JAKARTA – Belajar dari keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di sejumlah negara, Pemerintah Indonesia dinilai perlu melakukan intervensi kebijakan agar terdapat peningkatan dalam pengembangan dan pengusahaan panas bumi nasional.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia hampir dapat dipastikan akan berjalan relatif lambat jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business.
“Mencermati kebijakan yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di sejumlah negara tersebut dan memperhatikan dinamika industri panas bumi di dalam negeri, terdapat beberapa aspek yang perlu dimasukkan dalam melakukan intervensi kebijakan untuk industri panas bumi nasional,” kata Komaidi, Jumat (19/9).
Aspek yang perlu dimasukkan, diantaranya adalah melakukan pengelolaan risiko eksplorasi dan mempercepat commercial operation date (COD); perlunya menyusun skema tarif yang kompetitif dengan dukungan pembiayaan yang tepat; memperkuat kolaborasi stakeholder industri panas bumi terutama dengan PLN yang berperan sebagai offtaker tunggal; mengembangkan teknologi baru untuk mempercepat proyek panas bumi; dan meningkatkan TKDN melalui industrialisasi manufaktur pembangkit di dalam negeri.
ReforMiner Institute dalam catatannya menyebut bahwa kunci keberhasilan pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi di sejumlah negara, seperti Filipina, Meksiko, Turki, Selandia Baru, Islandia dan Kenya adalah ketersediaan ekosistem industri, komitmen dan dukungan dari para stakeholder pengambil kebijakan. Selain itu, di sejumlah negara yang tercatat memiliki rasio kapasitas-potensi dan pertumbuhan kapasitas PLTP yang relatif tinggi pada umumnya memiliki regulasi atau payung hukum yang diperlukan untuk mendukung pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi pada negaranya masing-masing.
Sampai akhir tahun 2024, Filipina tercatat menjadi negara dengan rasio kapasitas terpasang listrik panas bumi (PLTP) terbesar di dunia yaitu sekitar 48,07% dari total potensi panas bumi yang dimiliki negara tersebut. Selain dukungan fiskal dan insentif investasi, faktor pendorong utama keberhasilan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Filipina adalah kebijakan perusahaan transmisi listrik nasional (TRANSCO) yang memberikan koneksi dan distribusi penuh terhadap proses jual-beli listrik panas bumi.
Kebijakan insentif pengembangan panas bumi yang diberikan oleh Filipina diantaranya: mengurangi porsi bagian pemerintah dari pendapatan kegiatan usaha panas bumi; memberikan insentif fiskal melalui pengurangan pajak dan tax holiday, accelerated depreciation, dan bebas bea impor; dan menerapkan kebijakan net operating loss-carry over pada industri panas bumi. Serta mempercepat depresiasi danpenghapusan pajak pertambahan nilai untuk penjualan dan pembelian listrik panas bumi; memberikan subsidi untuk pengembangan R&D industri panas bumi; mempermudah ketersediaan data untuk pengembang panas bumi swasta; dan melakukan inventarisasi dan identifikasi wilayah potensial untuk eksplorasi panas bumi.
Sementara di Meksiko, negara dengan rasio kapasitas PLTP terbesar kedua yaitu 40,01% dari total potensi panas bumi negara tersebut, reformasi kebijakan energi menjadi salah satu kunci keberhasilan mengembangkan panas bumi. Setelah sebelumnya tertutup, negara tersebut membuka dan memberikan izin kepada perusahaan swasta dan asing untuk berpartisipasi sebagai pengembang dan produsen listrik independen. Upaya meningkatkan investasi pada industri panas bumi.
Selama 2014-2024, Turki menjadi negara dengan peningkatan kapasitas PLTP terbesar di dunia. Kapasitas PLTP Turki meningkat sekitar 328%, dari 405 MW pada 2014 menjadi 1.734 MW pada 2024. Peningkatan tersebut merupakan hasil dari implementasi UU EBET di Turki yang memberikan sejumlah keistimewaan untuk industri panas bumi.
Selandia Baru yang menjadi negara yang progresif dalam pengembangan panas bumi menerbitkan Undang-Undang Persetujuan Jalur Cepat (“FTAA”) 2024 untuk “mempercepat” persetujuan proyek-proyek penting termasuk proyek panas bumi. Undang-undang tersebut mengatur “layanan terpadu” bagi proyek panas bumi untuk mendapatkan persetujuan lingkungan dan perencanaan, memulai konstruksi, dan memulai operasi. Pemerintah Selandia Baru memberikan dukungan dengan mengalokasikan anggaran khusus untuk penelitian dan eksplorasi panas bumi.
Islandia (Icenland) juga tercatat menjadi negara yang berhasil melakukan pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi. Sampai 2024 porsi kapasitas PLTP negara tersebut sekitar 18,51% dari potensi panas bumi yang dimiliki. Dukungan kebijakan yang diberikan dalam pengembangan industri panas bumi telah membuat kapasitas PLTP meningkat dari 665 MW pada 2014 menjadi 787 pada 2024.
Demikian juga halnya di Kenya yang tercatat menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan kapasitas PLTP tertinggi kedua di dunia dengan 156%, meningkat dari 366 MW pada 2014 menjadi 939 MW pada 2024. Kenya menerbitkan UU Energi yang menyediakan kerangka hukum yang komprehensif untuk pengembangan energi terbarukan, termasuk energi panas bumi yang didalamnya memuat sejumlah insentif.(AT)




Komentar Terbaru