JAKARTA – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan baku batu bara baru benar-benar ditiadakan mulai 2025 nanti. Kebijakan tersebut berlaku tidak hanya di Pulau Jawa, namun untuk seluruh Indonesia.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah memastikan telah menyepakati untuk tidak lagi membangun PLTU pasca 2025. Apalagi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru juga sudah ditetapkan. Untuk itu pemerintah tidak akan lagi menerima usulan PLTU baru.

“Kami enggak terima lagi usulan PLTU baru. Kalau pun ada meneruskan dan yang statusnya sedang konstruksi dan mencapai tahapan financial close,” kata Rida dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (27/5).

Menurut Rida, kebijakan ini diinstruksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu yang menginginkan tidak ada lagi pembangunan PLTU baru. “Sesuai dengan arahan Presiden dalam Rapat Terbatas 11 Mei 2021,” tukas Rida.

Sebagai langkah mengganti suplai listrik yang selama ini ditopang PLTU, PLN merencanakan penyediaan PLT EBT baseload sebesar 1,1 Gigawatt (GW) pada 2025 mendatang. Selanjutnya, pada 2030 diharapkan penghentian operasi supercritical tahap pertama sebesar 1 GW dapat dilakukan dan pada 2035 sebesar 9 GW. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi sebesar 10 GW untuk retirement PLTU supercritical di 2040.

Darmawan Prasodjo, Wakil Direktur Utama PLN, mengatakan penyediaan EBT sebagai baseload apalagi pembangkit PLTU ini tidak mudah. Perlu dukungan dari berbagai pihak.

Ragam jenis pembangkit EBT nantinya akan diupayakan pengadaannya agar bisa bersaing dari sisi teknis dan harga atau secara keekonomian dengan PLTU.

Menurut Darmawan, kesepakatan di RUPTL baru nanti kebutuhan PLTU untuk melayani beban dasar. Setelah 2025 akan dilayani dengan EBT dan bukan dengan intermiten, tapi PLT EBT baseload.

“Nanti ada PLTS dengan baterai, PLTB, PLTA, PLTP, PLTBM dan inovasi teknologi apapun yang bisa berkembang cepat dan breakthrough yang luar biasa, sehingga nantinya EBT bisa bersaing secara sistem dan komersial dibanding PLTU,” kata Darmawan.(RI)