembaga internasional dan bank lokal masih terbatas, terutama untuk pengeboran. Program GREM/GEUDP yang didukung PT SMI dan World Bank hadir sebagai solusi, tetapi hanya mencakup tiga sumur. Pinjaman diberlakukan aturan ketat agar dapat dikembalikan, karena dana ini dirancang sebagai revolving fund untuk mendukung pengembangan panas bumi secara berkelanjutan.

Membandingkan dengan negara maju seperti AS, biaya pengeboran sumur panas bumi bisa USD 2–5 juta per sumur, tergantung lokasi dan kedalaman. Penggunaan teknologi ORC pada pembangkit dengan pipanisasi (SAGS) memungkinkan kinerja lebih efisien, dengan biaya pembangunan USD 1.000–1.500 per kW dan biaya perawatan rendah.

Berbagai kebijakan energi terbarukan membuat Indonesia jadi pengembang panas bumi terbesar kedua di dunia. Namun, dengan GDP tumbuh 5% per tahun, menaikkan harga listrik untuk masyarakat bukan ide yang bijak. Masih banyak daerah yang warganya belum merasakan listrik seperti di kota besar.
Riki Kembali menekankan bahwa proyek panas bumi memang mahal di awal, tapi sangat menguntungkan karena listriknya bisa menyala nonstop sepanjang tahun. Energi panas bumi cuma bisa dimanfaatkan di lokasi tertentu dan baru bisa diekspor kalau sudah jadi listrik.

Oleh karena itu, salah satu terobosan yang sangat memungkinkan adalah:

1). Pendekatan Sosial & Komunikasi
Keterlibatan pemerintah pusat dan daerah sangat penting dalam pelaksanaan proyek di lapangan. Peran ini sebaiknya tidak hanya sebatas pemberian izin, tetapi juga ikut membangun bersama demi memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar. Sayangnya, pola pikir ini masih sulit dijalankan, sehingga pada akhirnya justru menyulitkan semua pihak dan menambah biaya proyek.

Program edukasi dan komunikasi kepada masyarakat lokal tentang manfaat ekonomi proyek sangat penting. Sosialisasi sebaiknya dilakukan jauh sebelum proyek dimulai, mengikuti standar internasional yang transparan dan akuntabel, sehingga tidak ada pihak yang memanfaatkan pengaruh untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kegiatan ini harus dilakukan secara konsisten dan kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengusaha, serta menjadi bagian biaya proyek yang tidak bisa diabaikan.

Skema CSR yang diperluas dan program ‘community benefit sharing’ saat ini telah diterapkan melalui CSR, Community Development, serta Production Bonus di wilayah yang memiliki PLTP, dengan besaran disesuaikan berdasarkan tingkat produksi masing-masing PLTP. Namun, implementasinya untuk masyarakat sekitar lokasi masih sangat minim dan kualitasnya belum dirasakan optimal.

2). Kebijakan Insentif Fiskal
Kebijakan Insentif Fiskal: Tax holiday/Tax Allowance, Fasilitas Impor/Bea Masuk (Pajak Impor, PPn Impor, Bea Masuk), Insentif pajak sebelum beroperasi. Untuk menyesuaikan tarif keekonomian, pemerintah bisa memberikan berbagai insentif fiskal, seperti tax holiday atau allowance, fasilitas impor (pajak impor, PPN, bea masuk), insentif pajak sebelum operasi, serta dukungan pendanaan eksplorasi melalui GREM/GEUDP yang dikelola PT SMI dan World Bank.
Fasilitas Pendanaan Eksplorasi dengan menggunakan GREM/GEUDP yang dikelola oleh PT SMI & WB. Skema Government Drilling dan GREM/GEUDP memungkinkan pemerintah menanggung risiko eksplorasi dan memberikan semacam asuransi pengeboran jika gagal. Setelah cadangan terbukti, Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) dilelang secara transparan untuk menarik investor. Program ini dikelola PT SMI Persero bekerja sama dengan Ditjen EBTKE – KESDM dan Kemenkeu, dengan dukungan Bank Dunia.

3). Reformasi Regulasi
Penyederhanaan izin dan percepatan “one stop service”, di bentuk kantor bersama BKPM, ESDM, KLH, & Menperindustrian.

4). Pendanaan Inovatif
Green bond, sovereign wealth fund, dan kerja sama dengan lembaga multilateral seperti ADB, JICA, KfW, atau World Bank masih terbatas, memerlukan jaminan pemerintah, dan tetap butuh BUMN sebagai offtaker. Persyaratan pembiayaan juga ketat, di mana pengembang minimal harus memenuhi prinsip 5C: Character, Capacity, Capital, Condition, dan Collateral. Oleh karena itu, sebaiknya fokus pada kerja sama dengan BUMN agar fasilitas seperti insentif, skema KPBU, kolaborasi dengan lembaga multilateral, serta dukungan pembiayaan pengeboran bisa dimanfaatkan sebagai strategi pengembangan panas bumi.
Skema PPP, atau KPBU dalam bahasa Indonesia, memungkinkan pemerintah bekerja sama dengan badan usaha swasta untuk menyediakan infrastruktur dan layanan bagi masyarakat. Dalam pelaksanaan KPBU, PT PII (Persero) menjadi BUMN yang menangani skema ini.

Pemerintah dan pengembang panas bumi disarankan untuk mempertimbangkan penerapan rekomendasi solusi yang telah disampaikan. Langkah ini diperkirakan bisa menurunkan harga listrik hingga 3–5 sen per kWh dari ketentuan Perpres 112/2022, sesuai hasil analisis keekonomian.*