LAUT hari itu tenang meskipun dari kejauhan awan gelap sudah mengintai. Speedboat melaju kencang, agar tak tersusul kejaran awan hitam. Dari arah berlawanan justru fenomena alam yang tidak disangka terlihat begitu indah. Makin terasa istimewanya karena baru ini kali pertama melihat ujung dari pelangi. Cahaya berwarna merah, jingga, kuning hijau, biru menembus awan mendarat di celah diantara gugusan pulau-pulau kecil Raja Ampat. Dalam hati cuma bisa bergumam “Apa memang begini cara surga Raja Ampat menyambut tamu yang datang?”.
Tanpa terasa pelangi sudah hilang dari pandangan. Speedboat telah melaju lebih dari dua jam tapi pulau tujuan belum juga terlihat. Bisa dibayangkan dengan kecepatan mungkin sekitar 80 km/jam selama dua jam tapi belum juga tiba.
Pulau Waigeo bagian utara yang jadi tujuan tim Dunia Energi memang jadi salah satu pulau terbesar di Raja Ampat yang jaraknya paling jauh dari Sorong atau pulau utama di Papua. Ada empat pulau besar di Raja Ampat yang menurut legenda jadi asal usul munculnya nama Raja Ampat, yakni keberadaan empat bersaudara yang berasal dari enam butir telur yang ditemukan di hutan, dimana lima telur menjadi manusia sementara sisanya menjadi batu. Dari lima manusia yang lahir dari telur akhirnya ada empat manusia yang menjadi raja atas masing-masing Pulau yakni, Pulau Batanta, Salawati, Misol dan terakhir Waigeo yang menjadi tujuan kami.
Setelah hampir tiga jam membelah lautan di Raja Ampat, deru mesin perlahan menghilang. Laju Speedboat melambat. Air tenang dan sangat jernih, sampai-sampai ikan-ikan yang mengikuti terlihat jelas. Pemandangan sangat lumrah di perairan Raja Ampat sebenarnya.
Perlahan kami mendekati sebuah kapal tongkang yang tengah bersandar. Bukan pemandangan biasa sebenarnya, di tengah gugusan pulau Raja Ampat, bersandar kapal tongkang. Sekilas kapal tersebut sama seperti kapal-kapal tongkang lainnya. Tapi ternyata ada yang berbeda dari kapal ini. Biasanya kapal tongkang membawa barang-barang berat, justru lebih banyak manusia diatasnya. Deretan kontainer didalamnya terisi dengan tempat-tempat tidur serta peralatan medis. Ternyata benar, ini bukan kapal tongkang biasa. Ini kapal penjaga harapan, harapan akan hidup sehat. Ini kapal yang mengubah hidup para penghuni “Surga” Raja Ampat.
Panas di siang itu terasa sangat menyengat Matahari juga sedang tunjukkan kekuatannya yang paripurna. Apalagi diatas kapal yang dikelilingi besi dan baja. Kursi-kursi yang berjejer sudah kosong tak bertuan, padahal dua jam sebelumnya kapal penuh sesak. Hanya tersisa tiga orang yang menunggu giliran untuk dipanggil.
Senyum malu-malu menghiasi wajah bocah laki-laki yang tingginya tidak sampai 1,5 meter saat diminta naik ke atas alat timbang. Mungkin ini kali pertama baginya. Tidak berbeda jauh, adiknya yang bertubuh lebih mungil juga tertawa kecil saat menimbang berat badan. Disebelahnya ada kakek mereka yang tersenyum ramah mengawasi.
Si kakak, rambutnya cepak, alis tebal. Aipnar namanya, berusia 12 tahun. Meski panas terik dia tetap memakai jaket lengan panjang. Ternyata ada alasan dibalik pilihan pakaiannya.
