JAKARTA – Sejak Undang-Undang (UU) Mineral dan Batu Bara (Minerba) nomor 3 Tahun 2020 disetujui DPR pada 12 Mei 2022 hingga saat ini disinyalir ada sekitar 70 % matrial bangunan berupa sirtu ( pasir dan batu) serta tanah urug untuk kebutuhan proyek pembangunan fisik infrastruktur pemerintah dan swasta berasal dari penambangan tanah ilegal.

Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), mengatakan semakin maraknya operasi penambangan ilegal bisa terjadi karena kebutuhan besar dari kegiatan Proyek Strategis Nasional (PSN) tanpa disertai kemudahan memperoleh izin akibat regulasi yang ada, sehingga menjadi lahan ATM oknum APH.

“Material ilegal itu dipasok dan digunakan untuk kebutuhan pembangunan jalan tol, proyek bendungan, gedung perkantoran, pembangunan kawasan perumahan, pelabuhan laut dan udara serta lainnya, termasuk digunakan untuk kegiatan operasi migas, yaitu tanah urug untuk kebutuhan lokasi tapak bor (well pad),” kata Yusri, Senin.

Menurut dia, adapun 30% pasokan material legal itu adalah berasal dari IUP OP ( Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi) yang waktunya masih berlaku merupakan sisa dari produk UU Minerba nomor 4 tahun 2009.

Yusri menyatakan produk UU Minerba terbaru yang sejak awal kelahirannya sudah kontroversial ditenggarai hanya untuk menyelamatkan para taipan batu bara pemilik tambang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) daripada membenahi tata kelola berkelanjutan pertambangan nasional. Bahkan, Koalisi Masyarakat Peduli Pengelolaan Sumber Daya Alam menduga kebijakan itu berpotensi merugikan rakyat dan lingkungan hidup serta penerimaan negara dan pajak daerah penghasil.

Ia menyebutkan contoh nyata dan kasat mata akibat lainnya, yakni ketika PT PLN (Persero) mengalami krisis pasokan batubara sebagai energi primernya karena pelanggaran DMO (Domestic Market Obligation) oleh produsen batu bara nasional.

“Meskipun ketua komisi VII DPR saat itu mengatakan bahwa perubahan UU Minerba ini tujuannya untuk menyesuaikan dengan UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020, yaitu pertama soal kewenangan pengelolaan minerba, kedua soal penyesuaian nomenklatur perizinan dan ketiga soal divestasi saham. Namun, faktanya kita bisa menyaksikan saat ini banyak penyimpangan telah terjadi,” kata Yusri.

Ia mengklaim sengkarut material ilegal ini jelaslah disebabkan UU Minerba terbaru ini telah mencabut kewenangan daerah yang dimiliki Gubernur dan Bupati atau Walikota yang sebelumnya boleh menerbitkan izin pertambangan rakyat, termasuk melakukan pembinaan serta pengawasan.
“Izin pertambangan rakyat luasnya yang satu hektar pun yang berada jauh di pelosok desa yang dulu bisa dilaksanakan cukup dengan izin dari Camat setelah mendapat delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota, sekarang harus dengan mengurus izin pertambangan ke Jakarta, karena izinnya diterbitkan oleh Menteri ESDM atau melalui Menteri Investasi dan Kepala BKPM,” ujar Yusri.

Menteri ESDM juga telah mengusulkan Wilayah Pertambangan Nasional (WPN) dari 10 Provinsi kepada Komisi VII DPR pada 13 Januari 2022 untuk ditetapkan. Karena penetapan WPN ini menjadi dasar Menteri ESDM bisa memberikan izin pertambangan minerba, akibat adanya penerbitan izin baru sebelum WPN ditetapkan patut dipersoalkan legalitasnya.

Meskipun secara teoritis pengurusan izin berbasis resiko itu bisa dilakukan dengan sistem OSS (Online Singel Submission), namun dalam prakteknya SIPB (Surat Izin Pertambangan Batuan) susah diperoleh oleh rakyat kecil jika tak punya hubungan khusus dengan jajaran pemberi izin.

Yusri menambahkan, hingga saat ini turunan dari UU Minerba baru ada Peraturan Pemerimtah nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Minerba dan Permen ESDM nomor 7 tahun 2020 tentang Tata cara Pemberian Wilayah, Perizinan dan Pelaporan Kegiatan Pertambangan Minerba, sementara Peraturan Presiden yang mengatur pendelegasian wewenang Menteri ESDM kepada Gubernur dan Bupati serta Walikota soal izin pertambangan rakyat yang sudah lama dijanjikan pemerintah hingga kini tidak jelas wujudnya.

“Akibatnya jika melihat aktifitas kantor Dinas Energi Sumber Daya Mineral disetiap Provinsi sudah seperti kerakap tumbuh di batu, hidup segan matipun tak mau, sebab kewenangan pengawasan aktifitas pertambangan yang selama ini mereka miliki termasuk kewenangan yang ditarik ke pusat. Ironisnya IUP yang baru diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui kepala BKPM tidak pula diinformasikan ke mereka,” ujarnya.

Menurut Yusri, Inspektur Tambang yang merupakan kepanjagan tangan Kementerian ESDM untuk mengawasi aktivitas pertambangan di daerah daerah tampaknya tidak efektif.
“Alias loyo, sehingga aktifitas pertambangan ilegal semakin marak di daerah daerah akibat ketidak jelasan produk UU Minerba,” ujarnya.(RA)