JAKARTA – Masalah pasokan gas sebenarnya bukanlah masalah baru. Masalah ini sudah terjadi tahunan, hanya saja bisa diredam dengan berbagai strategi mulai dari swap pasokan sampai pengaturan jatah pasokan. Tapi untuk kali ini masalah pasokan gas jauh lebih “seru” karena melibatkan dua pembantu Presiden yang sama-sama berada di dalam satu bendera pohon beringin.

PT PGN Tbk sebagai kepanjangan tangan dari produsen gas untuk menyalurkan gas ke para konsumen dari sektor industri baru saja mengumumkan adanya penyesuaian distribusi gas lantaran pasokan gas yang berkurang di hulu. Hal ini sontak membuat industri kebat kebit. Berkurangnya pasokan mengancam keberlanjutan produksi, ujungnya kerugian di depan mata.

Volume gas yang turun ini merupakan bagian dari volume gas yang mendapatkan perlakuan harga gas bumi tertentu atau HGBT yanh maksimal harganya US$6 per MMBTU.

Fajriyah Usman, Corporate Secretary PGN menjelaskan, penurunan pasokan disebabkan oleh pemeliharaan operasional tak terencana di beberapa pemasok gas, serta keterlambatan realisasi sejumlah rencana tambahan pasokan yang masih dalam proses.

“Mengingat PGN saat ini belum mendapatkan tambahan kargo LNG domestik untuk periode Agustus 2025 sebagai sumber alternatif lainnya, karenanya kami telah menyampaikan kepada pelanggan terdampak untuk melakukan pengaturan pemakaian gas, dan bagi pelanggan dengan sistem dual fuel untuk sementara mempersiapkan bahan bakar lainnya sebagai energi pengganti,” kata Fajriyah dalam keterangan tertulis, Kamis (14/8).

Para pelaku industri langsung berteriak yang didengar langsung oleh induk mereka, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang bermarkas di Jalan Gatot Subroto. Rasa-rasanya baru kali ini Kemenperin terlihat meradang hebat perkara pasokan gas. Akhir pekan ini Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif memberikan pernyataan tegas bahwa gangguan suplai dan tingginya surcharge gas, seperti tarif mencapai US$16,77 per MMBTU, memberatkan pelaku usaha, terutama di sektor padat energi seperti industri keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, dan oleokimia.

Dia mengaku menerima banyak surat dan laporan dari industri pengguna HGBT yang merasakan dampak langsung kebijakan tersebut, serta menyampaikan keprihatinan mendalam atas pengetatan penerapan subsidi gas industri.

“Seolah-olah ini menjadi masalah klasik yang berulang. Padahal, HGBT adalah keputusan Presiden, yang sudah menetapkan baik harga US$6,5 per MMBTU dan keberlanjutan pasokannya. Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba melakukan subordinasi terhadap perintah Presiden tersebut dalam bentuk menaikkan harga di atas US$6,5 dan membatasi pasokannya,” kata dia.

Data Kemenperin mencatat, beberapa sektor industri saat ini mulai menunjukkan penurunan utilisasi akibat kendala pasokan gas. Misalnya, industri keramik nasional yang pada semester I-2025 baru mampu mencapai tingkat utilisasi sekitar 70-71 %, meski telah membaik dibandingkan tahun sebelumnya.

“Jika pasokan gas terus terganggu, capaian ini bisa tergerus lagi terutama industri pupuk yang akan memasok kebutuhan pupuk dalam program swasembada pangan Presiden Prabowo,” kata Febri.

Febri menekankan bahwa penerima manfaat terbesar dari program HGBT selama ini berasal dari BUMN. Kebutuhan gas industri secara keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar 2.700 MMSCFD, sementara volume HGBT yang tersedia hanya sekitar 1.600 MMSCFD.

Setelah “ditembak” seperti itu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berpusat di kawasan Medan Merdeka Selatan tidak tinggal diam. Secara mendadak Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) kabarnya segera memberikan informasi lebih lanjut terkait masalah pasokan gas untuk Industri, pada Sabtu (16/8). Apalagi “tuduhan” Kemenperin jelas ke masalah pasokan gas yang diawasi oleh Kementerian ESDM.

Kementerian Perindustrian dibawah komando Agus Gumiwang Kartasasmita pada era pemerintahan kali ini memang terlihat lebih “galak” ke Kementerian ESDM, yang dipimpin oleh Bahlil Lahadalia yang notabena adalah pimpinan tertinggi partainya juga, Partai Golkar.

Tidak sedikit pihak yang menilai panasnya kedua Kementerian ini bukan hanya memang karena carut marut masalah suplai dan pasokan gas, tapi juga ada unsur politis. Isu munaslub Golkar sudah mulai menggema dalam beberapa pekan terakhir. Angin kencang mulai menerpa dan menggoyang Bahlil di kursi ketua umum. Ada kabar beredar bahwa Prabowo bahkan telah memberikan lampu hijau untuk dilakukan munaslub dengan agenda pemilihan Ketua Umum Golkar yang baru. Bahlil sendiri beberapa pekan terakhir terlihat terus dekat dengan presiden sebagai upaya untuk menenangkan hati Presiden.

Kementerian ESDM sendiri berulang kali menegaskan tidak akan melakukan impor gas dalam waktu dekat karena pasokan gas mencukupi. Namun pada kenyatannya untuk pembangkit listrik saja ternyata pemerintah harus mencari alternatif sumber pasokan seperti penjadwalan ulang pengapalan ekspor LNG yang sudah berkontrak. Melakukan swap gas ke Singapura untuk amankan pasokan hingga Juli saja. Untuk Augustus? Ini yang masih jadi pertanyaan.

Terlepas dari isu politik yang mewarnai masalah pasokan gas ini masyarakat menantikan bagaimana langkah pemerintah untuk bisa menemukan solusi yang tepat. Apakah akhirnya Indonesia akan menempuh jalan impor LNG pertama kali dalam sejarah setelah sempat menjadi salah satu eksportir gas terbesar dunia? Atau tetap kekeh mengandalkan pasokan dari produksi gas dalam negeri yang hingga kini masih belum pasti dari mana tambahan pasokannya?