Si adik, memakai kaus kebesaran berwarna merah dan bercelana pendek usang. Rambutnya dikepang dua dengan jepitan juga menempel di kepala. Maria namanya baru berusia 5 tahun. Setelah diperiksa tinggi dan berat badan, kakak beradik dan kakeknya diantar ke ruangan yang berbeda.
Rasa ingin tahu si bungsu memang lebih besar. Matanya terus bergerak. Mengelilingi ruangan yang luasnya kira-kira hanya sekitar 2,5 meter x 5 meter. Ruangan itu dikelilingi gambar-gambar medis, anatomi tubuh manusia dan berbagai poster penyuluhan kesehatan. Di dalam ruangan sudah menanti dokter yang memeriksa kondisi Aipnar dan Maria.
“Ini sakit panu,” kata Andi Damara atau akrab disapa Pace Andi sambil menunjuk cucunya Aipnar. “Kalau yang kecil susah makannya,” lanjut dia sambil menunjuk Maira, si bungsu.
Dokter menyambut ramah laporan Kakek dan dengan sigap memeriksa lebih teliti kondisi kulit Aipnar.
Masalah kesehatan yang ditemui di wilayah pesisir memang tidak jauh-jauh dari urusan kebersihan maupun pola hidup. Ini tidak lepas dari mata pencaharian masyarakat pesisir yang sering berkontak langsung dengan air dan kondisi basah. Namun sebenarnya itu tidak menghalangi untuk hidup sehat. Rendahnya literasi tentang pentingnya kebersihan juga turut berperan.
Cerita masalah kesehatan yang mungkin sepele bagi kita yang hidup di kota besar tapi tidak bagi mereka yang serba keterbatasan apalagi untuk urusan kesehatan.

Warga di Waigeo Utara dan sekitar sedang menunggu giliran untuk diperiksa awal dan menunggu panggilan dokter di Rumah Sakit Kapal Nusa Waluya II. (Foto/Dok/Dunia Energi -Rio Indrawan)
dr. Gaby Vania Sally yang kebetulan sedang tugas jaga Poli Umum langsung meresepkan obat ke Pace Andi. Sempat ada raut kekhawatiran di wajah Andi. Seperti ada yang mau disampaikan. Tapi dr. Gaby langsung menjawab kekhawatiran itu dengan kalimat menenangkan. “Silahkan langsung ke apotek ya pak, ada salep untuk kulit sama sirup untuk adik Maira biar nafsu makan. Tinggal ambil saja obatnya. Gratis,” kata dr. Gaby yang langsung diiringi senyum lega dari Pace Andi.
Pace Andi mengaku bersuka cita ketika tahu ada Rumah Sakit Kapal di Waigeo. Di umurnya yang sudah menginjak 62 tahun Andi rela bertelanjang kaki dan berjalan lebih dari dua jam dari tempat tinggalnya di kampung Asukweri mengantar cucu kesayangannya ke Rumah Sakit Kapal (RSK) Nusa Waluya II, Rumah Sakit Kapal yang dioperasikan yayasan dokter peduli atau doctorSHARE. Menurut dia itu jauh lebih baik ketimbang harus ke Sorong atau Misol yang butuh waktu sekitar 4-5 jam menggunakan long boat (sebutan untuk kapal yang biasa digunakan warga beraktivitas antar pulau). Itu pun juga masih harus menyiapkan dana tidak sedikit. “Tidak apa-apa (jauh), tadi jalan 2 jam dari rumah. Kalau ke kota Sorong atau Misol bisa keluar ongkos Rp300 ribu itu satu orang,” cerita Andi.
Lain lagi dengan Nurmah (48 tahun) dan Androsina Hasan (25 tahun). Keduanya dengan sabar menunggu giliran untuk memeriksakan giginya ke dokter gigi yang ada di RSK. “Kalau ke Rumah Sakit di kota paling ada di Sorong atau Wasai itu ongkos Rp300 ribu, biaya dokternya Rp300 ribu. Kalau di sini gratis,” kata mereka kompak sambil senyum tipis menahan giginya yang sakit.
