Perkembangan gaya hidup modern yang lebih bersih akan mengakibatkan perubahan pola konsumsi energi di masa mendatang. Jika selama ini kebutuhan energi dipenuhi dari minyak dan gas bumi (migas) dan batubara – yang notabene kerap diasosiasikan sebagai energi yang tidak ramah lingkungan – pasokan energi masa depan akan disuplai dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dianggap lebih bersih. Artinya, masyarakat akan pelan-pelan meninggalkan energi fosil.
Tetapi, Indonesia saat ini memiliki proyek pengembangan kilang minyak di Indonesia mencakup Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan kilang baru (Grass Root Refinery/GRR) yang dikerjakan dan dikelola oleh PT Kilang Pertamina Internasional – Subholding Refining & Petrochemical dan anak perusahaannya.
Beberapa proyek RDMP yang sedang berjalan adalah di Cilacap, Balikpapan, Dumai, dan Balongan. Sementara itu, proyek GRR direncanakan di Tuban dan Bontang. Kilang Balikpapan setelah selesai RDMP yang diperkirakan penyelesaiannya mundur pada 2026 akan menjadi kilang terbesar di Indonesia dengan kapasitas sekitar 360 ribu barel per hari (BPH).
Belum pun seluruh proyek tersebut direalisasikan, pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menyampaikan bakal melakukan pembangunan unit kilang minyak berkapasitas lebih dari 500 ribu BPH di Pulau Pemping, yang dekat dengan Singapura. Proyek ini diperkirakan akan menelan investasi sebesar USD12,5 miliar atau Rp204,95 triliun (asumsi kurs Rp16.400 per dolar AS). Konon,selain mengurangi ketergantungan pada impor, proyek ini berpotensi menghemat hingga 182,5 juta barel minyak per tahun atau setara USD16,7 miliar.
Dengan adanya perubahan gaya hidup masyarakat seperti disebutkan di awal, masihkan perlukah kita membangun kilang untuk mengolah crude menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan petrokimia? Kita jangan terburu-buru memutuskan pembangunan kilang minyak sangat dibutuhkan atau tidak lagi dibutuhkan. Lihatlah fakta-fakta di bawah ini.
Industri kilang merupakan salah satu mesin penggerak struktur perekonomian Indonesia. Mengutip data dari ReforMiner (2025), Dari total sektor ekonomi Indonesia sebanyak 185 sektor, industri kilang memiliki keterkaitan dengan 93 sektor pendukung. Dalam hal ini, jumlah sektor ekonomi yang memasok input untuk proses produksi industri kilang adalah 93 dari 185 sektor. Tiga besar kontributor tertinggi adalah minyak bumi, gas bumi, dan barang-barang hasil kilang minyak dan gas.
Industri kilang nasional juga memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor-sektor ekonomi penggunanya. Dari 185 sektor-sektor ekonomi yang ada di Indonesia, 183 sektor di antaranya merupakan sektor pengguna dari produk yang dihasilkan oleh industri kilang. Tiga pengguna produk kilang adalah jasa angkutan darat selain angkutan rel, jasa angkutan udara, dan perdagangan selain mobil dan sepeda motor. Dengan komposisi data seperti itu, sangat nyata sekali bahwa aktivitas pada industri kilang akan memberikan dampak penciptaan nilai tambah ekonomi kepada 93 sektor pendukung atau pemasok input dan 183 sektor ekonomi yang menggunakan produk dari industri kilang.
Dari sisi konsumsi, data memperlihatkan bahwa rasio kapasitas kilang terhadap konsumsi minyak Indonesia cenderung menurun (Energy Institute Statistical Review, 2023). Pada tahun 2010, rasio kapasitas kilang terhadap konsumsi minyak Indonesia adalah sekitar 88,80 %. Sementara rasio kapasitas kilang terhadap konsumsi minyak Indonesia pada 2022 tercatat turun menjadi 69,65%.
Penurunan rasio tersebut apabila tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik berpotensi memberikan dampak negatif terhadap ketahanan pasokan energi dan aktivitas perekonomian nasional. Indonesia berada di wilayah Asia Pasifik yang kemungkinan akan semakin ketat dalam memperoleh akses energi terutama BBM. Untuk kelompok negara-negara di Asia Pasifik, Indonesia termasuk di antara negara yang memiliki rasio kapasitas kilang terhadap konsumsi minyak yang relatif rendah. Dari fakta ini pembangunan kilang masih dibutuhkan untuk mendorong konsumsi.
Aspek lain yang tidak boleh diabaikan dalam industri kilang adalah efek pengganda/nilai tambah (multiplier effect) ekonomi industri kilang migas. Berdasarkan perhitungan ReforMiner, rata-rata total nilai multiplier effect industri kilang untuk keterkaitan ke belakang yaitu dengan sektor pendukung dan keterkaitan ke depan yaitu dengan sektor pengguna adalah sebesar 9,1604. Artinya, dengan memperhitungkan total nilai multiplier effect tersebut dapat diketahui bahwa peningkatan investasi sebesar Rp1 triliun yang dilakukan oleh industri kilang akan menciptakan nilai tambah ekonomi sebesar Rp9,16 triliun melalui seluruh keterkaitan aktivitas ekonomi.
Bayangkan berapa besar multiplier effect pembangunan kilang di Pulau Pemping dengan investasi Rp204,95 triliun? Mencapai Rp1.877,42 triliun!
Fakta selanjutnya yang lebih penting untuk disampaikan adalah investasi pada industri kilang akan berpotensi memberikan dampak positif pada sebagian besar indikator makro ekonomi Indonesia. Hasil simulasi yang dilakukan ReforMiner menunjukkan bahwa jika terdapat peningkatan investasi pada industri kilang di Indonesia maka akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, pendapatan rumah tangga, ekspor, investasi, dan nilai tukar rupiah.
Kita ambil contoh kenaikan investasi 10%. Jika investasi kilang naik 10% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sekitar 0,0265%, penerimaan pajak naik 0,0438%, pendapatan rumah tangga terkerek 0,0249%, ekspor akan bertambah 0,0239%, investasi naik 0,1742%, dan nilai tukar menguat 0,012%. Angka-angka kenaikan indikator makro ekonomi Indonesia pasti akan membesar seiring kenaikan kenaikan nilai investasi.
Jadi, silakan Anda menilai apakah pembangunan kilang minyak di Indonesia masih dibutuhkan atau sudahlah dihentikan saja dan fokus ke pengembangan EBT.(*)




Komentar Terbaru