JAKARTA – Kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di Pertamina 2011-2021 terus bergulir. Kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan YA (Yenni Andayani) Direktur Gas Pertamina periode 2014-2018 serta dan Hari Karyuliarto (HK) selaku eks Direktur Gas PT Pertamina (Persero) sebelum Yenni sebagai tersangka baru. Keduanya diduga memutuskan impor LNG tanpa adanya persetujuan dan rekomendasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Diduga bahwa atas pembelian LNG ini tanpa adanya rekomendasi atau izin dari Kementerian ESDM. Kebijakan impor gas atau LNG harus ada penetapan akan kebutuhan impor dari Menteri ESDM,” kata Asep Guntur Rahayu, Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK di Jakarta (31/7).

Secara garis besar konstruksi perkara dugaan korupsi pada kasus ini bermula saat Pertamina melakukan pembelian impor LNG dari Cheniere Energy, perusahaan Amerika Serikat (AS) dengan penandatanganan kontrak pembelian pada 2013-2014 yang selanjutnya kedua kontrak tersebut digabung menjadi satu kontrak di tahun 2015.

Dalam kontrak tersebut ada poin Pertamina bisa melalukan pembelian dalam jangka waktu periode selama 20 tahun, delivery mulai tahun 2019-2039. Dengan nilai total kontrak US$ 12 miliar tergantung harga gas saat itu.

Tersangka HK dan YA diduga memberikan persetujuan pengadaan LNG impor tanpa adanya pedoman pengadaan, memberikan izin prinsip tanpa didukung dasar justifikasi analisis secara teknis dan ekonomis.

Dengan pengadaan atau penjualan, tata niaga di BUMN biasanya dikaitkan dengan Business Judgement Rule (BJR). BJR ini jadi aturan, pedoman, tapi ketika ada aturan-aturan atau pedoman-pedoman yang harus diikuti tapi tidak diikuti atau sengaja dilanggar dalam bisnis tersebut, maka business judgement rule menjadi tidak benar. Artinya, tidak masuk ke dalam BJR.

Pembelian LNG tersebut juga tanpa adanya back to back kontrak di Indonesia atau dengan pihak lain, sehingga LNG yang diimpor tersebut tidak memiliki kepastian pembeli atau pemakainya. Jadi, Pertamina membeli impor LNG tapi belum jelas siapa konsumennya. Harusnya sudah jelas, sehingga sudah bisa diprediksi keuntungannya. Faktanya, impor LNG tersebut tidak pernah masuk ke Indonesia hingga saat ini dan harganya lebih mahal dari gas di Indonesia.