SEJARAH dicatatkan PT Pertamina (Persero) di Bandara Soekarno-Hatta, Rabu, 20 Agustus 2025. Produk BioAvtur berbahan baku minyak jelantah yang disebut Pertamina Sustainable Aviation Fuel (PertaminaSAF) yang diproduksi Kilang Cilacap yang dikelola PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) digunakan untuk penerbangan komersial perdana maskapai Pelita Air dengan rute Jakarta-Denpasar.

PertaminaSAF yang dipergunakan dalam penerbangan tersebut diolah dari bahan baku Used Cooking Oil (UCO) atau minyak jelantah. Jelantah merupakan sisa minyak goreng yang sehari-hari digunakan untuk memasak.

KPI menyebut bahwa PertaminaSAF merupakan produk berkualitas dan ramah lingkungan yang diproduksi oleh salah satu unit operasi KPI, yakni Kilang Cilacap. Produk tersebut telah melewati serangkaian pengujian kualitas yang ketat di laboratorium KPI Unit Cilacap dan juga di laboratorium eksternal independen Lemigas.

Produksi Pertamina SAF dilakukan dengan teknologi co-processing, menggunakan Katalis Merah Putih buatan anak bangsa. Hasilnya, PertaminaSAF dinyatakan memenuhi standar internasional ASTM D1655 dan DefStan 91-091.

Kualitas PertaminaSAF diklaim tidak kalah jika dibandingkan dengan produk serupa yang digunakan di negara lain. PertaminaSAF merupakan upaya konkret dalam percepatan pengurangan emisi karbon sebab kandungan karbon di dalamnya lebih rendah 81% dibanding avtur berbahan fosil.

PertaminaSAF adalah bioavtur sustainable pertama yang memiliki sertifikat internasional sustainability ISCC CORSIA berbahan baku campuran UCO atau minyak jelantah yang diproduksi di Indonesia.

Ke depan, PertaminaSAF juga akan diujicobakan untuk diproduksi di Kilang Dumai dan Kilang Balongan.

Peluncuran PertaminaSAF tentu menambah panjang produk-produk hijau yang dihasilkan kilang yang dikelola Pertamina. Sebelum PertaminaSAF, kilang Pertamina juga telah memproduksi Biosolar maupun Pertamax Green.

Biosolar merupakan bahan bakar untuk kendaraan diesel yang berasal dari campuran solar dengan biodiesel, bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit. Sementara Pertamax Green adalah bahan bakar bensin dengan Research Octane Number (RON) 95 dengan campuran 5% bioethanol dari molase tebu. Jika komponen bahan bakar nabati dalam Pertamax Green hanya 5, biodiesel dalam biosolar jauh lebih besar, yakni mencapai 40%.

Kilang pada dasarnya memang mengolah energi fosil, yakni minyak mentah atau crude yang kemudian menghasilkan berbagai produk BBM dan non-BBM, seperti LPG maupun propylene, bahan baku plastik. Seiring komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan Net Zero Emission (NZE) pada 2060, penggunaan energi fosil pun mulai dikurangi dan secara bertahap energi baru terbarukan (EBT) pun mulai didorong untuk menggantikan. Masa depan industri kilang pun mulai dipertanyakan, apalagi untuk membangun kilang baru.

Di Indonesia, produk hasil pengolahan kilang belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Akibatnya, impor BBM, LPG maupun petrokimia relatif masih besar. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang diolah pada 2024, selama periode 2018-2023, rata-rata impor BBM mencapai 145,17 juta barel setara minyak (BOE) per tahun.

Disisi lain, industri kilang ikut berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Keberadaan kilang migas merupakan salah satu bentuk hilirisasi yang ditetapkan Pemerintahan Presiden Prabowo sebagai tulang punggung dalam mencapai target Indonesia Emas yang diantaranya direpresentasikan melalui target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.

ReforMiner Institute menyebut bahwa hilirisasi migas penting dan relevan bagi Indonesia setidaknya karena tiga hal. Pertama, berpotensi menghasilkan efek berganda dan nilai tambah ekonomi yang akan berkorelasi positif terhadap pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8%. Kedua, hilirisasi migas pada dasarnya selama ini telah berjalan dengan baik di Indonesia, khususnya dengan keberadaan industri kilang migas dan industri-industri kunci yang memiliki keterkaitan dengan kilang, baik di sisi hulu sebagai pemberi input atau bahan baku untuk diolah maupun di sisi hilir yang menggunakan produk yang dihasilkan. Selain itu, hilirisasi migas juga penting karena di dalam struktur perekonomian Indonesia, pada sisi hilir dan hulu yang terkait dengan hilirisasi migas tersebut.

Maka tidak bisa disangkal pentingnya keberadaan industri kilang migas di tanah air. Tambahan kapasitas dari proyek proyek pengembangan kilang atau Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Balikpapan sebesar 100 ribu barel per hari (bph) belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Perlu tambahan kapasitas pengolahan yang lebih besar, selain untuk memperkecil impor, juga mewujudkan ketahanan dan swasembada energi nasional.

Disisi lain, Keputusan Presiden AS Donald Trump yang keluar dari Paris Agreement dan secara tegas menyampaikan akan tetap memproduksikan dan menggunakan energi fosil terutama migas, tentu akan berpengaruh terhadap keberadaan industri kilang global, tidak terkecuali dan bisa jadi di Indonesia.(*)