JAKARTA – Presiden Joko Widodo baru saja menandatangani Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang didalamnya juga mengatur tentang pasar karbon.

Ketentuan itu diyakini bisa mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim.

“Dengan adanya ketentuan tentang carbon pricing, maka hal ini akan semakin mempermudah pencapaian NDC Indonesia,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, pada sesi panel diskusi di Paviliun Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Selasa(2/11).

Dalam dokumen pembaruan NDC yang telah disampaikan pada UNFCCC pada Juli 2021, Indonesia berkomitmen untuk mencapai pengurangan emisi GRK sebanyak 41% pada tahun 2030 dengan dukungan Internasional.

Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk mencapai Net-Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat seperti tercantum dalam dokumen Long-Term Strategies for Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050).

Berdasarkan perhitungan LTS-LCCR 2050, Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 50% dari kondisi business-as-usual, terutama dengan dukungan Internasional.

Perpres Nilai Ekonomi Karbon diharapkan bisa menggerakan lebih banyak pembiayaan dan investasi hijau yang berdampak pada pengurangan emisi GRK.

Dalam Perpres Nilai Ekonomi karbon ada beberapa mekanisme perdagangan karbon yang diatur, yaitu perdagangan antara dua pelaku usaha melalui skema cap and trade, pengimbangan emisi melalui skema carbon off set, pembayaran berbasis kinerja (result based payment), dan pungutan atas karbon, serta kombinasi dari skema yang ada.

Laksmi Dewanthi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan carbon pricing dapat menjadi insentif untuk pencapaian NDC.

“Carbon pricing diharapkan mendukung instrumen lain yang juga dilakukan seperti pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi, atau transisi teknologi untuk mewujudkan energi baru terbarukan,” ujarya.

Laksmi menjelaskan Perpres Nilai Ekonomi Karbon ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Jika perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia.

Adanya regulasi pasar karbon membuka peluang Indonesia untuk menerima pendanaan yang lebih luas dalam pengendalian perubahan iklim.

Jerman Arief Havas Oegroseno, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, menyerukan agar dunia internasional mau mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon.

Havas mengungkapkan pengalaman yang dialami sebuah Negara di Afrika dimana cadangan karbonnya hanya ditawar sangat rendah dengan harga 2 dolar AS per ton. “Kalau harga segitu sama dengan kolonialisasi,” ujarnya.

Benoit Bosquet, Director Environment and Natural Resources Global Practice World Bank, mengapresiasi capaian Indonesia yang kini meregulasi carbon pricing.

Dia mengungkapkan bahwa berdasarkan laporan terbaru World Bank penggalangan dana yang bisa dihasilkan dari carbon pricing bisa mencapai 53 miliar dolar AS pada tahun 2020. “Dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk investasi hijau,” kata Benoit Bosquet.
Dia pun mengingatkan carbon pricing tidak bisa bekerja sendirian untuk mencapai pengurangan emisi. Carbon pricing perlu didukung dengan kebijakan yang kuat, akuntabilitas dan transparan.(RA)