Ironis memang, ditengah gegap gempita pembangunan sumber daya manusia yang mengandalkan keindahan, surga Raja Ampat, masyarakatnya justru jauh tertinggal dari pemenuhan kebutuhan sangat mendasar. Akses kesehatan.
Cerita Pace Andi dan para ibu-ibu di Waigeo Utara bukan satu-satunya pengalaman yang buat kita tersenyum dan sedikit bernafas lega dengan kehadiran RSK Nusa Waluya II. Ada satu momen yang semakin membuat RSK juga jadi penentu dalam pertaruhan nyawa manusia.
Kala itu kapal baru bersandar tujuh hari di Waigeo Utara. Seperti biasa setelah makan siang biasanya memang warga yang datang ke Rumah Sakit Kapal mulai berkurang. Tapi siang itu berbeda dengan siang lainnya. Long boat merapat ke Rumah Sakit Kapal. Hanya ada juru kemudi serta satu wanita dengan perut yang sudah membesar. Di belakangnya beberapa perahu mengikuti. Rombongan keluarga yang punya harapan besar akan kehadiran anggota keluarga baru mereka.
Tutuk Utomo, Ketua Yayasan doctorSHARE menceritakan siang itu seorang wanita berusia sekitar 27 tahun yang sudah memasuki masa kehamilan lebih dari 40 minggu datang bersama keluarga besarnya. Si calon Ibu kala itu sudah mengandung sebanyak tiga kali namun sayangnya kehadiran si buah hati belum terwujud karena selalu alami keguguran. Alasannya terus berulang, pemeriksaan kandungan yang tidak memadai dan hanya mengandalkan dukun beranak sehingga tidak diketahui apa yang dialami dan kondisi kesehatan bayi di dalam kandungan.
“Kehamilan terakhir ini yang kemudian kelahirannya dilakukan di atas kapal (Rumah Sakit Kapal), jadi itu adalah anak pertamanya. Ini salah satu cerita, sebuah dampak yang kami rasa bahwa itu bisa merubah segalanya bagi pasien,” cerita Tutuk haru.
Perjuangan untuk bisa melakukan operasi di atas kapal tidaklah mudah. Untungnya RSK telah diperkuat dengan berbagai fasilitas dan peralatan medis yang mumpuni untuk bisa menangani pasien dengan kondisi yang bisa dibilang cukup berisiko tinggi.
Daniel Yoseph, dokter kandungan yang juga relawan di RSK Nusa Waluya II menceritakan tindakan seksio sesarea secara darurat harus ditempuh. Untungnya fasilitas di Rumah Sakit Kapal sudah memadai. Tindakan darurat ini harus dilakukan pasalnya karena sang Ibu mengalami kehamilan lewat bulan atau Postterm sehingga air ketubannya juga sudah habis, atau amniotic fluid index-nya sudah (di angka) dua.
Daniel menceritakan ditengah kondisi tersebut tim dokter di atas kapal bertindak dengan sigap dengan segera dilakukan pemeriksaan rekam jantung janin. Hasilnya low variability dan late deselerasi yang menandakan janinnya sudah mengalami asfiksia, yakni kondisi medis ketika tubuh kekurangan oksigen.
“Kemudian langsung kita lakukan seksio sesarea dan Puji Tuhan didapatkan janin yang masih hidup dengan kondisi Apgar Score 79,” kata Daniel.
Cerita – cerita tersebut menandakan bagaimana seindah apapun tempat kita tinggal, akan hampa terasa jika kesehatan terabaikan. RSK Nusa Waluya II bukan sekedar pintu bagi warga pedalaman untuk mendapatkan akses kesehatan. Bagi Pace Andi dan Ibu yang akhirnya memiliki anak pertamanya, kehadiran Rumah Sakit Kapal merupakan jawaban atas doa dan harapan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Harapan itu harus terus dijaga dengan terus menghadirkan kebaikan-kebaikan kapal yang berlayar membelah lautan. Sejak awal hadir, Rumah Sakit Kapal yang diusung oleh yayasan doctorShare memang tidak mau setengah-setengah, ini ditandai dengan terus diupgradenya berbagai fasilitas, alat dan infrastruktur medis sehingga bisa melayani lebih banyak variasi kondisi pasien.
