Perluasan kewajiban penyaluran Premium di Jawa, Madura, Bali menjadi salah satu faktor melonjaknya beban subsidi energi pada 2018.(Foto/Dunia Energi/Alfian)

JAKARTA – Penyaluran subsidi energi sepanjang 2018 naik signifikan dibanding 2017. Subsidi tahun lalu tercatat sebesar Rp153,5 triiun, naik dibanding 2017 sebesar Rp97,6 triliun. Subsidi 2018 merupakan yang tertinggi sejak 2015 yang mencapai Rp341,8 triliiun.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan subsidi energi 2018 terdiri dari Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liqufied Petroleum Gas (LPG) sebesar Rp 97 triliun dan listrik Rp 56,5 triliun. Total subsidi energi 2018 mencapai Rp 153,5 triliun, naik hampir 50% dari realisasi 2017.

“Subsidi energi terdiri dari BBM, LPG dan listrik, total Rp153,5 triliun,” kata Jonan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/1).

M. Fanshurullah Asa, Kapala Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), mengungkapkan kenaikan subsidi energi disebabkan peningkatan penggunaan Premium yang menjadi jenis bahan bakar yang wajib disalurkan PT Pertamina (Persero) di Jawa, Madura dan Bali. Serta meningkatnya konsumsi solar.

Berdasarkan catatan BPH Migas, verifikasi sampai Desember serapan BBM Solar mencapai 15,545 juta KL atau 99,52% dari kuota sebesar 15,620 juta KL. Pada 2017, penyaluran Solar hanya 14 juta KL

Premium dari kuota 11,8 juta KL, realisasinya 9.23 juta KL atau 78,32%.

“Realisasi rendah karena ada transisi, waktu di awal- awal belum masuk wilayah Jamali untuk JBKP. Itu jadi salah satu sebab tidak sampai realisasi mendekati angka itu,” kata Fanshurullah.

Djoko Siswanto, Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, menambahkan kenaikan subsidi energi juga disebabkan peningkatan subsidi Solar dari Rp 500 per liter menjadi Rp Rp 2.000 per liter, melemahnya nilai tukar rupiah, serta kenaikan konsumsi LPG 3kg.

“Solar yang tadinya subsidi Rp 500 menjadi Rp 2.000. Subsidinya naik dua kali lipat. Solar kan harganya naik, kurs juga ada,” tandas Djoko.(RI)