JAKARTA – Pertumbuhan energi tahunan di Asia Tenggara diproyeksikan akan lebih cepat dari China dan lebih tinggi dibanding rata-rata global. Periode pertumbuhan ini khususnya akan terjadi pada 2030-2040.

Di Asia Tenggara, pada 2040 batu bara diprediksi akan terus menjadi pemimpin di sektor kelistrikan padahal penggunaan batu bara ini secara global akan menurun.

“Pertumbuhan energi terbarukan di Asia Tenggara diperkirakan tetap akan dibawah capaian global,” kata Hindun Malaika, Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace, dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (13/2).

Berdasarkan indeks Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) 2018, pengembangan energi terbarukan di Indonesia dinilai kurang menarik oleh para investor.

Hindun mengatakan, peraturan terkait energi terbarukan berubah dua kali di 2017, yakni Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017. Perubahan regulasi BOOT (Build-Own-Operate-Transfer) untuk PLTA dan PLTPB menimbulkan risiko baru bagi kelayakan proyek.

“Perubahan peraturan akan membuat pelaku industri energi terbarukan kesulitan dalam membuat proyeksi jangka panjang, terutama terkait masalah harga, kepemilikan, dan skema penanggungan risiko force majeure,” ungkap Hindun.

Indonesia menempati posisi sepuluh sebagai negara dengan subsidi energi fosil terbesar secara jumlah nominal di dunia pada 2016. Indonesia juga merupakan pemberi subsidi energi fosil tertinggi di Asia Tenggara menurut data International Energy Agency (2017).

Dalam hal ini, kata Hindun, perlunya mendorong realokasi subsidi energi dari pembangkitan berbahan bakar fosil menjadi berbasis energi terbarukan. Pemerintah dapat membebankan pajak pada pembangkitan listrik serta aktivitas lain yang berbasis fosil serta mengalokasikan pajak yang dipungut (earmarking) dari aktivitas berpolusi dalam bentuk subsidi bagi pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan seperti yang dilakukan India.

Selain itu, perlunya mendorong tarif pembangkitan listrik berbasis energi terbarukan yang kompetitif. Pemerintah masih perlu membuat harga energi terbarukan menjadi lebih menarik untuk investasi pembangkit. Setidaknya, hingga harga keekonomian energi terbarukan turun di bawah harga keekonomian bahan bakar fosil.

Hindun menambahkan, selama ini subsidi Iistrik yang diberikan melalui PT PLN (Persero) terbilang besar, lebih dari seperempat keseluruhan subsidi APBN.

“Sekitar 60% pembangkitan PLN dari PLTU Batu bara. Kerugian PLN yang besar dan arus kas yang negatif secara terus menerus akan membuat PLN sering kali mengalami masalah dalam memenuhi kewajiban operasionalnya,” tandas Hindun.(RA)