BerSEAnergi, Berlayar Bersama Demi Indonesia
RSK Nusa Waluya II adalah rumah sakit kapal hasil konversi dari Accommodation Work Barge (AWB) dengan luasan dimensi 25 x 40, jadi sekitar 900 meter persegi. Rumah sakit kapal ini memiliki fasilitas rawat inap berupa 21 bed atau tempat tidur.

Sumber : doctorSHARE
Selain itu, RSK ini juga sudah memiliki ruangan untuk Poli Umum, Poli Gigi, Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Poli Penyakit Dalam, Poli Obgyn atau kandungan. Ada dua ruangan untuk bedah mayor, ruangan untuk RR atau untuk recovery. Kemudian ada apotek, ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), radiologi, ruang laboratorium yang saat ini sudah diintegrasikan dengan bank darah. Jadi bisa melayani operasi-operasi yang membutuhkan fasilitas ataupun dukungan darah.
RSK Nusa Waluya II bersandar di Desa Kabare, Distrik Waigeo Utara selama sekitar 70 hari mulai Juni hingga Agustus 2025. Kehadiran RSK diharapkan bisa menjangkau pelayanan kesehatan minimal bagi warga di sembilan desa atau kelurahan yang ada di Waigeo Utara yakni Kabare, Andey, Asukweri, Bon Sayur, Boni, Kapadiri, Minier, Rauki, Warwanay dengan total jumlah penduduk sebanyak 1.880 penduduk. Berdasarkan data yang masuk dari jumlah kunjungan warga dari 10 juni hingga 28 juni 2025 total sudah 1.337 warga yang berobat ke RSK Nusa Waluya II yang didominasi oleh kunjungan ke Poli, ada 39 tindakan bedah, ada 12 kunjungan ke IGD serta 198 promosi kesehatan berupa pelatihan dokter kecil, Antenatal Care untuk ibu hamil serta penyuluhan kesehatan.
Dari ribuan kunjungan poli, penyakit yang paling banyak diderita warga adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Diikuti oleh GERD serta low back pain. RSK juga mencatat ada dua tindakan operasi sesar yang sukses dilakukan. Serta ada bedah mayor sebanyak 25 tindakan dan minor ada 14 tindakan dimana kasus terbanyak untuk bedah Tumor Jaringan lunak dan Hernia.

Sumber : doctorSHARE
Efektif Penuhi Kebutuhan Dasar
Ari Fahrial Syam, Praktisi Kesehatan Masyarakat yang juga Dekan Fakultas Kedoktetan Universitas Indonesia (FKUI), menyatakan bahwa harus diakui masih banyak wilayah yang tidak terjangkau akses transportasi darat laut mupun udara. Ini juga bakal berimbas pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti akses pelayanan kesehatan masyarakat. Penggunaan kapal untuk membuka akses wilayah pedalaman jadi salah satu cara untuk bisa menjangkau masyarakat.
“Karena itu saya selalu sampaikan, bahwa sebaiknya CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan di daerah, bisa fokus bagaimana bisa menyediakan pelayanan kesehatan yang terbaik bagi masyarakat,” kata Ari saat dihubungi Dunia Energi belum lama ini.
Lebih lanjut, dia menuturkan penyediaan layanan kesehatan dipastikan bakal mendapatkan sambutan positif bagi masyarakat dan implementasinya menurut Ari juga tidak akan sulit karena banyak pihak yang bisa diajak terlibat. “Tenaga kesehatan yang bersedia ikuti program tersebut para Perawat bisa juga bekerja sama dengan institusi pendidikan,” ungkap Ari.
