JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong pengembangan rooftop photovoltaic atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap secara masif. Hal ini demi mempercepat bauran energi terbarukan (EBT) menjadi 23 persen pada 2025. Salah satu insentif yang disiapkan pemerintah adalah revisi terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Salah satu klausul dari draf Permen ESDM soal PLTS Atap nanti adalah soal perhitungan ekspor dan impor energi listrik. Poin krusial dari draf permen baru itu adalah soal energi listrik pelanggan PLTS Atap yang diekspor, dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat padameter kWH ekspor-impor dikali 100 persen atau naik 35 persen dibandingkan dengan peraturan lama yang hanya 65 persen. Artinya, PLN harus membeli 100 persen listrik PLTS atap.

Di luar itu, salah satu ayat di draf permen itu juga menyatakan bahwa perhitungan energi listrik pelanggan PLTS Atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dan nilai kWh ekspor. Saat ini proses harmonisasi berlangsung dan belum diketahui sampai kapan dilakukan.

Menurut Nanang Hariyanto, pakar energi listrik dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung, upaya pemerintah mendorong penggunaan PLTS Atap dengan mengubah regulasi harga beli listrik dari semula 65 persen menjadi 100 persen akan menimbulkan ketidakadilan bagi sebagian besar pelanggan listrik PLN. Pasalnya, pelanggan harus membayar listrik lebih mahal sebagai dampak kenaikan Biaya Pokok Produksi (BPP) akibat pertambahan jumlah PLTS Atap yang masif dan harga beli listriknya yang tinggi.

Nanang menjelaskan, jika dipasang PLTS Atap, beban yang ada di rumah akan mengambil lebih dulu energi yang dihasilkan dari PLTS Atap. Sisanya dari solar radiasi yang dihasilkan kemudian dikirim ke jaringan PLN. Dari jaringan PLN kemudian dikirim ke rumah-rumah yang lain. Harga listrik sisa harus dibeli PLN dengan harga yang sama dengan harga jual listrik PLN sebesar Rp1.440,7 per KWh.

“Ini yang saya lihat tidak adil. Waktu pengiriman ada susut energi karena melalui jaringan PLN. Belum lagi ada biaya pemeliharaan jaringan dan biaya pengembalian investasi jaringan PLN. Harganya harus adil,” ujar Nanang dalam diskusi dengan media secara virtual, Sabtu (14/8).

Menurut Nanang, harga jual listrik dari PLTS Atap lebih mahal dibandingkan pembangkit PLTS non-Atap. Dia mencontohkan PLTS non-Atap seperti PLTS Cirata harga jual listriknya adalah US$4 sen per KWh atau setara Rp600 per KWh. Sedangkan PLTS Atap dijual ke PLN seharga Rp1.440 per KWh. “Akibatnya, tentu saja Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan naik,” kata Ketua Laboratorium Sistem Tenaga Listrik ITB.

Selain itu, lanjut Nanang, sistem kelistrikan Jawa Bali ditopang banyak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang harus terus menerus beroperasi. Karena ada PLTS Atap, beban akan dipenuhi terlebih dahulu dari pasokan PLTS Atap. Akibatnya, operasi PLTU di tekan kebawah. PLTU yang biasanya beroperasi 70-80%, karena ada PLTS Atap, beban turun sehingga menekan operasi PLTU hingga 50-60 persen. “Karena turun, keberadaan PLTS Atap menekan operasi PLTU operasinya hingga 50-60. Dampaknya, efisiensi PLTU menjadi rendah,” katanya.

Akibat dua faktor itu, BPP pembangkit Jawa Bali menjadi naik. Semua pelanggan PLN akan menanggungnya. Padahal penyedia rooftop hanya beberapa persen. Kalau naik, harus disubsidi oleh negara. Jadi beban APBN. “Akibat PV Rooftop yang hanya beberapa persen itu menyebabkan 70 juta pelanggan PLN merasakan dampak kenaikan BPP. Kecuali negara mau menanggung, silakan,” ujarnya.

Dia mengakui saat ini adalah penggunaan energi terbarukan (renewable energy) sebuah keniscayaan yang akan ada dan berjalan ke depan. Di Vietnam misalnya, pertumbuhan PLTS Atap mencapai 2.000 megaatt (MW) atau 2 GW dalam dua tahun. Penyedia PLTS Atap di Vietnam inilah yang kemudian mulai bergesar ke Indonesia sehingga muncul tekanan untuk mendorong perkembangan PLTS Atap.

“Inilah yang kemudian muncul tekanan hingga mengubah aturan yang baru dari sebelumnya 65 persen harga jual listrik Rooftop PV ke PLN dari sisa energi yang telah dipakai menjadi 100 persen,” kata Nanang.

Secara terpisah, Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai para pihak perlu pemahaman utuh jangan sampai pengembangan PLTS Atap hanya didorong upaya mencapai target 23 persen EBT tanpa disertai informasi lain yang utuh. Bahwa PLTS paling cepat prosesnya betul, tetapi risiko biaya yang tinggi juga harus dipahami.

“Risiko biaya yang timbul karena sifatnya yang intermiten karena hanya mampu berproduksi sekitar 4-6 jam per hari sehingga sisanya memerlukan bantuan dari jenis pembangkit yang lain yang kalau dijumlahkan biayanya tentu lebih mahal bagi PLN,” kata doktor kebijakan publik sektor energi dari Universitas Trisakti.

Komaidi berharap regulasi terkait PLTS Atap harus klir dengan memperhatikan banyak aspek. Apalagi saat ini sebagian besar komponennya masih sangat bergantung pada impor. “Pengembangan PLTS Atap perlu disinergikan dengan kebijakan TKDN agar manfaat ekonominya lebih besar lagi,” ujarnya.(RA)