Dia mengapresiasi program TJSL perusahaan yang menyasar pada pelayanan kesehatan merupakan program yang boleh jadi paling bisa dipastikan penerima manfaatnya. Menurut Ari perusahaan yang menyediakan pelayanan kesehatan terlebih di wilayah terpencil bahkan sampai menyediakan Rumah Sakit Kapal, jelas menunjukkan peran dan kehadiran di tengah masyarakat.
“Ini (pelayanan kesehatan) kondisi mendesak. Perusahaan bisa kerja sama dengan pendidikan atau yayasan-yayasan yang terbiasa melakukan kerja sama dengan yayasan yang biasa melakukan pekerjaan di daerah terpencil,” ungkap Ari.
Akses terhadap layanan kesehatan yang memadai masih menjadi tantangan besar untuk masyarakat di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) seperti di wilayah Papua. Sadar dengan kondisi tersebut membuat PT Pertamina International Shipping (PIS) berinisiatif berkolaborasi bersama doctorSHARE menghadirkan penyediaan layanan kesehatan terapung RSK Nusa Waluya II.
Risna Resnawati, Pakar CSR sekaligus Kepala Program Studi CSR Universitas Padjajaran (UNPAD), menilai program rumah sakit kapal yang diinisiasi oleh Pertamina Internasional Shipping merupakan bentuk CSR efektif karena berdasar pada kebutuhan masyarakat lokal. “Sulitnya akses terhadap fasilitas Kesehatan yang memadai yang dirasakan oleh masyarakat mampu terjawab melalui program ini,” ungkap Risna saat dihubungi Dunia Energi.
Menurut dia dari sisi CSR, PIS sebagai perusahaan yang bisnis prosesnya mengangkut berbagai produk energi telah mewujudkan Corporate share value dalam value yang lebih luas. “Not only oil and gas shipments, but also health shipments,” kata dia.
Kemudian dari sisi program, pemberdayaan bidang kesehatan program ini menurut Risna merupakan proses mengisi ruang yang kosong dari layanan kesehatan yang mumpuni.
Serta dari sisi keberlanjutan, ini yang perlu dipertimbangkan bagaimana agar program ini sustain. Risna menilai perlu adanya peningkatan proses program yang melembaga. Karena layanan Kesehatan ini tidak bisa selamanya dapat di provide oleh Pertamina. Harus ada advokasi juga mengenai hal ini agar masalah layanan kesehatan menjadi fokus bersama. Antara lain mengajak pemerintah untuk mengambil peran dalam keberlanjutan program, dan bagi masyarakat bisa turut untuk terlibat dalam pengelolaan.
“Meskipun proses ini akan lama, semoga PIS juga investasi pada pengembangan sumberdaya manusia lokal, khususnya dalam rangka pemenuhan tenaga Kesehatan,” ungkap Risna.
Kolaborasi dalam penyediaan layanan kesehatan merupakan bagian dari komitmen PIS dalam menjalankan TJSL perusahaan di bidang sosial, di bawah program BerSEAnergi untuk Laut. Ada kesamaan misi antara PIS dan doctorSHARE, yakni menghadirkan manfaat bagi masyarakat lewat laut, melalui pemanfaatan kapal. Karena itu, kerja sama ini sangat relevan dilakukan kedua pihak.
“PIS ini kan bergerak di bidang perkapalan dan pelayaran. Nah, ada satu kesamaan dengan dokterSHARE ini karena dia juga melakukan pelayanan medis, salah satunya fasilitasnya adalah rumah sakit kapal. Kesamaan misi bahwa kita bisa melakukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan fasilitas kapal. Itu adalah kesamaan yang pertama,” jelas Alih Istik Wahyuni, Manager CSR PIS disela kunjungannya bersama tim Dunia Energi ke RSK Nusa Waluya II pada awal Juli lalu.
Selanjutnya dalam menjalankan program TJSL, PIS kata Alih memiliki tiga pilar. Pertama adalah sosial, bagaimana perusahaan mencoba membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kesejahteraan sosial. Salah satunya adalah dengan bentuk meningkatkan fasilitas atau akses kesehatan. “Ini yang kami kerjasamakan dengan dokterSHARE. Dua pilar lainnya yaitu lingkungan, environmental preservation dan juga advancing education di bidang pendidikan,” ungkap Alih.
Sementara itu, Muhammad Baron, Corporate Secretary PIS menjelaskan bahwa manajemen PIS meyakini doctorSHARE memiliki kredibilitas yang cukup baik dan telah berpengalaman dalam melaksanakan pelayanan medis terutama di wilayah 3T dengan memanfaatkan rumah sakit kapal. PIS mulai mendukung operasional RSK dimulai di tahun 2023 di distrik Seget, Papua.
“Ini merupakan kedua kali kami bekerja sama dengan doctorSHARE untuk hadirkan RS kapal ke pelosok nusantara. Kerja sama ini berangkat dari keyakinan kami bahwa setiap orang, di manapun berada, berhak atas layanan akses kesehatan yang layak,” ujar Baron.
Bagi PIS, lanjut Baron, program CSR yang berada di bawah payung “BerSEAnergi untuk Laut” merupakan cerminan semangat perusahaan untuk senantiasa menyalurkan energi kebaikan ke penjuru negeri, melalui lautan. Apalagi program Rumah Sakit Kapal sejalan dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang dijalankan oleh PIS, khususnya pada aspek sosial. Sekaligus, mendukung beberapa poin Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu SDG 3, SDG 10, SDG 14, dan SDG 17.
“Kami percaya, untuk mendorong kemajuan bangsa tak hanya soal pelayanan logistik dan kapal untuk menggerakkan ekonomi. Tapi juga hadir secara nyata ke masyarakat, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama,” kata Baron.
Papua dan Raja Ampat-nya memiliki kisah tak berujung yang selalu bisa untuk diceritakan. Kehadiran RSK Nusa Waluya II bersama dengan inisiatif perusahaan energi seperti PIS yang memilih terlibat dalam urusan kesehatan masyarakat di wilayah pelosok termasuk salah satu kisah yang patut untuk diceritakan kepada khalayak. Mereka berhak tahu bahwa di “surga terakhir” dunia juga masih ada celah berupa kesehatan para penghuni Surga. Celah itu harus ditutup. Harganya memang mahal tapi begitulah kesehatan, mahal.
PIS mencoba menjemput bola, berinisiatif untuk menutup celah. Tidak mudah memang, tapi inisiatif ini memberikan harapan bahwa kebaikan dalam bentuk apapun itu pasti diterima dan akan memberikan dampak. Kalau bukan dirasakan oleh kita ya dampak dirasakan oleh orang menerima kebaikan itu. Karena untuk bisa menolong diri sendiri, ternyata kita harus terlebih dulu menolong orang lain. Manajemen PIS percaya, tumbuh bersama masyarakat yang hidup dalam keterbatasan adalah berkah, kesempatan untuk menempatkan diri di posisi terbaik, di hati masyarakat.
Menjadikan laut sebagai jalan untuk menjangkau sendi negara kepulauan seperti Indonesia adalah langkah tepat. Rumah Sakit Kapal punya misi menyediakan pelayanan kesehatan, PIS jadi penghubungnya. Tidak hanya jadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan energi tapi juga kebutuhan pelayanan kesehatan.
Rumah Sakit Kapal harus terus berlayar, demi Indonesia, demi masyarakat yang berhak memperoleh layanan kesehatan. Namanya kapal, harus siap menerjang ombak yang siap menghantam. Tantangan dipastikan tidak kecil, apalagi urusan kesehatan. Tapi percayalah, laut tidak pernah gagal memilih siapa saja yang pantas terus berlayar.





Komentar Terbaru